Menyiasati Sulitnya Merekam Video Liputan Saat Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 tak memungkinkan jurnalis dan narasumber bertemu langsung, padahal televisi butuh visual. Ada empat langkah agar jurnalis dapat memandu narasumbernya melakukan live streaming atau merekam video layak tayang via smartphone.

Hendrawan Setiawan

Sebelum ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO pada 12 Maret 2020, jurnalis sudah berjibaku meliput penyebaran Covid-19.

Saat ini, berbagai negara telah mengambil keputusan karantina wilayah (lockdown) dengan membatasi kerumunan dan pertemuan dengan orang lain. Sebagian negara ada yang memilih menerapkan social distancing (pembatasan sosial), yakni menjaga jarak dan melarang kontak fisik di antara warganya. Tujuannya agar Covid-19 dapat dikendalikan.

Kedua kebijakan di atas tentu menyulitkan dan menjadi tantangan besar bagi jurnalis saat meliput karena tak memungkinkan bertemu narasumbernya. Padahal, proses konfirmasi lewat wawancara umumnya dilakukan secara tatap muka. Memang sejumlah platform media – seperti cetak, radio, dan online, memungkinkan jurnalis melakukan wawancara secara online, baik via telepon atau surat elektronik (email). Akan tetapi, bagi media televisi, tatap muka menjadi keharusan karena TV memerlukan video.

Seiring berkembangnya teknologi, penyampaian informasi dalam bentuk visual juga menjadi pertimbangan media daring. Alasannya, penyampaian pesan tersebut lebih memiliki kekuatan dan paling mudah dipahami publik. Ada dua kekuatan video, yaitu visual dan audio.

Artinya, saat ini semakin banyak media yang membutuhkan konten berupa video.

Masalah yang diakibatkan dari metode lockdown dan social distancing tak berhenti di sini. Sejumlah narasumber telah menyatakan tidak akan memberikan pernyataan atau wawancara secara tatap muka. Wawancara hanya akan dilakukan lewat media sosial, live streaming, atau pengiriman materi wawancara via moda-moda digital lainnya.

Bagi institusi – seperti perusahaan besar atau kantor pemerintah yang telah memiliki tim media yang profesional, hal tersebut akan lebih mudah dilakukan sesuai standar layak tayang media. Namun bagaimana bila institusi tersebut tidak memilikinya? Lebih-lebih, bagi narasumber personal.

Nah, kebutuhan visual tersebut bisa disediakan narasumber secara mandiri dengan cara sederhana. Mengadopsi bagaimana jurnalis bekerja dengan peralatan berupa ponsel (mobile journalism), narasumber juga dapat meniru cara kerja jurnalis dengan menggunakan piranti gawai.

Di sinilah, peran jurnalis atau redaksi diperlukan untuk mengedukasi narasumber agar video yang dihasilkan mereka secara mandiri dapat layak tayang, atau setidaknya mendekati standar yang diperlukan oleh media.

Pada umumya, media memerlukan video dengan berbagai variasi gambar agar tayangannya dinamis. Namun, dalam konteks wawancara dengan narasumber, ada sejumlah tips sederhana agar wawancara tersebut bisa digunakan oleh media.

***

Berikut ini beberapa langkah yang dapat dilakukan jurnalis untuk memandu narasumber.

Posisi Kamera Horizontal

Poin ini sangat esensial. Jangan sampai ketika melakukan pengambilan video, narasumber mengambil posisi kamera di HP secara vertikal (portrait).

Jadi, posisi pengambilan video harus horizontal (landscape). Mengapa demikian? Karena hampir semua alat elektronik dan platform media menerima video dengan format ini. Posisi horizontal juga mengadaptasi bagaimana mata manusia memandang.

Lalu mengapa ada beberapa platform seperti Instagram TV dan WhatsApp status yang mengakomodasi format vertikal? Ini disebabkan penyesuaian dengan cara manusia memegang smartphone. Jadi, supaya langkah merekam kamera lebih mudah maka platform tersebut difasilitasi posisi kamera vertikal.

Gunakan Kamera Belakang

Saat ini, hampir semua smartphone memiliki dua jenis kamera berdasar arahnya, yaitu kamera depan dan kamera belakang. Secara kualitas, kamera belakang akan menghasilkan video yang lebih baik. Namun kelemahannya, kamera ini sulit digunakan untuk selfie. Padahal ketika wawancara dilakukan secara mandiri, narasumber butuh melihat dirinya sendiri.

Untuk tetap menggunakan kamera belakang ada 2 tips yang dapat dilakukan. Pertama, kamera ponsel tidak dipegang sendiri. Narasumber bisa meminta orang lain untuk memeganginya. Kedua, perekaman video dilakukan sembari menghadap cermin. Sehingga, narasumber dapat melihat dirinya sendiri yang terpantul dari smartphone ke cermin. Karena dilakukan secara mandiri, akan lebih baik apabila narasumber menggunakan tripod sehingga videonya tidak goyang.

Apabila narasumber lebih nyaman menggunakan kamera depan, mereka tentu dipersilakan dengan konsekuensi kualitas video yang ada menjadi kurang bagus. Meski demikian, kondisi tersebut biasanya tidak dapat dibedakan oleh mata orang awam.

Ukuran Pengambilan Gambar (Shot)

Untuk pengambilan video wawancara, biasanya televisi hanya menggunakan dua ukuran saja, yaitu medium shot dan close up. Bagi Anda yang tidak terbiasa dengan istilah teknis, logika ukuran shot ini dalam skala manusia sangat sederhana.

Medium shot adalah ukuran manusia dari kepala hingga pinggang. Jadi, secara teknis jarak kamera dengan narasumber sebagai objek sekitar 60 cm.

Close up adalah ukuran manusia dari kepala sampai dada. Jarak antara objek dengan kamera HP lebih dekat sekitar 30 cm. Dibandingkan medium shot, jaraknya lebih dekat ke objek. Sederhananya, ukuran ini adalah ukuran pas foto.

Lalu mana yang lebih baik dipilih?

Dengan pertimbangan kemampuan audio gawai yang terbatas, shot ukuran close up akan lebih baik. Karena semakin dekat ponsel dengan mulut narasumber, sebagai sumber suara, maka suara/audionya semakin keras.

Arah pandangan mata

Untuk liputan di televisi, ada dua jenis arah pandangan mata narasumber ke arah kamera. Pertama, pandangan mata ke arah samping kamera. Mengapa demikian? Karena umumnya ketika jurnalis televisi meliput, narasumber akan berbicara kepada reporter atau presenter yang berada di samping kamera. Cara ini bisa dilakukan secara mandiri di mana narasumber melihat ke samping kamera seolah-olah ada lawan bicara yang sedang berbincang.

Kedua, narasumber bisa langsung melihat ke arah kamera. Sama seperti Anda melakukan video call dengan teman atau kerabat. Namun ingat, arah mata sebaiknya tidak mengarah pada layar ponsel tetapi pada lensa kamera. Karena bagaimana pun juga, lensa HP lah yang mewakili mata penonton. Wawancara model ini sering dilakukan ketika narasumber tidak bisa datang ke studio atau berada di studio yang berbeda.

Nah, semoga pandemi Corona tak membuat peliputan secara manual menjadi sangat terhambat. Di sisi lain, jurnalis jadi punya kesempatan untuk melakukan literasi kepada publik. Sehingga apabila suatu saat peliputan secara online perlu dilakukan, publik – utamanya narasumber, sudah tahu standar profesional yang layak tayang di media. (*)

Ilustrasi: Mohamed Hassan (Pixabay)


KLINIK MOJO diasuh oleh Tim Gawai Piawai

Hendrawan Setiawan adalah jurnalis senior TV CNN Indonesia yang telah berpengalaman di bidang penyiaran selama kurang lebih 15 tahun. Dia juga Direktur Konten LPK Gawai Piawai dan instruktur bersertifikat internasional dari KineMaster.