Media tak mengumbar berita bombastis dan clickbait.
Renjani Sari
Sebuah meme diposting ke grup ekspatriat di media sosial. Isinya mengolok-olok lambannya otoritas Kerajaan Belgia dan warga lokal dalam merespon wabah Corona. Dalam hitungan jam, meme itu ditanggapi tak kurang dari 400-an anggota.
Kritik itu wajar dilontarkan, mengingat Belgia adalah jantung Eropa, titik persinggahan transportasi darat ke berbagai kota penting di benua biru. Brussels, ibukotanya, adalah juga ibukota Uni Eropa, tempat bernaung berbagai pusat otoritas dan kepentingan, dari politik, bisnis hingga militer.
Dibandingkan dengan negara-negara di sekitar, Belgia memang terkesan ‘rileks’ dalam merespon merebaknya virus Corona. Padahal, hingga hari ini, koran lokal De Tijd melaporkan setidaknya telah ada lima korban – orang asing dan warga lokal yang diisolasi setelah terinfeksi Covid19 di China dan Italia. Sabtu kemarin, sebuah seminar di Kota Antwerp terpaksa dibatalkan karena pembicaranya – perempuan Belanda – terjangkit virus, sesaat setelah pulang dari sebuah pertemuan di Perancis.
Pembatalan acara mendadak sebenarnya bukanlah hal baru di Eropa beberapa pekan terakhir. Dua hari yang lalu, acara tahunan International Journalism Festival (IJF) di Perugia, juga dibatalkan sepihak oleh panitia dan ditunda tahun depan, setelah Italia dinyatakan sebagai zona rawan Corona. Banyak agenda publik, dari unjuk rasa hingga konser, batal demi menghindari kontak di kerumunan. Virus ini tak cuma melumpuhkan aktivitas warga, tetapi juga “menutup paksa” ruang-ruang berekspresi.
Barangkali, ini kali pertama dalam beberapa tahun terakhir, warga yang tinggal di negerinya sendiri terasa hidup seperti di “pengasingan”.
Perasaan was-was ditambah informasi yang keliru tentang Corona memicu kecurigaan berlebihan dan sikap rasis terhadap warga asing dan pendatang dari zona merah Corona, khususnya China. The Guardian misalnya menulis aksi xenophobia merebak di Inggris, Perancis dan Italia. Bersamaan dengan temuan beberapa kasus Corona, aksi panic buying juga mewarnai ketakutan warga.
Akan tetapi, inilah Belgia. Ketika virus Corona mengakibatkan panik di belahan lain Eropa, kehidupan sehari-hari di negeri ini boleh dikatakan normal. Aktivitas di pusat pertokoan, restoran, perkantoran, terminal dan stasiun berjalan seperti biasa. Memang tak banyak kerumunan, namun semua berjalan apa adanya. Tidak ada kepanikan publik yang berarti, tak ada pula panic buying seperti yang terjadi di Singapura, Perancis, Inggris atau Italia. Setidaknya, tidak ada hingga tulisan ini diturunkan.
Sekalipun tak seketat negara lain, otoritas Kerajaan Belgia sebenarnya mulai mengawasi sejumlah titik perbatasan. Negara juga telah mengeluarkan larangan bagi warganya yang akan bepergian – utamanya ke kawasan endemik Corona. Imigrasi mengetatkan kunjungan warga dari sejumlah negara berisiko tinggi, seperti China, Iran, Korea dan Italia. Berbagai peringatan kewaspadaan juga disebar via media dan instansi resmi. Klinik kesehatan dan rumah sakit disiagakan. Kampus-kampus membatalkan pertukaran mahasiswa mereka ke luar negeri. Kantor-kantor meminta stafnya yang sakit bekerja dari rumah, bahkan jika mereka terkena flu ringan.
Mengapa publik di Belgia terkesan santai?
Satu hal yang barangkali menarik dicermati adalah kultur komunikasi masyarakatnya yang cenderung stabil, tak meledak-ledak. Kebebasan pers di Belgia sangat terjamin. Bebas, tapi tak sengit berburu profit. Itulah mengapa tak banyak berita clickbait.
Saat isu Corona merebak, sejak Januari lalu, pemberitaan media lebih banyak dihiasi oleh informasi seputar penyakit, temuan kasus dan riset medis. Ketika kasus Corona ditemukan di Eropa, pemberitaan didominasi respon strategis Pemerintah, kritik atas kebijakan dan pelayanan publik, serta tips mengantisipasi dan mengatasi Corona. Nyaris tak ada pemberitaan bombastis, apalagi mencekam. Hampir dapat dipastikan, setiap berita selalu dilengkapi pesan agar publik tidak panik.
Di sisi lain, publik lebih mengandalkan informasi dari sumber-sumber yang kredibel, seperti media, situs institusi resmi dan universitas, ataupun blog para ahli. Riset Universitas Amsterdam menunjukkan, kepercayaan warga pada media arus utama masih cukup tinggi, di kisaran 50 hingga 70 persen.
Masyarakat Belgia cukup aktif di sosial media, tapi tak riuh. Orang-orang Belgia, khususnya Flemish, kerap dikesankan sebagai bangsa yang tertutup (introvert) dan tak gemar bercengkerama. Sebagian besar netizen hanya menggunakan media sosial sebagai tempat berbagi informasi, berdiskusi atau mengikuti para influencer fesyen, kuliner, dan musik. Itulah mengapa peredaran misinformasi/disinformasi di negeri ini relatif mudah dikendalikan.
Apapun alasannya, Corona tetaplah menjadi persoalan bersama. Perlu keseriusan, kewaspadaan, namun juga ketenangan dalam menyikapi. Beberapa hari lalu, media berbahasa Inggris terkemuka di Brussels memajang artikel: ‘Panic is more dangerous than the virus‘. (*)
*Renjani Sari adalah jurnalis. Saat ini berdomisili di Belgia.