Di Slovenia, Covid-19 Jadi Alat Teror Melawan Jurnalis Kritis

Blaz Zgaga (kiri)

Foto: Blaž Zgaga (kiri/Medija Centar Beograd)

Wawancara khusus dengan Blaž Zgaga, jurnalis ICIJ, dari tempat persembunyiannya, tentang bagaimana Pemerintah Slovenia membungkam kritik, menihilkan peran ilmuwan dalam mengatasi pandemi Covid-19 serta lebih memilih pendekatan ekstrem ala darurat sipil.

Renjani Sari

Blaž Zgaga, jurnalis investigasi di Slovenia, terpaksa harus bersembunyi karena serangkaian teror yang diterimanya setelah mengkritik kebijakan Pemerintah dalam menangani pandemi. Zgaga mempertanyakan keabsahan pendirian Pusat Krisis Corona (Crisis HQ) yang menggunakan pendekatan militeristik.

Tak selang berapa lama setelah kritik itu dilayangkan, sebuah notifikasi dari Twitter tiba-tiba masuk ke ponselnya. Notifikasi itu berasal dari akun resmi Crisis HQ yang memposting ulang pesan dari sebuah akun anonim.
Isinya, maklumat kepada publik, bahwa ada empat orang yang positif mengidap Covid-Marx/Lenin telah melarikan diri dari rumah sakit. Dalam postingan itu, secara gamblang menyebutkan nama empat orang, yakni dirinya dan tiga tokoh masyarakat lainnya yang dikenal kritis terhadap Pemerintah. Zgaga pun merasa ketakutan.

Seperti halnya di belahan dunia lain, pengidap Corona di negaranya akan distigma negatif. Zgaga yang juga anggota Konsorsium Internasional untuk Jurnalis Investigasi (ICIJ) itu khawatir keselamatannya bakal terancam akibat berita palsu dengan motif politik yang disebarkan oleh akun anonim. Diapun memilih bersembunyi.

Sejak WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, berbagai negara merespon dengan cara yang berbeda-beda, mulai dari pendekatan medis – dengan melibatkan ilmuwan dan ahli kesehatan, hingga militeristik. Slovenia, adalah salah satu dari negara-negara di Eropa Timur yang memilih cara terakhir, yakni memberlakukan keadaan darurat dengan memperbesar wewenang aparat bersenjata.

Dalam artikelnya yang dimuat Majalah Nacional, Zgaga menggambarkan situasi di Slovenia saat ini yang lebih mirip perang, ketimbang menghadapi krisis kesehatan atau wabah. Sejak Crisis HQ dibentuk, nyaris tak ada lagi ahli medis dan ilmuwan yang berbicara di ruang-ruang publik. Dalam tulisannya, dia menganggap Perdana Menteri Janez Janša telah mengeruk keuntungan dari pandemi Corona untuk memperkuat kekuasaannya.

Kendati memperoleh dukungan luas dari berbagai pihak, Zgaga mengaku masih takut dan memilih mengasingkan diri. Berikut ini, perbincangan Nuusdo dengan Blaž Zgaga, jurnalis yang lama berkutat pada isu keamanan nasional, pertahanan dan intelijen tersebut.

***

Saat ini, Anda mengisolasi diri. Apa sebabnya?

Awalnya saya berencana pergi ke AS, pada 19 Maret lalu, untuk menghadiri Program Residensi Jurnalis (JIR) di Booth School of Business, Universitas Chicago. Karena itu, saya mengisolasi diri seminggu sebelum berangkat dengan harapan semoga tidak terinfeksi (Covid-19). Tapi, karena kondisi pandemi memburuk, JIR ditunda sampai musim semi mendatang dan semua rencana penerbangan dibatalkan.

Sejak mempertanyakan kebijakan Pemerintah menangani Corona, beberapa waktu lalu, saya sudah beberapa kali mendapatkan ancaman, baik via Twitter maupun pesan pribadi. Karena itu, saya memutuskan menyembunyikan diri.

Saat ini, sudah sekitar tiga minggu saya mengisolasi diri.

Bagaimana Pemerintah Slovenia merespon pandemi Covid-19? Apa yang keliru dari kebijakan yang mereka ambil?

Pemerintah Slovenia merespon pandemi ini dengan mendirikan Pusat Krisis (Crisis Headquarter). Yang membuat kami sangat khawatir. Karena, badan ini tiba-tiba saja ada, didirikan tanpa undang-undang atau dasar hukum apapun, dan ditetapkan oleh Rezim Janez Janša sebagai pemegang otoritas tertinggi yang berwenang mengambil keputusan apa saja selama masa krisis pandemi berlangsung.

(Perdana Menteri Janez Janša adalah ketua partai sayap kanan, Demokrat, atau SDS, yang dikenal cukup kontroversial. BBC melaporkan, sebelum terpilih sebagai perdana menteri untuk ketiga kalinya dalam periode yang berbeda, Janša pernah dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan pajak. Pada 1994, dia juga pernah dicopot dari posisinya sebagai Menteri Pertahanan. Janša dianggap bertanggung jawab atas skandal penangkapan warga sipil oleh aparat militer yang dianggap brutal oleh berbagai kalangan. Meski demikian, sebagian warga Slovenia – terutama para pendukungnya, menganggap Janša berjasa bagi kemerdekaan Slovenia. Dia juga dikenal sebagai sekutu terdekat PM Hongaria Viktor Orbán)

Pemerintah baru ini berasal dari koalisi ekstrem kanan Slovenia. Saat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan status pandemi, beberapa hari kemudian, Pemerintah melakukan ‘bersih-bersih’ dengan menghapus sejumlah posisi penting di Dewan Keamanan Nasional. Hanya dalam tempo sehari, Janša menggeser Kepala Staf Umum (Kasum), Direktur Jenderal Kepolisian dan Kepala Dinas Intelijen Militer pada hari Jumat, 13 Maret. Beberapa hari kemudian, Direktur Badan Intelijen dan Keamanan Sipil (SOVA) juga mengundurkan diri, setelah dia secara resmi dikeluarkan dari Dewan Keamanan Nasional.

READ  Ancaman "Bredel" Ala Omnibus Law: Memiskinkan Media dengan Denda

Dengan begitu, praktis, Crisis HQ saat ini menjadi satu-satunya lembaga yang punya wewenang sangat leluasa. Bahkan, keberadaannya secara otomatis meniadakan peran Dewan Keamanan Nasional, berikut jajaran unit organisasi di bawahnya, yang menurut UU sebenarnya lebih memiliki kewenangan mengatasi krisis apabila negara dalam kondisi darurat.
Tidak cuma itu, Pemerintah juga menghapus posisi kepala Institut Nasional untuk Kesehatan Masyarakat (National Institute for Public Health), lembaga negara yang khusus menangani pencegahan epidemi dengan alasan faktor politik.

Sejak Crisis HQ berdiri, kebijakan anti-sains Pemerintah makin menjadi-jadi. Mereka menghentikan dan melarang uji massal Covid-19, melanggar seluruh rekomendasi WHO dan pakar epidemiologi, serta mengadopsi model baru yang meminta hanya pasien rawat inap yang akan melakukan tes Covid. Sekarang ini, sudah tidak ada lagi pakar epidemiologi yang muncul di depan publik. Semua angka tentang epidemi di Slovenia juga cenderung menyesatkan, karena tidak ada informasi riil berapa banyak warga yang sebenarnya terinfeksi.

Bayangkan, bagaimana sebuah negara dapat mencegah epidemi, kalau mereka saja tidak mempunyai data riil tentang siapa saja yang terinfeksi, peta persebaran dan riwayat kontak penderita, serta bagaimana isolasinya?

Sesaat setelah Crisis HQ ditetapkan, saya pun mempertanyaan keabsahan badan tersebut: Atas dasar UU dan regulasi apa pendirian badan baru ini, siapa yang akan memegang komandonya, dan kemana garis komandonya?

Akan tetapi, respon yang saya terima justru mengejutkan. Tidak berselang lama setelah saya mengajukan pertanyaan itu, tiba-tiba saja, ponsel saya menerima notifikasi dari Twitter. Akun resmi pemerintah rupanya me-retweet postingan akun anonim. Isinya teror fitnah pada saya dan beberapa orang lainnya dengan mention ke akun-akun pribadi kami. Bunyinya: “Psikiater sedang mencari empat pasien yang lolos dari karantina. Mereka memiliki virus Covid – Marks/Lenin.”

Empat pasien yang dimaksud akun tersebut adalah saya, Profesor Darko Štrajn, Slavoj Žižek dan Boris A. Novak. Dua nama yang terakhir adalah filsuf dan penyair kenamaan Slovenia. Kami berempat saat ini sedang menjadi sasaran serangan Rezim Janša dan pendukungnya.

(Partai Demokrat Slovenia atau SDS yang berideologi kanan awalnya didirikan sebagai oposisi partai komunis yang dominan sejak negara itu masih jadi bagian dari Yugoslavia. SDS juga dianggap sebagai partai anti-komunis dan anti-imigran)

Selain ancaman di Twitter, kami juga diserang secara bertubi-tubi oleh media-media pendukung Pemerintah. Salah satunya, dari media yang dibiayai oleh PM Hongaria Viktor Orban yang secara langsung dikendalikan oleh partai penguasa SDS. Hampir setiap hari, wajah saya terpampang di halaman depan situs resmi mereka. Berbagai berita tentang saya, isinya hanya kampanye kotor. Saya juga berkali-kali menerima ancaman kekerasan dari sumber anonim.

READ  In Memoriam: Pers Pancasila (Sebuah Catatan)

Serangan media-media penguasa itu rupanya tidak cuma ditujukan kepada saya. Redaksi mereka juga secara terbuka menyerang Pers. Mereka menyebut, sebagian besar media dan jurnalis di Slovenia adalah pro-teroris. Bahkan, PM Janša melalui akun Twitter pribadinya terang-terangan mengancam Radio dan TV publik agar tidak mengkritik pemerintah.

Apakah pendirian Crisis HQ itu mengancam demokrasi dan kebebasan pers? Bagaimana pengaruhnya sejauh ini?

Sejak mulai berkuasa, Pemerintah baru ini memang terlihat aktif menekan partai-partai oposisi agar setidaknya 2/3 mayoritas anggota di Parlemen mendukung suara untuk memperkuat Polisi Militer. Tentu saja, kebijakan itu sangat berbahaya dan rawan penyalahgunaan, karena saat ini militer sudah tidak lagi memiliki pos-pos kepala staf umum (kasum).
Lebih berbahaya lagi, karena PM Janša pernah diberhentikan dari jabatannya sebagai Menteri Pertahanan pada tahun 1994, setelah pasukan khusus militer dan unit intelijen militer di bawah kementeriannya secara brutal menangkapi warga sipil.

(Redaksi: Dalam buku “Staging Postcommunism: Alternative Theatre in Eastern and Central Europe after 1989”, penulis Vessela S. Warner dan Diana Manole menulis tentang teater verbatim yang dimainkan seniman Slovenia. Mereka mementaskan karakter Janez Janša dengan merekonstruksi adegan penangkapan warga sipil)

Selain itu, pemerintah ekstrem kanan juga memasukkan ide perluasan kekuasaan polisi ke dalam “UU Intervensi” untuk mencegah konsekuensi ekonomi yang timbul akibat pandemi. Apabila usulan itu disetujui, maka polisi akan dapat memasuki apartemen pribadi dan melacak orang-orang yang diduga terinfeksi (Covid-19) melalui telepon seluler, tanpa perintah dari pengadilan.

Baik Ombudsman Hak Asasi Manusia (HAM) dan Komisi Informasi sudah mengecam keras usulan tersebut. Mereka bahkan menyatakan bahwa proposal itu inkonstitusional, serta akan sangat membahayakan demokrasi di negeri ini.

Pada 17 Maret, saya juga menulis hal yang sama di Majalah mingguan Kroasia, Nacional, bahwa Slovenia akan segera menghadapi kediktatoran militer.

Saat ini, sekutunya, Viktor Orban sudah membubarkan demokrasi di Hongaria. Saya khawatir, Slovenia akan mengikuti langkah mereka. Itulah mengapa, saya begitu mengkhawatirkan diri saya karena sepanjang karier jurnalistik saya selama ini telah banyak mengungkap skandal korupsi PM Janša.

(Redaksi: ICIJ telah melayangkan surat kepada Pemerintah Slovenia beberapa waktu lalu agar Zgaga mendapatkan perlindungan sebagai jurnalis. Melalui perwakilannya, pemerintah menyarankan agar Zgaga melaporkan diri ke polisi. Mereka juga berdalih bahwa Slovenia adalah salah satu negara paling aman di dunia)

Menurut Anda, bagaimana seharusnya Pemerintah Slovenia mengatasi pandemi?

Saya pikir, pemerintah manapun di dunia ini harusnya mempercayakan penanganan pandemi pada pakar epidemologi, ahli kesehatan dan para ilmuwan. Semua kebijakan yang diambil untuk mencegah penyakit menular haruslah berbasis sains.

Tiap tahun, ada sekitar 60 juta orang di dunia yang meninggal karena berbagai sebab. Sebagian besar di antara mereka adalah orang tua yang meninggal karena sakit. Kalau pun, wabah Corona akhirnya menyumbang kematian hingga 1 juta orang – dengan mayoritas lansia dan penderita yang memiliki komplikasi, ini akan menjadi anomali statistik.

Ya, mungkin itu pendapat pribadi saya. Tapi tetap saja. Bahkan, di Uni Eropa sendiri, angka orang meninggal setiap tahunnya ada 5,3 juta. Sedangkan di Italia, menurut data Eurostat, pada 2018 angka kematian dalam setahun ada 633 ribu jiwa. Dari rata-rata angka mortalitas tahunan itu, yang meninggal karena penyakit pernapasan saja ada, pada 2019, sudah sekitar 122 ribu orang (Redaksi: jumlah korban meninggal karena Corona dari Februari – Maret tercatat 13,9 ribu). Sedangkan, di Slovenia lebih dari 20 ribu orang meninggal setiap tahun karena bermacam-macam sebab.

READ  Global Voices: Mendengarkan Suara-suara yang Terlupakan

Akan tetapi, menanggapi pandemi ini, reaksi media dan politisi (Slovenia) tampaknya sangat berlebihan. Mereka seharusnya lebih mempercayakan persoalan ini pada ahli epidemiologi, bukan politisi.

Para pakar itu sudah terlatih untuk menangani hal-hal semacam ini. Dengan demikian, badan-badan pemerintahan yang lain dapat mulai memikirkan dampak sampingan pandemi Corona, baik dalam jangka menengah maupun panjang, kira-kira apa saja efeknya secara global.

Sayangnya, tak ada pihak yang serius mempertimbangkan dampak negatif Corona terhadap resesi ekonomi. Kalau pendekatan penanganannya keliru, jumlah kematian akibat non-pandemi justru akan jauh lebih besar. Belum lagi, hilangnya kebebasan sipil yang sudah diperjuangkan mati-matian oleh generasi sebelumnya lewat perang dan jalan revolusi.

Sebagai jurnalis yang memiliki spesialisasi dalam liputan isu keamanan nasional, pertahanan dan intelijen, saya tahu bahwa Swedia memiliki sistem keamanan nasional yang sangat baik dan punya banyak pakar yang hebat. Akan menarik, bila siapapun bisa belajar dari cara mereka menangani krisis pandemi yang berbeda dengan negara lain.

Pemerintah sayap kanan Slovenia harusnya juga mau mendengarkan para ahli epidemiologi dan tidak menggunakan epidemi ini sebagai proyek politik. Bahkan, mengendalikan seluruh aparatur negara di bawah partai penguasa, dengan kedok mengatasi krisis.

Bagaimana masyarakat sipil dan pers bereaksi terhadap kebijakan tersebut? Apa respon Pemerintah terhadap setiap kritik?

Asosiasi Jurnalis Slovenia dan banyak organisasi pers internasional sudah memberi peringatan tanda bahaya. Bahwa, model penanganan pandemi yang dipilih Pemerintah ini tidak hanya akan membahayakan kemerdekaan pers, tapi juga mengancam keselamatan wartawan. Peringatan serupa diserukan oleh Dewan Eropa ( Council of Europe), badan Uni Eropa yang memang khusus menangani masalah-masalah HAM.

Namun, alih-alih menerima, Perdana Menteri justru menuduh balik peringatan itu sebagai hoaks. Saya khawatir, cepat atau lambat, Slovenia akan segera mengikuti cara-cara kediktatoran Hongaria.

Dukungan apa yang Anda telah terima setelah mendapat ancaman?

Saya harus mengucapkan terima kasih pada rekan-rekan sesama jurnalis atas dukungan dan bantuan mereka. ICIJ, organisasi tempat saya bergabung, telah melayangkan surat protes ke Pemerintah sebagai dukungan terhadap saya. Surat itu ditandatangani sekitar 56 jurnalis anggota ICIJ.

Berbagai organisasi internasional, seperti Reporters Without Borders (RSF), juga sudah mengirimkan surat yang mendesak agar ada kepastian hukum dan jaminan kemerdekaan bagi para jurnalis di lapangan yang meliput pandemi Covid-19.

Akan tetapi, Pemerintah dan para pendukungnya seolah tidak peduli, seperti sedang dibutakan oleh kekuasaan. Beberapa hari lalu, misalnya, saya menerima pesan pribadi via Twitter dari direktur salah satu rumah sakit di Slovenia yang sepertinya adalah pendukung salah satu partai koalisi penguasa.

Dia mengatakan, “Mungkin Anda akan segera dites positif. Dengan begitu, kami akan melihat bagaimana Anda akan meronta-ronta.”

Pesan itu benar-benar membuat saya takut. Itu artinya, mereka ingin menunjukkan kalau saya mungkin tidak akan mendapatkan pelayanan medis yang memadai jika terinfeksi. Direktur itu sudah meminta maaf pada saya, dan saya sudah menerima permintaan maafnya.

Hal-hal semacam itu memperlihatkan, bagaimana perdebatan soal pandemi di Slovenia – negara anggota Uni Eropa ini, ternyata sudah berubah seperti racun. Para politisi ekstrem kanan sengaja menyebarkan opini sesat yang tidak rasional untuk membutakan mata para pendukungnya. Anehnya, pendukung dari golongan terpelajar yang mestinya bisa berpikir rasional, seperti dokter tadi, ternyata mudah mempercayainya.

Dengan kondisi saat ini, sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana prospek Slovenia ke depan. (*)