“Kalau Serangan Digital Dibiarkan, Seperti Negara Tanpa Pemerintahan”

Serangan digital – dari doxing, peretasan, hingga teror ancaman pembunuhan, semakin masif menyasar jurnalis, media, serta masyarakat sipil yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Buzzer dinilai memperkeruh suasana.

Pito Agustin Rudiana

Keagresifan buzzer pendukung pemerintah dianggap buruk bagi demokrasi. Dalam hitungan bulan, sejak wabah Covid-19 menyebar, berbagai serangan digital terus menyasar jurnalis atau siapa saja yang melontarkan kritik dan masukan terhadap kebijakan penanganan pandemi atau isu lain. Sayangnya, pemerintah yang diharapkan dapat meredam sikap para buzzer pendukungnya justru terkesan diam sehingga kian memperkeruh persoalan.

Salah satu kasus serangan digital dialami oleh jurnalis Detik.com, Mei lalu, usai menulis berita persiapan Presiden Joko Widodo membuka mal di Bekasi ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih berlangsung. Belakangan, berita itu diklarifikasi pejabat setempat dan Detik.com juga memuatnya. Namun, jurnalis media online tersebut justru mengalami doxing. Nama, informasi pribadi dan jejak digitalnya disebar ke media sosial. Serentetan opini negatif juga diposting ke media sosial yang isinya menyerang jurnalis dan medianya. Bahkan, serangan tersebut berlanjut dengan teror dan ancaman pembunuhan.

Serangan digital kini menjadi ancaman nyata pekerja pers. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) pun menggaungkan alarm Siaga Satu Represi pada Jurnalis dan Media. Bentuk serangan digital berupa doxing, disinformasi, akun peniru, malware, peretasan, serangan DdoS (distributed denial-of-service), amuk siber, juga spam. Di tahun 2020, SAFENet juga mencatat penambahan kasus represi terhadap jurnalis dan media dibandingkan tahun sebelumnya. Sejauh ini ada 2 pemidanaan, 1 amuk siber, 3 doxing, 4 peretasan, dan 1 serangan DdoS – atau aksi membanjiri lalu lintas jaringan server situs yang disasar sehingga tidak bisa diakses oleh publik.

Data AJI Jakarta juga menyebut, kasus kekerasan digital terjadi sejak tahun 2018. Persekusi tidak hanya dialami jurnalis Detik.com tapi juga sejumlah jurnalis di Jakarta dari Kumparan.com, CNNIndonesia.com, hingga jurnalis Al Jazeera saat meliput di Papua. Di Awal Januari 2020, jurnalis Kompas.com juga mengalami doxing karena artikel tentang gubernur rasa presiden. Begitu juga dengan Magdalene.co dan Konde.co yang gencar menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas. Baru-baru ini, situs Tempo dan Tirto juga mengalami peretasan karena memuat liputan kritis tentang penanganan Covid-19.

Pers Mahasiswa tak luput dari serangan digital seperti kasus dua jurnalis Teknokra, Universitas Lampung yang diteror dan di retas akun media sosialnya sehari sebelum menggelar diskusi rasisme dan pelanggaran HAM di Papua.

Bagaimana pandangan organisasi profesi melihat masifnya kekerasan digital terhadap jurnalis dan media di Indonesia? Simak perbincangan Nuusdo bersama Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI).


Praktik kekerasan digital terhadap para aktivis bergeser menyasar jurnalis dan media. Mengapa itu terjadi?

Fungsi jurnalisme adalah menyampaikan kebenaran. Satu sisi, kebenaran itu membebaskan, sisi lain menyakitkan. Peran media apalagi pada masa wabah Covid-19 cukup menantang. Media menulis kelambanan dan sinisme terhadap pemerintah dalam menangani wabah yang meluas serta ketidaksiapan infrastruktur kesehatan. Semua informasi itu mencerminkan realitas kebenaran agar publik tahu. Harapannya, publik lebih waspada dan pemerintah mengoreksi dirinya.

Berita yang menunjukkan sisi lemah pemerintah tidak membuat semua senang. Juga membuat orang takut. Pers malah dianggap menciptakan pesimistik. Pemerintah tidak senang karena dianggap tak siap dan ceroboh menangani wabah. Itu dilema yang dialami media.

Dampaknya, media seperti berada di antara dua karang. Di satu sisi, menyampaikan kebenaran agar pemerintah dan publik waspada. Di sisi lain, orang takut dan pemerintah tak senang. Tapi itu faktanya. Publik harus tahu dan harus menghadapi risikonya.

Hal ini membuat sebagian pers diserang. Seperti yang dialami jurnalis Detik.com yang memberitakan seremoni persiapan Jokowi membuka mal di Bekasi. Itu nggak proper. Lalu pers mengalami kekerasan ketika menjalankan peran kritis kepada pemerintah. Yang dihadapi media online Detik.com itu harassement (pelecehan) pada profesi jurnalis di media sosial. Ada juga yang diancam, diteror dengan pesanan Go Food karena menjalani peran yang berisiko seperti itu.

Mengapa menggunakan kekerasan digital untuk membungkam kritik karena tidak suka dengan konten jurnalistik?

Kritik-kritik terhadap pemerintah saat ini agak sulit dijerat dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), pasal penghinaan terhadap aparat negara, atau aduan pencemaran nama baik di KUHP maupun UU ITE. Biasanya, instrumen hukum digunakan karena lebih legal. Tapi sepertinya kurang diminati karena butuh waktu lama dan berisiko mengundang kecaman pubik lebih luas. Misal, kasus penghinaan presiden yang diproses hukum, pasti akan menuai kecaman keras.

Makanya, digunakan cara-cara lebih kotor di luar hukum seperti harassment. Itu dianggap lebih ‘bersih’ karena lebih sulit membuktikan pelakunya. Dengan begitu sangat mudah pemerintah berdalih, mana bukti yang menunjukkan pemerintah sebagai pelakunya. Cara-cara itu lebih aman untuk melakukan kejahatan di luar hukum. Mungkin lebih aman bagi pelakunya, tapi cukup berbahaya bagi masyarakat sipil.

Ini seperti berperang dengan bayangan. Tak ketahuan siapa pelakunya. Pemerintah dapat bertindak progresif agaknya sulit diharapkan. Kalau dibiarkan, jadi seperti negara mafia karena kekuasaan yang digunakan melampaui kekuatan negara.

Artinya, penegak hukum tidak berdaya menghadapi kekerasan digital?

Itulah mengapa penegak hukum sekarang ini perlu bertindak keras dan tegas. Pertama, untuk memulihkan ketertiban. Kalau tak diproses hukum, seolah-olah pelaku peretasan dan intimidasi itu tidak melanggar hukum. Kalau dibiarkan seperti berada di negara yang tak punya pemerintah, tak punya penegak hukum. Jadi, penting bagi penegak hukum untuk memulihkan kepercayaan publik bahwa ini negara hukum. Jadi tak boleh ada tindakan yang tak diproses.

Kedua, untuk menunjukkan pemerintah bukan di balik semua itu. Salah satu contoh terbaik adalah memproses hukum para pelaku. Menurut saya, publik wajar bila akhirnya mencurigai pemerintah atau badan intelijen di balik semua peretasan dan harassment terhadap masyarakat sipil belakangan ini. Salah satu bukti kuat, pemerintah melakukan pembiaran. Kalau tak diproses hukum, semakin menguatkan kecurigaan bahwa pemerintah adalah dalang di balik intimidasi itu.

Menurut Anda, siapa pelakunya?

Mungkin pelakunya bukan tunggal. Tapi bisa menginspirasi yang lain untuk melakukan peretasan. Waktu peristiwa 212 banyak juga harassment di medsos yang dilakukan Muslim Cyber Army. Agar tak menjadi model atau cara untuk mengatasi masalah, kasus demikian harusnya diproses hukum. Supaya peristiwa seperti ini tak terus berlanjut. Proses hukum itu wilayah pemerintah, bukan wilayah masyarakat sipil. Salah satu peran pemerintah dan negara ada di situ.

Sisa-sisa sikap partisan pasca pemilihan presiden yang mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat juga ikut berkontribusi. Wartawan yang kritis memberitakan kebijakan pemerintah soal wabah, lalu mengalami kekerasan harassment. Kalau kritis menulis tentang pemerintah, akan dianggap sebagai sikap anti presiden. Mereka yang kritis seringkali dilihat dengan kacamata seperti itu dan didukung oleh orang-orang yang kecewa pada hasil Pemilu.

Kelompok 212 pakai momentum itu untuk menjelekkan pemerintah. Misal, kritikan pada pemerintah selama wabah yang mestinya hal biasa dipakai untuk tujuan politis. Itu jadi terlihat ada nuansa politis. Membuat kritik dianggap sesuatu yang sulit. Kalau menulis yang baik, kelompok pro pemerintah senang. Kalau buruk, pendukung non pemerintah yang senang. Jadi, sisa perpecahan politik pemilu itu belum sepenuhnya selesai, meski (lawan politik) sudah bergabung dengan pemerintah. Tidak secara otomatis mengakhiri konflik.

Ada peran negara cukup besar dalam soal ini. Misal, pembela pemerintah di medsos adalah orang yang diketahui buzzer Jokowi. Beberapa kali mereka diundang presiden untuk ngobrol. Publik melihat sebagai buzzer presiden. Kalau buzzer ini memperkeruh suasana dengan menyerang pengkritik pemerintah, seharusnya pemerintah dan orang-orangnya berpikir strategis. Seharusnya tindakan-tindakan seperti itu diredam. Yang terjadi sekarang justru mendiamkan. Publik justru akan beranggapan, jangan-jangan malah disuruh (pemerintah).

Apakah itu artinya negara berperan di balik kekerasan digital?

Sikap diam presiden akan dianggap sebagai “Ya, ini perintah presiden untuk menyerang pengkritiknya”. Yang demikian ini justru akan memperkeruh suasana.

Selama ini, sikap pemerintah terlihat dari cara mereka mendiamkan atau justru secara agresif menyerang balik para pengritiknya. Misalnya, dengan menangkap para pengkritik seperti Ravio Patra, menyebarkan disinformasi tentang mereka atau meretas akun media sosial dengan instrumen digital. Semua ini akhirnya menimbulkan tanda tanya terhadap peran pemerintah.

Yang memungkinkan melakukan harrasment seperti itu adalah institusi negara. Entah badan intelijen, aparat keamanan atau kekuatan luar, seperti mafia misalnya. Kalau ada kekuatan luar yang melakukan dan pemerintah justru mendiamkan, ya kebodohan pemerintah. Apabila terjadi tindakan dan pemerintah menganggapnya remeh, sikap semacam ini akan memunculkan spekulasi: ‘Jangan-jangan, itu pekerjaan pemerintah’. Atau, ‘pemerintah yang menyuruh seseorang melakukan, lalu pemerintah mendiamkan’.

Menurut saya, peran penting pemerintah ada di situ. Sikap diam atas represi terhadap masyarakat sipil yang mengalami peretasan jelas mengancam kebebasan pers. Sikap ini akan dianggap sebagai persetujuan bahwa serangan digital tersebut sebenarnya dilakukan pemerintah, tapi menggunakan tangan orang lain.

Hal apakah yang semestinya dilakukan negara?

Tak penting presiden memberikan komentar. Tapi, presiden harus melakukan tindakan konkrit. Itu lebih penting. Kalau ada harassment ya ditindak secara hukum. Itu menunjukkan komitmen melindungi kebebasan berekspresi. Tapi yang terjadi, komentar enggak, melakukan penegakan hukum juga tidak. Kalau ada yang mencurigai pemerintah ada di belakang itu semua, ya jangan disalahkan.

Sejauhmana potensi tindakan peretasan terhadap pers dan masyarakat sipil kian masif?

Potensi untuk (peretasan) masif sangat besar. Yang kelihatan misalnya, terkait dengan isu-isu tentang Papua. Tindakan intimidasi dan represi tak hanya soal Papua, tapi juga pada kasus-kasus lain. Misal, peretasan akun Ravio dan para aktivis pada saat memprotes revisi UU KPK.

Kalau ini dibiarkan dapat menjadi resep untuk menangani kasus-kasus lain. Makanya harus dicegah sejak dini sebelum semuanya diatasi dengan cara yang sama. Seperti yang dilakukan AJI dengan cara menggugat pemerintah soal pemblokiran internet. Tujuannya, cara semacam itu agar tidak berubah menjadi norma. Sedikit-sedikit blokir. Jadi kebiasaan.

“Sisa-sisa sikap partisan pasca pemilihan presiden yang mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat juga ikut berkontribusi. Wartawan kritis memberitakan pemerintah soal wabah, lalu mengalami kekerasan harassment. Kalau kritis menulis tentang pemerintah, dianggap sikap anti presiden. Seringkali dilihat dengan kacamata itu dan didukung kultur orang-orang yang kecewa Pemilu.”

Soal peretasan harus diantisipasi. Ini jadi pola yang dipakai untuk merepresi masyarakat sipil. Dengan melihat kasus itu, masyarakat tahu siapa yang diuntungkan dan dirugikan. Yang dirugikan adalah pihak pemerintah. Patut diduga, pelakunya adalah orang-orang di balik itu. Maka, untuk membersihkan bahwa pelaku atau sponsor bukan pemerintah, ya harus diproses hukum kasus-kasus peretasan itu.

Bagaimana meminimalisasi risiko tersebut?

Tugas wartawan adalah menyampaikan kebenaran dan bekerja untuk publik. Tetap teguh di situ meski banyak risikonya, seperti risiko tak disukai orang atas informasi yang disampaikan. Ini harus dilihat sebagai risiko pekerjaan yang tak terhindarkan. Di sisi lain, hal tersebut akan jadi alarm bagi wartawan agar bekerja profesional. Patuh kode etik. Mengingat situasi seperti sekarang ini, posisi pers sangat rentan. Berita berkualitas dan sesuai kode etik akan meminimalisasi potensi untuk dipersoalkan oleh pihak lain. Meskipun, tak ada jaminan bahwa berita yang benar tidak akan dipersoalkan. Akan tetapi, peluang pihak lain mempersoalkan berita tersebut akan menjadi lebih kecil.

Kalau akhirnya dipersoalkan hingga digugat ke pengadilan, setidaknya peluang untuk menang akan lebih besar karena sudah melaksanakan prosedur dengan benar ketika menulis berita. Itu harga yang kami terima sebagai wartawan. Seperti beberapa kali saya sampaikan, berita yang kami tulis mungkin membuat orang lain tak senang, pemerintah tak senang, tapi tugas wartawan memang bukan untuk menyenangkan setiap orang. Kalau pemerintah ingin ditulis yang baik-baik saja, pemerintah berharap pada pihak yang salah. Itu tugasnya humas. Tugas wartawan adalah menyampaikan kebenaran meski itu pahit.

Bagi masyarakat sipil, harapan mendapatkan perlindungan negara saat ini semakin kecil. Dukungan dari negara juga makin sedikit. Di kalangan masyarakat sipil sendiri, terutama media, akhirnya harus memperkuat solidaritas agar bisa mengantisipasi apabila ada tekanan, misalnya yang dilakukan oleh negara. Dalam beberapa hal, solidaritas tersebut adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap masyarakat sipil. Jika tindakan kejahatan diketahui publik, pelaku akan menahan diri.

Jadi, apakah kondisi kebebasan pers kian buram, apalagi pada masa pandemi?

Kebebasan pers dan berekspresi di masa pandemi dan pemerintahan Jokowi periode kedua ini tak cukup menggembirakan. Kekerasan terhadap wartawan masih banyak. Komitmen negara menyelesaikan persoalan ini tergolong rendah. Komitmen membela masyarakat sipil juga kurang. Jadi, saat ini memang masa-masa yang cukup menantang. Ini jadi penentu kebebasan pers dan berekspresi di masa mendatang.

Kebebasan pers itu cabang dari kebebasan berekspresi. Ketika kebebasan berekspresi menyempit, sudah pasti berdampak pada kebebasan pers secara tak langsung. Misalnya, terkait isu Papua, intimidasi yang ada sangat besar. Orang menjadi was-was apabila berbicara tentang Papua pada wartawan. Dampak turunannya seperti itu. Jadi, setiap serangan terhadap kebebasan berekspresi adalah serangan terhadap kebebasan pers.

Kebutuhan mempertahankan kebebasan saat ini sangat memengaruhi kebebasan di masa mendatang. Kebutuhan kami menggugat praktik-praktik saat ini sebagai bagian dari upaya untuk mempertahankan ruang kebebasan, sebelum kebebasan nantinya hilang akibat sikap diam kami yang tak mempersoalkan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis. Ini pentingnya kami melawan.

Artinya, perlawanan ini menjadi hal mendesak untuk menyelamatkan jurnalisme di Indonesia?

Di negara demokrasi, jurnalisme diibaratkan sebagai ‘balaikota’ yang seharusnya menjadi tempat bagi publik untuk menyampaikan segala aspirasi, ekspektasi dan harapannya agar dapat didengar oleh pemerintah. Fungsi-fungsi itu bisa dilakukan jika praktik jurnalisme berjalan dengan baik. Jurnalisme bukanlah tempat hiburan saja yang memberikan informasi tak bermutu atau kurang memberikan tempat bagi kontrol sosial.

Bisa saja, fungsi-fungsi itu kemudian tak dijalankan karena sebagian media menganggap publik lebih senang membaca gosip, info artis atau hiburan. Jadi, untuk apa memberi informasi bermutu. Cilaka, jika semua media memilih jalan itu. Bukan berarti, tak boleh ada media hiburan.

Akan tetapi bila hal itu dilakukan, media akan membuat salah satu fungsi jurnalis sebagai kontrol terhadap pemerintah seperti menjadi tak memiliki tempat. Karena itu, perlu ada media yang menjalankan fungsi informatif, mendidik, dan kontrol sosial, meski juga menghibur.

Kalau fungsi-fungsi itu tak dilakukan, publik akan kesulitan mendapatkan saluran terbaik sebagai alternatif. Di negara demokrasi seharusnya saluran lewat birokrasi. Tapi dalam banyak kasus, birokrasi itu sangat panjang, bahkan di luar ekspektasi publik. Apabila publik berharap pemerintah untuk mendengar, maka melalui birokrasi dari level bawah sampai ke presiden prosesnya akan memakan waktu lama. Berbeda bila harapan itu disampaikan melalui media, presiden bisa membacanya langsung dan mungkin pesannya akan lebih minim distorsi. Kecuali, kalau media yang menulisnya tak kredibel.

Contohnya adalah kasus Papua. Kebijakan pemerintah (pusat) sangat bergantung pada informasi yang disampaikan oleh birokrasi Papua ke Jakarta. Kebijakan akan dibuat berdasar informasi yang masuk. Kalau birokrasinya ABS (asal bapak senang), yang disampaikan pastilah yang baik-baik saja. Akan tetapi, kalau informasinya obyektif, maka akan ada peluang bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih benar.

Apa peran yang dapat diambil publik untuk menyelamatkan jurnalisme?

Inilah tantangannya. Disadari atau tidak, kritik publik terhadap media masih banyak, misalnya pada media yang partisan dan sebagainya. Kalau media hanya berorientasi pada profit, peran mereka akan kurang sejalan dengan prinsip jurnalisme dalam menyampaikan kebenaran.

Di sisi lain, jurnalisme kini juga dirusak oleh sikap partisan sipil yang masih tinggi. Orang hanya ingin membaca apa yang ingin dibaca. Yang demikian sangat kentara terlihat saat pemilu. Kalau, media mendukung pasangan calon 01 maka mereka hanya mau membaca hal-hal yang baik tentang 01. Tapi tak mau membaca hal-hal yang buruk tentang pasangan 01.

Tradisi berlangganan juga masih kurang. Seharusnya, publik mengakses berita berbayar sehingga mereka ikut berkontribusi terhadap keberlangsungan jurnalisme yang berkualitas. Publik dapat berlangganan media yang menurutnya memberikan manfaat yang besar, informasi yang bermutu dan berita yang berkualitas. Jangan, membeli bajakan. Berbagi PDF majalah atau surat kabar bajakan secara sekilas tujuannya baik yakni untuk berbagi informasi, namun tak cukup baik bagi keberlangsungan media sendiri. Saat ini, publik di Indonesia belum mempunyai kontribusi banyak untuk membantu kultur media yang profesional.(*)