Lelaki dengan Zapata di Betisnya

Foto: Peter R de Vries (NOS)

Ia disebut sebagai pahlawan, tetapi kelak, “Tulislah di atas batu nisan saya, telah meninggal seorang ayah yang baik.” — Obituari Peter R de Vries

Lea Pamungkas*

Tidak banyak seseorang seperti dia, sekarang atau kapanpun. Seseorang, yang entah kerasukan apa– dalam hidupnya terus bergerak menopang agar keadilan dan kebenaran tetap berdiri. Integritas dan komitmennya kepada korban kejahatan dan ketakadilan membuatnya mendapatkan tempat istimewa di hati masyarakat Belanda.

Peter Ronald de Vries (64), adalah seorang reporter khusus soal kejahatan, beberapa waktu lalu (6/7/21) ditembak di pusat kota Amsterdam. Matahari musim panas belum tergesa mengundang gelap, Peter ditembak dari jarak dekat dan terkapar di trotoar. Telah lama dia menjadi target pembunuhan orang-orang yang dilawannya.

Selama lebih dari seminggu, masyarakat menunggu kabar dengan harap. Bahwa sebuah keajaiban lagi bakal tiba, dan Peter kembali pulih. Tetapi tidak, Kamis (15/7/21), ia meninggal dunia.

Batman tanpa topeng

“Dia adalah sejarah yang berjalan, menetap dalam ingatan kolektif perjuangan melawan kejahatan. Sejak saya kanak-kanak, saya kerap melihat dia di layar teve,” isak Amber (40) seorang guru kelas menengah yang menangis di antara lautan bunga duka tepi jalan de Lange Leidsedwarsstraat. Seolah kembali ke masa kanaknya, Amber menceritakan bagaimana ia selalu yakin bahwa kejahatan akan selalu dikalahkan, hal itu salah satunya adalah karena Peter de Vries.

“Dia seperti Bruce Wayne (personifikasi dalam film ‘Batman’), tetapi tanpa topeng dan tidak menunggu gelap tiba untuk bertindak. Dan sekarang dia ditembak dan terkapar,” tambah Amber dengan mata basah. “Seketika saya merasa ada yang dirampok dalam diri saya, ada yang seketika bolong melompong. Semacam kegamangan menyergap dan belum bisa saya terjemahkan… “

Penembakan atas De Vries, diduga berkait erat dengan tertangkapnya gembong drugs kelas wahid Ridouan Taghi. Kasus ini dikenal dengan sebutan Proses Marengo. De Vries bersedia menjadi penasihat saksi utama dalam kasus tersebut. September tahun lalu, pengacara si saksi utama, Derk Wiersum (32) juga ditembak mati.

“Lebih dari seorang pembela kebenaran, Peter adalah seorang lembut hati yang dengan jiwa yang besar dan sederhana mendampingi keluarga para korban,” begitu isi salah satu kalimat dalam website yang dibuat keluarga de Vries untuk mereka yang hendak menyampaikan dukacita.

Urat takut yang putus

43 Tahun yang lalu De Vries memulai karirnya sebagai repoter di Koran De Telegraaf. Tahun 1987 ia mengundurkan diri dan menjadi pimpinan redaksi Majalah ‘Aktueel’ yang berfokus pada berita-berita kejahatan dengan kualitas investigasi yang dalam. Majalah mingguan ini antara lain mengetengahkan kasus hilangnya Nymphe Poolman, dan menawarkan hadiah sebesar seratus ribu gulden bagi mereka yang berhasil menemukan gadis berusia 6 tahun ini.

Sembari menangani majalah, De Vries — yang oleh sementara orang dianggap ‘keterlaluan beraninya’ dan ‘urat takutnya putus’ juga bekerja dalam program teve ‘Crime Time’

Mulai tahun 1991, ia menjadi reporter independen, dan menulis untuk pelbagai media. Tetapi De Vries menjadi sangat terkenal oleh program teve-nya “Peter de Vries, misdaadverslaggever/ pelapor kejahatan” Oktober 1995 sampai Juni 2012. Dalam program ini ia melakukan investigasi dan reportase pelbagai kejahatan seperti pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, penipuan, dan pornografi anak-anak.

Dengan laku seorang detektif, dan kamera tersembunyi De Vries melakukan pengejaran para pelaku kejahatan, dan membebaskan para tertuduh yang tak bersalah. Lebih lagi tanpa lelah terus melakukan investigasi kasus-kasus pembunuhan yang tak jarang usianya sudah puluhan tahun. Nyaris tanpa henti sampai menemukan pelakunya.

Kartu Natal Setiap Tahun

“Ketika Milica baru saja meninggal, hari itu juga Peter berdiri di depan pintu kami. Saat itu dia masih muda, dan minta izin untuk melakukan investigasi. Tapi orang tua saya tidak mengizinkan,” kisah Maud van Doorn, saudara perempuan Millica van Doorn yang dibunuh pada tahun 1992. Peter mengerti, dan tidak mendesak. Namun diam-diam dia masuk terus mengikuti kasus tersebut. Sepuluh tahun kemudian, peristiwa pembunuhan tersebut tetap gelap. “Ia menulis surat, semenjak itu kami berkerjasama”

Yang luar biasa, demikian tambah Maud, setiap tahun De Vries mengirimkan kartu Natal dan anggur merah. “Dengan tulus menulis, bahwa ia akan terus berada di samping kami dan berjanji menemukan pelakunya”

25 Tahun kemudian, tepatnya tahun 2017, pelaku pembunuhan Milliya ditemukan. “Penemuan ini telah mengubah hidup saya, kehadiran Peter membuat saya tenang. Setiap kali saya melihat dia, hati saya selalu berkata: ah untunglah ada Peter”

Bicara dari hati

“Layaknya seorang ayah, Peter mengatakan pada saya, bicaralah dari hatimu dan semua akan baik,” kenang Renald Majoor, seorang pemain bola yang saat kanak-kanak mengalami pelecehan seksual di sekolah sepakbola junior Vitesse. Selain Majoor, puluhan anak-anak lain pun menjadi korban. Majoor sempat ragu, kuatir pengaduannya bakal menganggu keberlangsungan karirnya sebagai pemain sepakbola profesional. Ia merasa membutuhkan seseorang yang kuat, yang mampu menjadi benteng tempat ia bersandar. Majoor akhirnya menulis surat kepada De Vries.

Kendati tidak terlibat langsung menangani kasus ini, karena punya bisnis di area sepakbola, De Vries tetap mendampingi Majoor dan memberikan saran. Bahkan untuk hal-hal kecil, misalnya menulis poin-poin di atas kertas sebelum menjalani wawancara. Kasus Majoor mendapat perhatian publik luas, dan tak lama kemudian didirikan yayasan untuk anak-anak yang bernasib sama dengan Majoor.

“Saya bisa kapanpun datang ke kantornya. Kerap dia mengajukan pertanyaan yang sulit. Tetapi dia sangat sensitif, biasanya ia tahu apa yang saya maksud. Dia demikian terlibat dengan perasaan saya, dan tak mau dibayar satu sen pun”

Tato dan Zapata

On bended knees is no way to be free ( atawa dalam pepatah Melayu yang tak kalah kharismatis: ‘daripada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah’) kalimat itu, ia abadikan dalam bentuk tato di betisnya. Kutipan dari Emiliano Zapata, aktivis terkenal dalam Revolusi Meksiko, menjadi urat nadi langkah kaki De Vries sampai akhir hidupnya.

Zapata membela petani dan memperjuangkan reformasi tanah. Bekerja keras untuk kebebasan sistem politik di tanah airnya kelak dikenang setiap petani di penjuru dunia. Zapata mati dibunuh.

Malam ini (16/7) ratusan lilin dipasang pada altar gereja Westerkerk Amsterdam, orang-orang tunduk dalam senyap. Orgel gereja melantunkan lagu duka. Sementara di masjid Arrayan Amsterdam dilakukan shalat khusus untuk Pieter R. de Vries. Selain para pengagum dan musuhnya, ia meninggalkan dua anak yang sangat dibanggakannya.

De Vries, seperti yang diungkap Walikota Amsterdam adalah pahlawan yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran. “Namun, jika kematian itu datang, “ kata De Vries dalam sebuah wawancara, “Adalah sebuah kemuliaan jika pada batu nisan saya ditulis: “Peter R. de Vries, seorang ayah yang baik”. — Dari berbagai sumber (*)


Lea Pamungkas adalah jurnalis cum penulis. Di masa Orde Baru, ia turut aktif terlibat dalam pembentukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Saat ini, tinggal di Belanda.

Artikel ini telah dimuat sebelumnya di akun Facebook Lea Pamungkas, dan dimuat kembali di Nuusdo.com atas seizin penulis.

Baca juga