Memorabilia Wartawan Udin: Kisah Udin Menegakkan Kebebasan Pers

Memorabilia Udin

Mengingat Udin sebagai ikon tindak kekerasan terhadap wartawan dan korban rendahnya perlindungan pada pekerja media.

Bambang Muryanto

Sebanyak 15 foto berukuran 74 x 53 Cm ditata rapi di tengah ruangan. Ada foto kamera, lensa, enlarger, lampu blitz, lampu studio dan lainnya. Warna monokrom memberikan aksen kuno yang kental pada peralatan fotografi milik jurnalis Fuad Muhammad Syafruddin atau akrab dipanggil Udin. Ia dikenal sebagai jurnalis media lokal di Yogyakarta, Bernas, yang dianiaya, dan tiga hari kemudian, pada 16 Agustus 1996, berjabat tangan dengan maut. Kuat diduga ia dibunuh oleh orang yang tidak suka dengan berita-berita yang ditulisnya. Hingga kini kasusnya masih gelap!

Foto-foto itu adalah salah satu materi pameran berjudul “Memorabilia Wartawan Udin” di Antology Collaboractive Space, Yogyakarta, yang berlangsung pada tanggal 3 hingga 10 Mei 2021. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dan Indonesia, IndonesiaPENA, dan Connecting Design Studio bekerja sama mengadakan pameran ini untuk memperingati hari Kebebasan Pers Dunia yang jatuh setiap 3 Mei.

Dalam diskusi kecil saat pembukaan pameran, kurator pameran, Anang Saptoto mengatakan foto-foto peralatan fotografi di studio foto milik Udin itu adalah sebagian hasil dari upaya digitalisasi sejarah kehidupan jurnalis ini. Udin adalah ikon tindak kekerasan terhadap jurnalis, namanya tercatat dalam Newsmuseum di Washington yang sudah tutup itu.

“Ini adalah upaya awal. Ke depan, ingatan dari keluarga Udin dan jaringan (yang memperjuangkan kasus Udin) juga perlu didigitalisasi karena ingatan manusia itu pendek,” ujar seniman dan Direktur Mess 56 itu, Senin (3/5).

Secara visual, tidak ada yang menonjol dalam peralatan fotografi yang sudah usang dan kusam itu. Tetapi benda-benda itu menyimpan narasi bagaimana Udin mempertahankan independensi dan menjalankan kebebasan pers.

Udin menjalankan bisnis sampingan, membuka sebuah studio foto bernama “Kresna” di rumahnya di Bantul karena gajinya sebagai jurnalis yang kecil tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Inilah gambaran umum kehidupan jurnalis di Indonesia, apalagi di daerah yang masih mengalami kondisi ‘over work but underpay‘. Hingga saat ini pemerintah tidak pernah memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini.

READ  AJI-LBH Pers Desak Komnas HAM Kawal Kasus Kekerasan Jurnalis Tempo

Istri mendiang Udin, Marsiyem mengatakan uang yang didapat dari bisnis foto studio bisa menopang kehidupan keluarga kecilnya. Kabarnya, sehari bisa mengumpulkan Rp 20.000. Udin sendiri bisa menjalani bisnis sampingan ini karena masih mempunyai banyak waktu luang.

“Studio foto ini bisa memberikan penghasilan cukup lumayan, waktu itu kita masih mempunyai satu anak,” ujar Marsiyem.

Tolak Amplop

Heru Prasetya yang menjadi redaktur Udin di Harian Bernas, memberikan gambaran penghasilan Udin. Setiap bulan ia menerima honor basis sebesar Rp 30 ribu ditambah honor dari setiap berita yang dimuat dengan kisaran antara Rp 5 ribu hingga Rp 25 ribu, harga tertinggi berita headline di halaman depan. Jika rata-rata setiap hari honor beritanya Rp 15 ribu maka total pendapatan Udin setiap bulan adalah: Rp 30 ribu + Rp 15.000 x 25 (terbit tiap bulan) = Rp 405 ribu.

“Setiap bulan besarnya bisa di atas atau di bawahnya. Pendapatan ini dia gunakan untuk operasional liputan, kontrak rumah dan kebutuhan keluarga lainnya,” pesan Heru kepada saya melalui Whatsapp, Jumat (7/5).

  • Memorabilia Udin
  • Memorabilia Udin
  • Memorabilia Udin

Sebenarnya Udin bisa memilih jalan pragmatis dengan menerima ‘amplop’ (suap) dari narasumber, sebuah kelaziman dalam dunia jurnalisme di Indonesia. Tetapi Heru menduga Udin tidak biasa menerima ‘amplop’, buktinya berita-berita tulisan Udin selalu berperspektif kritis dan mendalam.

Bagi yang mendalami jurnalisme, berita ‘berbau amplop’ bisa ditebak, biasanya tidak kritis, datar, menyajikan perspektif pemberi amplop, dan tidak kuat kepentingan publiknya. ‘Amplop’ adalah racun karena jika diakumulasikan, jumlahnya dalam satu bulan bisa lebih besar dari gaji resmi. Ini yang membuat jurnalis melakukan ‘pengkhianatan’ karena enggan membuat berita yang membela kelompok marjinal yang tertindas.

Saat pembukaan pameran, Heru membacakan dua berita karya Udin, salah satunya dibuat tepat sebulan sebelum maut menjemputnya. Berita itu mengisahkan Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo yang mengeluarkan petuah politik agar Bandes (Bantuan Desa) digunakan untuk memenangkan Golkar supaya pembangunan bisa berjalan terus.

READ  “Kalau Serangan Digital Dibiarkan, Seperti Negara Tanpa Pemerintahan”

“Beritanya investigatif, liputannya selalu dari bawah,” ujar Heru.

Aparat

Setelah Udin meninggal karena dipukul orang dengan tongkat besi di rumahnya, ternyata proses penanganan kasusnya mengalami banyak kejanggalan. Berita-berita yang merekam kejanggalan itu sudah didigitalisasikan dan bisa dibaca para pengunjung di lokasi pameran.

Bahkan setelah kasus itu berumur 25 tahun, polisi tidak juga berhasil menemukan siapa pelaku pembunuhnya. Padahal petunjuknya sudah diberikan oleh dua investigasi yang dilakukan para jurnalis yang tergabung dalam “Tim Kijang Putih” (kolega Udin di Harian Bernas) dan “Tim Pencari Fakta” yang dibentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta. Semua menunjuk kepada orang yang sama!

Namun negara, dalam hal ini aparat kepolisian mengabaikannya. Masduki, dosen jurnalisme di Universitas Islam Indonesia (UII) dan penggagas IndonesiaPENA (Indonesia Public Interest News Archive) kasus Udin sudah berubah dari peristiwa menjadi penanda

“Udin adalah simbol kekerasan sistematik yang dilakukan negara terhadap jurnalis,” ujarnya.

Anang Saptoto juga membuat karya berupa poster bergambar wajah Udin yang berjumlah 25 buah. Setiap poster bertandatangan Marsiyem itu menjelaskan momen penting advokasi kasus Udin mulai tahun 1996 hingga 2021. Poster ini dilengkapi barcode yang jika di-scan dengan menggunakan ponsel akan menuntun ke informasi yang berada di situs IndonesiaPENA.

“Kita jual poster ini dan hasilnya digunakan untuk mendukung kampanye stop kekerasan terhadap jurnalis dan keluarga Udin,” ujar Anang.

Dalam pameran ini juga ada enam poster dan video animasi motion graphic karya mahasiswa Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia (ISI). Karya ini merupakan respon terhadap kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi saat meliput kasus dugaan suap pajak yang melibatkan bekas Direktur Pemeriksaan Dirjen Pajak, Kementrian Keuangan, Angin Prayitno Aji.

Kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih terus terjadi dan cenderung meningkat. AJI Indonesia mencatat dalam periode Mei 2020 hingga Mei 2021 ada 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis, tertinggi dalam kurun 10 tahun terakhir. Adapun pelaku terbanyaknya justru aparat kepolisian.

READ  Nuusdo Media Lab Masuk 11 Finalis Global Media Forum Start-Up Contest di Jerman

Indonesia masih jauh dari memiliki kebebasan pers yang ideal. Pembatasan akses dan kriminalisasi terhadap jurnalis juga masih terjadi. Tahun ini Reporters Without Borders (RSF) menempatkan Indonesia dalam peringkat 113 dari 180 negara dalam indeks kebebasan pers dengan status sulit (‘difficult situation‘).

Minim Perlindungan

Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani mengatakan peringatan hari kebebasan pers sedunia 2021 yang bertema “Informasi sebagai barang publik” ini bertujuan mengingatkan pemerintah agar menyelesaikan kasus pembunuhan Udin. Jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik seperti Udin, seharusnya mendapat perlindungan dari negara.

“Celakanya perlindungan terhadap kerja jurnalistik di Indonesia masih sangat rendah,” ujarnya.

Tanpa perlindungan dari negara, kebebasan pers sulit terwujud sehingga jurnalis sulit memberikan informasi berkualitas bagi publik. Seperti dalam kampanye International Federation of Journalists (IFJ), “There is no press freedom if journalist live in fear and poverty“.

Tampaknya masyarakat sipil masih harus berjuang agar bisa memiliki kebebasan pers yang ideal. Udin sendiri sudah mengajarkan bagaimana jurnalis harus membangun dirinya agar bisa berlaku independen dan bebas menuliskan informasi penting bagi publik. Tetapi ini belum cukup bila negara tidak menunaikan kewajibannya melindungi dan menciptakan situasi kerja yang ideal sehingga jurnalis bisa menjalankan tugasnya dengan aman dan nyaman.(*)

Baca Juga: