Minim Verifikasi, Media Bisa Tergelincir Sebarkan Hoaks?

Praktik jurnalisme yang buruk dan minim verifikasi dapat menyebabkan media mudah tergelincir memainkan peran buzzer, bahkan ikut menyebarkan disinformasi.

Titut Purwati, Ida Satyawati

Masih ingat berita mobil ambulans yang mengangkut batu saat demonstrasi penolakan UU KPK di Jakarta beberapa waktu lalu? Tak lama berselang setelah dimuat berbagai media, berita itu kemudian dibantah oleh pihak berwenang.

Peristiwa ‘hoaks ambulans membawa batu’ merupakan contoh paling jelas tentang bagaimana sejumlah media arus utama ternyata juga bisa tergelincir memainkan peran sebagai buzzer (pendengung) yang oleh umumnya khalayak diangap sebagai akun-akun yang postingannya tak jarang menyulut provokasi, bahkan ikut menyebarkan misinformasi.

Apa fakta sesungguhnya dari kisah ambulans tersebut, kebanyakan warga tak tahu-menahu. Mereka yang dianggap sebagai buzzer yang menyebarluaskan informasi sumir tersebut juga tenggelam dalam ketidaktahuan tentang fakta yang sebenarnya.

Banyak pengguna Facebook, WhatsApp, atau media sosial lainnya begitu gampang menyebarkan kisah yang tak jelas sumbernya ke pihak lain. Celakanya, daripada menjalankan fungsinya untuk memverifikasi isu yang berkembang liar itu, sejumlah media justru turut menyebarkan.

Kisah tentang buruknya praktik jurnalisme sebagian media di tanah air di atas diungkap pemimpin redaksi Koran Wawasan Aulia Muhammad saat menjadi pembicara dalam Diskusi Panel “Menelisik Fenomena Buzzer dan Fakenews di Era Post-Truth,” yang diselenggarakan oleh The Tamborae Institute dan Lembaga Studi Pers & Informasi (LeSPI) di Kayu Arum Resort, Salatiga, Sabtu (2/11). Diskusi dipandu oleh antropolog Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) UKSW, Dr Pamerdi Giri Wiloso.

Dalam presentasinya yang berjudul “Buzzer, Jurnalisme dan Imaji Kebenaran”, Aulia menegaskan bahwa ketidakpercayaan masyarakat terhadap jurnalis membuat mereka menggali, mencari dan bahkan memproduksi informasinya sendiri-sendiri. Survei Ipsos Mori (2016-2019) mensinyalir tingkat kepercayaan masyarakat terhadap jurnalis terus merosot, jauh di bawah kepercayaan mereka terhadap perawat, dokter dan guru.

Rendahnya tingkat kepercayaan terhadap jurnalis menurut survei tersebut dikarenakan sejumlah faktor. Di antaranya adalah 1) terjadinya konflik-konflik kepentingan banyak oknum jurnalis dalam menjalankan profesi mereka; 2) kegagalan jurnalis memberi batas antara aspek-aspek privat dan publik; 3) seringnya muncul opini jurnalis di pemberitaan; serta, yang paling parah adalah 4) keterlibatan mereka dalam pembuatan berita bohong (fake news).

Pencarian dan produksi informasi yang dilakukan sendiri oleh masyarakat itu merupakan salah satu faktor yang menyuburkan atmosfer bagi kehadiran buzzer. Para buzzer ini banyak pula yang bermain dengan akun-akun spam atau bot. Menurut kepala bidang integritas Twitter, Yoel Roth, mulai Mei 2018, departemennya mengidentifikasi dan melakukan tindakan terhadap 9.9juta akun-akun spam per minggunya.

Pengaruhi Jurnalisme

Melalui materi “Post-Truth Era dan Senjakala Jurnalisme”, Direktur The Tamborae Institute Wisnu T Hanggoro merunut ke belakang kemunculan istilah ‘post-truth, post-democracy‘, dan juga ‘post-modern‘. Menurutnya, awalan “post” pada ketiga istilah tersebut tidak dapat dengan serta-merta diterjemahkan dengan istilah Indonesia “pasca” yang berarti sesudah atau setelah.

Post-modern bukanlah masa sesudah modern, tetapi suatu kondisi atau gerakan di mana manusia meragukan metanarrative yang cenderung mendominasi wacana-wacana lain yang hidup di masyarakat atau komunitas-komunitas yang lebih luas.

Begitu juga post-truth. Penerjemahan dalam Bahasa Indonesia menjadi “pasca-kebenaran” mestinya ditinjau ulang atau setidaknya diberi tanda kutip dan penjelasan secara memadai. Post-truth lebih merupakan kondisi di mana orang cenderung mengabaikan kebenaran faktual – objektif sekaligus menjadi penikmat kebenaran-kebenaran semu yang sejalan dengan harapan-harapan dan sentimen pribadi mereka.

Post-truth tidak bisa disamakan dengan fallacy atau juga wishful thingking pada logika trandisional, karena dua hal tersebut lebih merupakan proses penalaran yang bermuara pada tidak-sahihnya kesimpulan. Menurut Wisnu, post-truth justru merupakan pemenuhan keinginan-keinginan atau harapan-harapan kelompok masyarakat dengan narasi yang diproduksi seolah-olah benar, tapi tidak bisa dibuktikan secara faktual.
Wisnu juga berpendapat, post-truth memang berpengaruh pada dunia jurnalisme. Namun tidak dapat dikatakan bahwa merupakan faktor utama jurnalisme memasuki masa suramnya.

Gejala semakin suramnya jurnalisme sudah nampak saat media sosial membudaya di masyarakat. Perilaku para pengguna media sosial pun berubah. Mereka makin mengesampingkan peran jurnalis. Dengan sosial media, tiap orang bahkan bisa hadir sebagai jurnalis atau agen penyebar informasi yang tak jelas juntrungnya.

Beda ‘jurnalisme’ di media sosial dengan jurnalisme konvensional (di media-media arus utama) nampak pada terabaikannya prosedur gate-keeper. Karya jurnalisme warga di media sosial bisa datang dari mana saja (entah via liputan atau tidak) dan langsung beredar ke publik tanpa melewati editor ataupun ruang redaksi.

Dampak perkembangan itu antara lain terpilah-pilahnya warga masyarakat untuk membaca informasi yang bisa membuat mereka senang atau sebaliknya sangat marah atasnya. Pada saat seperti itu hoax, fakenews ataupun hate-speech berhamburan di mana-mana. Orang akan menyambutnya dengan antusias dan gembira sejauh informasi itu menyenangkan hati mereka. Pada saat yang sama, informasi-informasi faktual dan objektif yang diperoleh melalui prosedur yang benar, kalau itu tidak menyenangkan kelompok masyarakat tertentu akan dibalas dengan bully, terror, atau bahkan kekerasan fisik.

Wisnu juga mengingatkan bahwa era post-truth harusnya makin menggugah kesadaran orang tentang pentingnya kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Orang-orang yang masih waras dan berusaha membebaskan diri dari post-truth perlu bahu-membahu dan makin gencar memperjuangkan nilai-nilai kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang pada dasarnya merupakan hak-hak asasi manusia (HAM).

Perlu Literasi

Menjamurnya fake news atau berita bohong, menurut Dr. Rini Darmastuti, dosen Kehumasan Fakultas Teknologi Informasi – UKSW, dikarenakan masyarakat lebih mengandalkan persuasi, emosi dan keyakinan ketimbang kebenaran objektif. Rini yang membawakan peresentasi “Fakenews dan Pentingnya Literasi Media” mengajak peserta untuk memahami fake news dan dampaknya serta upaya menanggulanginya.

Menurut Rini, fake news pada dasarnya merupakan berita buatan dengan meniru isi dan gaya berita di media mainstream tetapi tidak melalui proses pengeditan, penelitian keabsahan dan penyeleksian isi berita seperti yang dilakukan oleh media mainstream. Melalui fake news, si kreator secara sadar berusaha untuk mengelabui pembaca agar percaya pada suatu informasi.

Bagi Rini, jenis informasi tersebut membahayakan masyarakat karena kebohongan informasi di dalamnya. Bahaya ini juga menyangkut dampaknya, yakni perlakuan kebohongan informasi sebagai kebenaran.

Untuk mengetahui apakah suatu informasi masuk kategori fake news, Rini memberikan tips singkat, yakni: 1) Perhatikan sumber beritanya; 2) Cek siapa penulisnya; 3) Cek tanggalnya; 4) Baca secara utuh kepala beritanya; 5) Perhatikan apakah ada sumber pendukungnya; dan 6) jangan enggan untuk bertanya pada ahlinya.

Selain tips tersebut, Rini menegaskan pentingnya pelatihan-pelatihan literasi media sebagai upaya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang perilaku bermedia secara sehat. (WITH)

Ditulis oleh tim The Tamborae Institute. Tulisan yang merupakan catatan diskusi ini dimuat oleh Tamborae dan Nuusdo.