Mojo: Meliput Peristiwa Berbekal Smartphone Kelas ‘Kentang’

Hendrawan Setiawan

Pada berbagai kesempatan, banyak teman bertanya kepada saya: Apa telepon pintar terbaik untuk bisa melakukan mobile journalism? Apa spesifikasi minimal yang dibutuhkan untuk jadi seorang mobile journalist (MoJo)? Mengapa smartphone A lebih baik dari smartphone B? Dan, seterusnya.

Saya jadi teringat pengalaman pada pertengahan tahun 2000-an ketika memiliki handphone kategori flagship alias unggul karena fiturnya yang sangat lengkap pada masanya, yakni Sony Erricson K700. Harganya saat itu lebih dari Rp 3 juta. Yang saya ingat betul adalah ponsel itu bisa dipakai untuk mengirim email. Bahkan, ketika telepon genggam itu hilang karena keteledoran, saya pun kembali membeli HP yang persis sama.

Masalahnya, saya hanya menggunakan telepon genggam itu untuk dua keperluan saja, yakni komunikasi dan dokumentasi. Komunikasi saat itu hanya bisa telepon dan SMS. Paling mentok ya kirim foto dan video pendek via MMS. Itupun sudah sangat mewah sekali. Foto dan video sudah bisa direkam, tapi kualitasnya masih sangat rendah.

Hampir satu dekade kemudian, saya mempunyai HP dengan spesifikasi terbatas di zamannya, Nokia N 2730. Harganya kurang dari sepertiga HP yang saya miliki sebelumnya. Namun, dengan telepon genggam itulah saya memproduksi karya pertama saya dengan ponsel. Karya itu dikumpulkan sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah New Media ketika saya mengambil program S2 Jurnalistik pada Universitas Ateneo De Manila, Filipina, tahun 2010-2012.

Komentar dosen saya, DJ Clark, seorang jurnalis multimedia yang kala itu berbasis di Hong Kong memberikan komentar yang tidak pernah saya lupakan. Menurut DJ Clark, dari karya saya sudah terlihat bahwa saya mengetahui teknik videografi. Namun peralatan yang saya miliki “tidak cukup”. Saya tidak pernah tersinggung dengan penilaian ini. Saya justru sangat bersyukur.

Pasalnya, ketika karya saya dibandingkan dengan karya mahasiswa sejawat saya dari negara lain yang memiliki peralatan “lebih canggih”, apa yang saya hasilkan ternyata dinilai lebih bagus dari mereka.

Jadi poinnya adalah “it’s not about the gun but it’s more about the person behind the gun”.

Kalimat itulah yang selalu saya sampaikan pada banyak orang yang menanyakan kepada saya soal telepon pintar terbaik. Kalau mau menjawab, sebenarnya gampang saja. Tinggal sebutkan jenis HP kelas flagship dari berbagai merek. Selesai. Tapi, kalau dijawab demikian maka orang akan takut duluan untuk melangkah karena harga HP flagship jelas beda dengan HP yang kualitasnya di bawah.

Lalu, kalaupun seseorang bisa membeli telepon kelas flagship, belum tentu dia bisa menggunakan fitur-fiturnya dengan maksimal.

Konsep Kamera Terbaik

Di dunia fotografi dan videografi, pertanyaan tentang kamera terbaik juga sering menyeruak dan menjadi perbincangan. Namun bagi seorang profesional, ada doktrin yang selalu ditanamkan tentang kamera terbaik.

“Kamera terbaik adalah kameramu.”

Kenapa demikian? Logikanya sangat sederhana. Orang yang paling tahu tentang kameranya pasti adalah pemiliknya sendiri. Minimal pemilik tahu persis di mana tombol serta pengoperasiannya.

Untuk kamera foto, pemilik pasti tahu di mana mengatur fokus, pencahayaan, ISO, dan sebagainya. Sementara untuk kamera video, pemilik juga tahu di mana posisi tombol untuk iris, white balance, servo, dan lain-lain. Pun ketika kedua alat tersebut akan dioperasikan secara manual, pemilik pasti tahu tombol autonya.

Jadi, sebenarnya alat adalah isu awal dibandingkan semua proses kreatif dari suatu karya dilahirkan. Kadang – atau seringkali – sebuah karya hanya dinikmati hasilnya tanpa penikmatnya ingin tahu dengan alat apa karya tersebut dibuat.

Kontenlah yang akan lebih banyak dibicarakan. Yakni, bagaimana sebuah foto dan video mampu mengkomunikasikan pesan yang membuat penontonnya bereaksi atas karya tersebut. Di situlah, sebuah karya bisa dikatakan berhasil.

Bayangkan pula ketika di masa lalu kemampuan peralatan foto dan video sangat terbatas. Apakah kemudian tidak ada karya besar dilahirkan? Tentu saja tidak.

Kelas Kentang

Istilah HP kentang (alias kena tanggung) sering disebut di kalangan milenial. HP kentang adalah istilah untuk ponsel dengan spesifikasi pas-pasan. Singkatnya, produk murah. Namun HP kentang ini tidak menjadi batas untuk menciptakan karya kondang.

Saat ini, hampir tak ada lagi HP yang tidak mendukung kegiatan MoJo. Sebut saja misalnya, untuk merekam audio, merekam video, mengedit foto dan video, mengetik, mengirim email. Semua itu dapat dilakukan meskipun dengan menggunakan perangkat HP kelas kentang sekalipun.

Kalau merasa terbatas dengan kemampuan fitur bawaan, berbagai aplikasi pendukung sudah bertebaran di Play Store dan App Store yang dapat diunduh, baik gratis maupun berbayar. Jadi, sekarang ini semuanya jadi sangat mudah. Jurnalis tinggal beradu konten saja. Yang berkualitas baik, yang akan lebih disukai publik.

Terakhir, kalau misalnya saya terus ditanya untuk menentukan spesifikasi apa saja yang cukup untuk melakukan MoJo, maka jawaban saya sederhana saja:

Untuk iPhone. Sepanjang operating sistem (OS) pada iPhone masih bisa digunakan, maka silakan dipakai. Konon iPhone 5 yang tidak pernah diperbarui OS dan aplikasinya pun, masih dapat digunakan untuk memproduksi foto dan video dengan baik. Padahal, saat ini sudah zamannya iPhone X.

Untuk Android. Sebaiknya gunakan minimal RAM 3 GB. Saat ini, RAM berkapasitas 2 GB masih bisa digunakan, akan tetapi untuk beberapa aplikasi tertentu kemampuan RAM tersebut sudah hampir ditinggalkan.

Perhatikan juga OS Android. Hindari OS yang masih menggunakan versi Kitkat atau Lollipop. Pasalnya, versi ini juga sudah mulai ditinggalkan penggunanya, terutama karena keterbatasan aplikasi editing. Jadi, selama OS sudah versi Marshmallow ke atas maka ponsel masih relatif aman dan dapat digunakan dalam beberapa waktu ke depan.

Meski demikian, RAM 2 GB dan Android versi Kitkat dan Lollipop sebenarnya sudah jarang ditemukan di pasaran. Sehingga pada dasarnya, kemampuan perangkat sudah melakukan upgrade dengan sendirinya.

Di sisi lain, pengguna tak perlu lagi khawatir dengan kualitas kamera ponsel karena saat ini sudah jauh lebih bagus. Yang dimaksud bagus adalah sudah cukup memadai untuk tayang di layar selebar gadget, bahkan selebar televisi sekalipun.

Jadi… jangan pernah merasa terbatas dengan alasan terbatasnya kemampuan perangkat untuk membuat karya. Para MoJo profesional pun ada yang pakai HP kentang.(*)

Foto: Freepik


KLINIK MOJO diasuh oleh Tim Gawai Piawai

Hendrawan Setiawan adalah jurnalis senior TV CNN Indonesia yang telah berpengalaman di bidang penyiaran selama kurang lebih 15 tahun. Dia juga Direktur Konten LPK Gawai Piawai dan instruktur bersertifikat internasional dari KineMaster.