
Teknologi smartphone bergerak cepat, bila jurnalis tidak mau berubah dan terus bertahan pada pola lama, sudah pasti akan tertinggal jauh.
Hendrawan Setiawan
Sebuah foto tentang merger dua perusahaan telekomunikasi besar di Amerika Serikat, AT&T dan Cingular, dipublikasikan di halaman depan New York Times pada 17 Februari 2004. Fotonya sebenarnya biasa saja. Dari sisi konten tidak ada yang sangat istimewa. Biasa saja.
Namun menurut Stephen Quinn dalam bukunya “MoJo – Mobile Journalism in The Asian Region”, ini adalah foto pertama yang diambil dengan telepon genggam dan dicetak di halaman depan koran. Kurang dari lima tahun kemudian, peliputan dengan menggunakan telepon genggam sudah mulai marak di Asia, termasuk Indonesia.
Harian Kompas, misalnya, pernah menerbitkan foto dengan menggunakan handphone di halaman muka. Tepatnya pada Jumat, 30 Oktober 2015 tentang sebuah sekolah yang terkepung oleh pembangunan perumahan di sekitarnya. Ini belum termasuk foto-foto lain yang sebelumnya sudah terbit di halaman dalam koran ini.
Teknologi memang menjadi kunci perubahan banyak hal, termasuk bagi jurnalisme. Cabang jurnalisme yang lahir karena pengaruh teknologi, khususnya handphone, adalah mobile journalism, atau sering disingkat dengan nama MoJo.
Meski demikian, MoJo bukanlah satu-satunya cabang jurnalisme yang lahir akibat imbas teknologi. Sebelumnya, kemunculan komputer telah membuat cabang jurnalisme lainnya, yaitu jurnalisme data. Ada yang menyebutnya sebagai Computer Assisted Reporting atau CAR.
Menariknya kemampuan MoJo itu benar-benar berevolusi seiring perkembangan telepon genggam. Di masa lalu, telepon genggam baru disebut sebagai handphone karena fungsinya yang bisa mobile dan mudah dibawa tangan ke mana-mana. Masih ingat kan HP itu dulu hanya bisa telepon dan SMS dengan menggunakan teknologi seluler.
Namun kini namanya pun sudah berubah menjadi smartphone mengikuti kemampuannya yang semakin pintar. Fungsinya tak hanya sekedar telepon dan SMS saja. Teknologinya sudah menggunakan data. Smartphone juga punya istilah khusus yaitu gadget. Dalam Bahasa Indonesia, sudah ada kata serapannya yaitu gawai.
MoJo Alami
Bagi jurnalis, khususnya di Indonesia, perubahan ini tak selalu bisa diadaptasi dengan cepat. Kadang butuh waktu hingga menyadari bahwa teknologi di smartphone itu bisa membantu pekerjaan. Padahal secara alamiah, banyak jurnalis yang sebenarnya sudah berpraktik MoJo. Namun banyak yang tidak menyadarinya.
Contohnya apa? Banyak sekali.
Yang sederhana adalah budaya merekam. Kalau dulu seorang jurnalis harus membeli alat rekam berharga mahal namun kini telepon pintar bisa merekam dengan hasil yang cukup jelas. Malah sekarang sudah jarang sekali kita melihat jurnalis yang menggunakan alat rekam khusus ketika mewawancarai narasumber. Ini kemudian membawa perubahan pada jurnalis di mana sekarang jarang dilihat jurnalis yang membawa notes dan menulis langsung kutipan dari narasumber.

Apa lagi? Pengiriman naskah berita misalnya. Bagi jurnalis yang kantor redaksinya berada di kota yang sama dengan tempatnya bertugas, dulu menulis naskah harus dilakukan di kantor. Biasanya sudah masuk ke sistem komputer berjejaring yang sudah ada di ruang redaksi.
Kalau jurnalisnya tak bisa menjangkau kantor redaksinya maka naskah dikirim melalui fax, sebuah teknologi yang saat ini sudah menemui senja kalanya.
Sekarang bandingkan kondisinya dengan hari ini. Pengiriman naskah bisa ditulis dengan menulis surat elektronik (surel) atau email, bahkan dari lokasi peliputan. Arus informasi jadi jauh lebih cepat.
Lalu bagaimana teknologi mempengaruhi dunia audio visual? Hampir sama dengan berita berbasis teks, berita berbasis audio visual mengandalkan pita kaset. Sebelum pertengahan tahun 2000-an, pengiriman visual di Indonesia masih dilakukan secara manual.
Saya ingat betul istilah SMU jadi sangat esensial. SMU adalah singkatan dari Surat Muatan Udara. Bagi kota-kota yang memiliki bandara, pengiriman kaset bisa dilakukan dengan menggunakan kargo pesawat. SMU adalah kunci. Nomor SMU tak boleh salah. Penjemput kaset alias messenger sudah siap di kargo bandara tujuan untuk pengambilan kasetnya dengan mencocokkan nomor SMU.
Sementara yang tak beruntung memiliki bandara, kaset bisa dikirim dengan berbagai moda transportasi. Apapun dilakukan mulai membayar jasa ke perusahaan logistik atau sekedar menghonori sopir, kenek, masinis, pilot heli, atau siapapun. Yang penting visual bisa sampai tujuan dengan selamat.
Video dokumenter “Can plastic roads help save the planet?” yang tayang di BBC, dibuat jurnalis senior Dougal Shaw hanya dengan menggunakan smartphone.
Teknologi pengganti cara manual di atas di Indonesia dikenal dengan nama File Transfer Protocol atau FTP. Teknologi ini seingat saya mulai digunakan di pertengah tahun 2000-an. Meski dianggap lebih cepat mengirim gambar dengan kualitas yang relatif baik, namun karena data masih sangat terbatas, pengiriman via FTP bisa sangat menguras otak dan hati.
Lalu bandingkan dengan kondisi hari ini di mana kebutuhan visual dari jurnalis di lapangan bisa dikirim dengan berbagai moda berupa aplikasi. FTP bisa diakses dari smartphone. Selemah-lemahnya pengiriman video saat ini adalah dengan menggunakan platform WhatsApp, misalnya.
Konvergensi
Teknologi pulalah yang dalam perjalanannya membuat kita menjadi mengenal istilah konvergensi media. Sebuah media bisa bekerja dengan berbagai jenis platform. Meski sebenarnya konvergensi media tak pernah benar-benar terjadi sepenuhnya di Indonesia. Tapi setidaknya hal ini membuka bahwa media mulai berevolusi dengan menggunakan berbegai macam platform. Namun umumnya hanya sebatas itu. Karena meskipun berada dalam satu group media, setiap platform punya entitas perusahaan masing-masing yang berdiri sendiri dalam konteks ekonomi media. Maka wajar saja ketika publik mengenal dua platform media berada di dalam satu naungan grup media namun keduanya membuat kontennya masing-masing.
Baca buku tentang mobile journalism (Mojo) di E-library Nuusdo:
Kalau hari ini banyak jurnalis media online yang bekerja dengan memanfaatkan lebih dari satu platform (merekam audio dan video), maka sebenarnya hal yang sama sudah pernah terjadi di pertengahan tahun 2000-an itu.
Saat Blackberry masih populer dan eksklusif di Indonesia, sebuah televisi swasta sudah membekali reporternya dengan telepon pintar ini. Selain meliput untuk TV, saat di lapangan mereka juga diminta membuat berita online. Karena berita online pada dasarnya harus lebih cepat dari berita televisi.
Sistem ini gagal dilakukan. Akhirnya kedua media dalam satu grup ini akhirnya jalan sendiri-sendiri.
Namun bila ditilik kondisinya hari ini, redaksi media online sudah mulai mensyaratkan video kepada reporternya di lapangan. Kondisi yang sama seperti satu setengah dekade lalu. Dua hal yang sama namun dengan mindset yang berbeda.
Jadi mobile journalism itu sudah berevolusi. Sudah banyak jurnalis yang sudah mempraktikkan konsep ini tanpa mereka sadari. Dan MoJo akan tetap ada selama smartphone masih jadi pilihan teknologi utama manusia.
Perkembangan teknologi smartphone ini memang bergerak dengan cepat. Namun eksistensi smartphone dan MoJo diperkirakan masih akan bertahan cukup lama. Jadi kalau jurnalis tidak mau berubah dan tetap memilih menggunakan pola lama maka pasti akan tertinggal jauh. (*)

KLINIK MOJO diasuh oleh Tim Gawai Piawai
Hendrawan Setiawan adalah jurnalis senior TV CNN Indonesia yang telah berpengalaman di bidang penyiaran selama kurang lebih 15 tahun. Dia juga Direktur Konten LPK Gawai Piawai dan instruktur bersertifikat internasional dari KineMaster.