Rumitnya Mengecek Hoaks Politik yang Sistematis

Disinformasi politik di Indonesia sulit diverifikasi karena penyebarannya massif dan sistematis.

Tak cuma diwarnai retorika saling menjatuhkan, pesta politik di negeri ini kerap berubah menjadi parade disinformasi untuk memukul kandidat lawan. Bagaimana pengecek fakta berjibaku dengan gempuran hoaks yang massif di jagat maya?

Ika Ningtyas, jurnalis dan pengecek fakta dari TEMPO membagikan pengalamannya bersama tim selama memverifikasi hoaks politik di Indonesia yang dinilainya cenderung sistematis.

Berikut perbincangannya dengan Nuusdo.

***

Apa yang Anda temukan selama melakukan cek fakta beberapa tahun terakhir?

Ada dua macam misinformasi dan disinformasi yang banyak beredar di Indonesia, yakni terkait politik dan kesehatan.

Hoaks politik biasanya banyak muncul menjelang dan selama pemilu/pemilukada. Saat pemilihan presiden (pilpres), hampir setiap hari, redaksi menemukan belasan desas-desus yang membutuhkan verifikasi. Misalnya, sewaktu publik dihebohkan oleh cuitan seorang politisi tentang kontainer suara yang sudah dicoblos atau sistem informasi perhitungan suara (situng) KPU yang katanya disusupi oleh hacker Rusia.

Disinfomasi sebenarnya sudah mulai bermunculan saat Pemilu 2014. Bedanya, pada Pemilu 2019, jumlahnya lebih massif.

Bagaimana pola disinformasi yang beredar? Apa bedanya dengan pemilu sebelumnya?

Hoaks politik kali ini jauh lebih sistematis. Isi pesannya lebih menyerang identitas dan urusan personal masing-masing kandidat.

Awalnya hoaks diedarkan ke grup-grup Whatsapp lebih dulu sebelum diunggah ke situs-situs yang tidak kredibel. Tautan website berisi disinformasi tersebut lalu disebarluaskan oleh para buzzer politik melalui media sosial, seperti Facebook, Twitter dan Instagram.
Sebagian besar buzzer politik menggunakan Twitter, tetapi mereka juga menggunakan Facebook karena penggunanya jauh lebih banyak. Pesan yang disebar ke Facebook sebagian besar telah dikonversi dalam bentuk video yang juga disebarkan di Youtube.

Jadi bisa dibayangkan bagaimana pola penyebarannya. Untuk satu disinformasi saja, penyebarannya sudah begitu massif melalui berbagai saluran dan platform. Isu dan trending topic juga terlihat seperti telah diatur.

Pola waktu penyebarannya pun mudah dikenali. Yakni, disinformasi akan muncul pada jam-jam tertentu. Bila kemudian kita telusuri, pesan-pesan yang disebarkan tersebut ternyata akan terhubung pada kelompok-kelompok tertentu yang mendukung calon.


Hoaks diedarkan ke grup-grup Whatsapp lebih dulu sebelum diunggah ke situs-situs yang tidak kredibel. Tautan website berisi disinformasi tersebut lalu disebarluaskan oleh para buzzer politik melalui media sosial, seperti Facebook, Twitter dan Instagram. Pesan yang disebar ke Facebook sebagian besar telah dikonversi dalam bentuk video yang juga disebarkan di Youtube. Isu dan trending topic terlihat seperti telah diatur.

READ  Minim Verifikasi, Media Bisa Tergelincir Sebarkan Hoaks?

(Ika Ningtyas, jurnalis dan pengecek fakta TEMPO)


Pesan yang telah disebar buzzer atau bot kemudian diamplifikasi oleh akun-akun pendukung mereka. Bedanya, kubu pendukung Capres 02 lebih aktif dan sebagian besar adalah akun organik (akun yang dipegang manusia), sedangkan akun kubu Capres 01 didominasi oleh bot. Bila kubu 02 saling berbalas mention, kubu lawannya hanya menjawab (reply) saja.
Media sosial benar-benar telah berubah menjadi alat yang sangat ampuh menyebarluaskan hoaks karena budaya publik mengonsumsi informasi juga berubah.

Meski begitu, pada pemilu kali ini, media jauh lebih siap karena para jurnalisnya sudah dibekali keahlian verifikasi hoaks. Bahkan, sejumlah media terlibat kolaborasi memeriksa disinformasi secara berkala.

Sekarang ini, jurnalis tak cukup hanya meliput dan melaporkan, tetapi juga harus mampu memverifikasi disinformasi yang beredar sehingga orang tak serta-merta leluasa menyebarluaskan hoaks. Jurnalis perlu adaptif terhadap perkembangan teknologi karena pabrik hoaksnya pun semakin canggih.

Sedangkan penyebaran hoaks kesehatan jauh lebih terbatas. Kebanyakan diunggah di Facebook atau disebarkan ke grup-grup tertutup.

Apa kesulitan utama yang dihadapi media saat mengecek fakta?

Melakukan verifikasi disinformasi yang disebarkan via Whatsapp paling susah karena aplikasinya tertutup. Kalau sudah diverifikasi, susah pula menyebarkan hasilnya. Beda dengan Facebook, pesan viral yang sudah diverifikasi bisa langsung ditandai.

Kami juga kesulitan melacak kapan pertama kali hoaks disebarkan via Whatsapp dan oleh siapa. Jauh lebih mudah merunutnya di Facebook. Bahkan, identitas pengunggah dan jejaring dukungannya pun akan langsung ketahuan.

Karena itulah, Mafindo dan media yang tergabung dalam kolaborasi Cek Fakta menyiasatinya dengan membuat channel Whatsapp bagi publik yang ingin mendapatkan update hasil cek fakta atau melaporkan hoaks yang ditemukan. Mafindo juga mengembangkan aplikasi yang dapat dapat diakses secara terbuka. Bila ada laporan hoaks, mesin secara otomatis langsung menghubungkan si pengguna ke artikel yang dimuat di CekFakta, yakni situs hasil kolaborasi yang diluncurkan sejak 2018.

READ  Menutup Celah Ketidakpastian, Hoaks: "Kuncinya Komunikasi dan Media, Bukan Buzzer"

Kesulitan lain yang kami temui adalah memverifikasi video. Tantangannya jauh lebih rumit apabila foto atau video yang viral belum pernah diunggah di platform apapun sebelumnya. Meski ada tool yang dapat menelusuri rekam jejak, namun tak banyak membantu. Media harus aktif mencoba cara apapun, termasuk cara konvensional, yakni menelusuri ke lapangan.

Seberapa efektif aktivitas cek fakta mampu menangkal hoaks?

Pertama, situs CekFakta menjadi salah satu rujukan verifikasi terhadap disinformasi yang beredar pada saat debat pemilihan presiden (pilpres). Publik juga selalu menunggu hasil cek fakta yang dilakukan oleh media mainstream. Kalau sebelumnya orang tak tahu kemana harus mengecek hoaks, sejak Pemilu 2019 publik mengerti kemana harus memverifikasinya. Mereka punya saluran yang dituju. Bahkan, redaksi Tempo, Liputan 6 dan Kompas banyak menerima pengaduan tentang hoaks justru dari publik yang proaktif bertanya atau menghubungi media.

Kedua, ada perubahan perilaku politisi. Mereka menjadi relatif lebih berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu saat debat, terutama yang menyangkut angka-angka. Cenderung normatif.

Dalam lima kali cek fakta Debat Pilpres yang dilakukan media secara berkolaborasi di Kantor Google, para capres terlihat semakin mempersiapkan materi dan tidak asal-asalan merespon pertanyaan. Tugas media salah satunya memang untuk mengedukasi.

Bagaimana mengecek informasi yang sulit dilacak dengan teknologi?

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Dalam kasus video yang belum pernah diunggah dan sulit diverifikasi, jurnalis perlu turun langsung ke lapangan.

Ambil contoh, video viral yang memperlihatkan pasukan Brimob di Kampung Bali, Jakarta, pada saat Kerusuhan Mei 2019. Kami telah mencoba menelusuri video tersebut apakah pernah diunggah sebelumnya, ternyata tidak ketemu.

Melalui berbagai petunjuk, salah satunya Google Map, ciri-ciri yang ada memang memperlihatkan bahwa lokasi tersebut ada di Kampung Bali. Berdasarkan petunjuk itulah, Tempo kemudian menugaskan reporter ke lapangan dan mewawancarai orang-orang yang tinggal di sana.
Tidak semua disinformasi dapat dijawab oleh teknologi, jurnalis harus tetap memverifikasinya ke lapangan.

READ  Di Slovenia, Covid-19 Jadi Alat Teror Melawan Jurnalis Kritis

Ika Ningtyas saat mengikuti Global Fact 6 di Afrika Selatan

Saat ini, banyak pihak yang melakukan cek fakta, termasuk institusi pemerintah. Bagaimana cara mengetahui mana yang paling bisa dipercaya?

Banyak orang juga bertanya tentang itu. Kuncinya, pada tingkat kepercayaan (trust). Publik akan melihat apakah lembaga yang mengecek fakta itu berkompeten atau tidak, apakah bias atau tidak. Pemerintah tentu punya otoritas menjelaskan sesuatu, tetapi pada persoalan tertentu mungkin akan dinilai bias.

Selain itu, media atau lembaga cek fakta juga perlu memiliki sertifikasi. Beberapa media di Indonesia, termasuk Tempo, saat ini telah mendapatkan pengakuan dari International Fact Checking Network (IFCN).
Media-media pemegang signatory dengan IFCN sekarang ini bekerja sama dengan Facebook untuk memverifikasi disinformasi yang tersebar di platform tersebut. Setiap informasi viral yang sudah diverifikasi secara otomatis akan ditandai oleh Facebook.

Apa tantangan menyebarluaskan hasil cek fakta?

Tidak semua disinformasi yang viral, hasil cek faktanya juga viral.
Itulah sebabnya, media harus pandai mencari siasat supaya hasil verifikasinya dapat diakses lebih banyak orang. Salah satu yang dilakukan Tempo adalah membuat video satu menit yang dibagikan ke Youtube, Instagram dan kanal khusus di Tempo TV. Tim cek fakta Tempo juga berkolaborasi dengan tim IT.

Meski begitu, cek fakta tidak akan efektif jika tidak ada literasi ke publik. Karena itu, penting bagi media menjalin kerja sama dengan pihak lain, seperti kampus-kampus. (*)