Pengantar: Baru-baru ini, muncul wacana menghidupkan kembali Pers Pancasila. Artikel ini adalah catatan kritis Yosep Adi Prasetyo, atau akrab dipanggil Stanley, yang dinukil dari buku ‘Pers di Terik Matahari’, berisi kumpulan catatan selama dirinya menjadi Ombudsman di Majalah Acehkita (2003-2005). Meski tulisan lama, isu yang dibahas masih relevan sebagai bahan diskusi saat ini. Buku Stanley sendiri diterbitkan oleh Dewan Pers. Tulisan ini dimuat kembali di NUUSDO atas se-izin penulisnya.
Yosep Adi Prasetyo
Di Indonesia, ketika Soeharto berkuasa, penguasa selalu mengontrol dan mengendalikan pers. Pemerintah memperkenalkan slogan tentang kehidupan pers ideal yang dikenal dengan sebutan Pers Pancasila – sekalian melengkapi definisi tentang berbagai sebutan tentang Pancasila yang kian kerap diucapkan pejabat. Para penguasa menolak pers mengembangkan liberalisasi dalam pemberitaan media.
Namun, kalau diteliti lebih lanjut parameter Pers Pancasila tak lebih dari perpaduan paradigma antara pers otoritarian dan pers Soviettotalitarian. Di jaman Komunis Soviet peran media dimaksudkan untuk memberi sumbangan bagi keberhasilan dan kelanjutan sistem sosialis Soviet dan terutama bagi kediktatoran partai.
Hal ini bisa tergambar sebagaimana ciri pers otoritarian pada umumnya yang digunakan untuk mendukung kebijakan pemerintah yang berkuasa dan mengabdi pada negara sepenuhnya. Sedangkan pers Pancasila digunakan pemerintah Orde Baru untuk mendukung dan memperkuat politik pemerintah dengan meniadakan oposisi. Ideologi yang ditekankan adalah pembangunan dan stabilisasi. Ruang yang tersisa di media sepenuhnya merupakan ruang hiburan dan iklan.
Baca juga:
- Buku “Pers di Terik Matahari (Catatan Ombudsman Acehkita pada Masa Darurat Militer Aceh)
- Tulisan Yosep Adi P. yang lain: Menggagas Jurnalisme Empati
Bila ditelusuri lebih jauh, pers Pancasila sebetulnya lahir dari situasi ketika penguasa mulai mencurigai civil society. Saat itu Pak Harto membentuk Opsus di bawah Ali Mortopo yang lebih digdaya ketimbang kerja Bakin. Pasca Peristiwa 15 Januari puluhan media dibredel oleh penguasa, sisanya yang masih bisa terbit bersikap tiarap.
Kejadian ini terus bertahan hingga terjadinya pergolakan politik pada 1978 yang dimotori oleh para mahasiswa. Hasilnya, pemerintah mengeluarkan konsep NKK/BKK untuk memandulkan semua kegiatan politik praktis di kampus. Tak lama setelah ini muncullah istilah Pers Pancasila, yang pertama kali diucapkan oleh Ali Mortopo. Dan, di kemudian hari Pers Pancasila ini kian banyak disebut-sebut oleh kalangan pakar komunikasi dan jurnalis lantaran dipopulerkan Harmoko.
Jadi Label
Proses kelahiran Pers Pancasila tak bisa dilepaskan dari situasi politik dan adanya semacam xenophobia terhadap hal-hal yang berbau Barat dan adanya chauvinisme bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang unik, yang “tidak ini” dan “tidak itu”, “bukan ini” dan “bukan itu” serta mempunyai Pancasila sebagai pegangan hidup rakyatnya. Sejak 1978 ditetapkan kebijakan untuk setia P-4 yang disebut “Eka Prasetya Pancakarsa”. Dibentuklah BP-4 dan BP-7 dan laboratorium Pancasila di IKIP Malang (bandingkan dengan “Manipol Usdek” dan “Jubir Usman”pada jaman Orla).
Selama dasawarsa 1970-an bermunculan berbagai sebutan dengan embel-embel Pancasila. Mulai dari “sepakbola Pancasila”, “ekonomi Pancasila”, “demokrasi Pancasila”. Yang celakanya, kesemuanya justru menunjukkan kegagalan dari sistem yang ada. Imbuhan kata “Pancasila”seolah hanya menjadi anti-tesis dan konsep baru untuk mengatasi kegagalan tersebut, tapi sebetulnya bila dilihat secara sosiologis justru merupakan bagian dari kegagalan itu sendiri.
Dengan demikian sebutan “sepakbola Pancasila” yang dilansir oleh Ketua PSSI pada 1973, Bardosono, tak lain merupakan cermin kegagalan sistem pembinaan olahraga sepakbola. “Ekonomi Pancasila” yang dikenalkan oleh Prof Mubyarto (alm) setelah terjadi devaluasi mata uang Dolar Amerika terhadap Rupiah justru mencerminkan kegagalan sistem perekonomian yang dirudung korupsi, inefisiensi dan berbagai pungli. Dan seterusnya.
Kontrol
Pada sistem Pers Pancasila, negara hanya memberikan ijin di bidang penerbitan media kepada lembaga representasi negara (misalnya penerbit seperti Suara Karya, milik Golkar) atau swasta yang telah dikontrol dan teruji loyalitasnya. Pasca penyerangan sejumlah kampus pada 1978, pers diminta menandatangani ikrar kesetiaan dan kesediaan dibina pemerintah. Depertemen Penerangan lantas juga memberlakukan ketentuan pemberlakuan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) kepada semua media.
Bukan hanya itu, tapi pemerintah melalui Direktorat Jendral Pers Percetakan dan Grafika (PPG) juga kerap mengeluarkan imbauan, teguran, dan panggilan terhadap staf redaksi. Hal ini diikuti oleh sejumlah instansi lain mulai dari Kejaksaan, Mabes ABRI, Kodam hingga Koramil. Mereka kerap melakukan teror dan menangkapi wartawan. Bukan hanya itu, sejumlah upaya kontrol lainnya juga dilakukan, seperti penutupan perusahaan, pengendalian organisasi wartawan.
Kontrol yang dilakukan negara terhadap pers saat itu luar biasa. Dalam paradigma Gramscian, pemerintah Orde Baru mengembangkan apa yang disebut sebagai “kekuasaan hegemonis”. Media dilarang mengritik mekanisme politik dan para pejabat yang berkuasa. Media juga dilarang memberitakan semua hal yang menyangkut first family (keluarga Cendana), perpecahan elit, praktek KKN, masalah SARA, isu sakitnya kepala negara, skandal pejabat tinggi, dan sebagainya.
Semua perusahaan pers yang ada relatif betul-betul telah di“jinakkan”, di”bina”, dan di”subordinasi” di bawah negara. Negara kemudian mengembangkan apa yang disebut sebagai korporatisme. Semua komponen pers dikendalikan dan dikontrol. Mulai dari pembentukan organisasi wartawan yang hanya satu-satunya (PWI), pembentukan SPS hingga pengelompokan wartawan dalam segmentasi departemen pemerintah.
Secara perlahan, unsur pemerintah (dalam hal ini diwakili perorangan kroni penguasa) yang menguasai saham kepemilikan media dan ikut mendikte isi redaksional. Jumlah SIUPP dibatasi. Mediamedia yang baru tumbuh dengan menggunakan SIUPP tidur atau SIUPP milik media yang telah mati, terpaksa memberikan saham kosong kepada pejabat dan kroninya.
Tanggung Jawab
Dalam idealisasi Pers Pancasila diperkenalkan sebuah pers yang bebas dan bertanggung jawab jabarannya ternyata menandaskan bahwa pers lebih dituntut tanggungjawabnya saja ketimbang kebebasannya. Tuntutan akan perlindungan dan jaminan “hak” masyarakat untuk memperoleh informasi dijawab penguasa dengan “kewajiban” media dan “tuntutan etika” yang disepakati dengan negara.
Kita bisa melihat bagaimana saat Pak Harto saat berkuasa sakit berkalikali, media sama sekali tak bisa memberitakannya. Sama saat peristiwa macetnya uji-coba monorel di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di mana Bu Tien terpaksa turun dengan cara digendong oleh pasukan pengawal presiden yang sama sekali tak bisa diberitakan. Para wartawan dilarang memotret kejadian yang dianggap bisa mencoreng pejabat tinggi negara itu.
Semua fenomena ini hampir pararel dengan situasi di Cina dan Uni Soviet ketika rezim komunis berkuasa. Ketika Brezhnev meninggal pada 11 November 1982, pengumuman baru diberikan sekitar tiga jam kemudian setelah memberi kesempatan pada anggota “politbiro” untuk rapat dan mencari pengganti. Memburuknya kondisi kesehatan Brezhnev sejak awal 1960-an disembunyikan rapat-rapat. Tim dokter Uni Soviet pernah menyatakan, Brezhnev sebetulnya secara klinis telah mati pada 1976. Sejak itu ia lebih banyak tergantung pada sejumlah peralatan untuk mengembalikan kehidupannya yang baru secara perlahan pulih pada dua bulan kemudian.
Demikian juga halnya dengan pengganti Brezhnev yang berkuasa sangat singkat, Yuri Vladimirovich Andropov, yang meninggal mendadak pada 9 Februari 1984.

Ilustrasi: Unesco
Cerita yang sama juga terjadi di Cina saat “bapak bangsa” Mao Tze Tung meninggal pada 1976. Saat itu pengumuman ditunda sekitar dua jam, menunggu pimpinan Partai Komunis Cina berunding. Sebelum meninggal, kesehatan Mao sempat merosot. Namun, pers Cina tak pernah memberitakan hal ini.
Saat itu, pers Cina justru berkali-kali memuat foto Mao saat berenang menyeberangi Sungai Kuning untuk menggambarkan bahwa kondisi Ketua Mao “lebih sehat dari aslinya”.
Hal yang sebaliknya terjadi bisa dilihat saat Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan pada 30 Maret 1981 ditembak seorang pemuda ketika baru keluar dari Hotel Hilton di Washington. Pers AS saat itu secara terbuka memberitakan tentang si pemuda, John W Hinckley Jr, yang terobsesi dengan peranan Robert de Niro dalam film Taxi Driver yang menyarangkan serangkaian peluru berkaliber 22 ke dada presiden yang akan memasuki mobil limousinenya. Reagan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Universitas George Washington untuk menjalani operasi pengeluaran salah satu peluru dari paru-parunya. Seluruh rakyat Amerika dan masyarakat dunia bisa mengikuti operasi penyelamatan nyawa presiden lewat kamera televisi yang dipasang di ruang operasi.
Dengan demikian, berbeda dengan keadaan di Uni Soviet dan Cina, juga di Indonesia; di AS sakitnya pimpinan bukan disembunyikan sebagai desas-desus, rumor, dan pergunjingan; sakitnya kepala negara dinyatakan secara terbuka hingga tak berkembang jadi berbagai macam spekulasi. Dengan demikian penyiapan pengganti kepala negara juga bisa dilakukan secara terbuka dan demokratis.
Bagaimana di Indonesia setelah 7 tahun Pak Harto turun? Masih banyak hal yang belum terberitakan. Di sejumlah daerah konflik, seperti di Aceh, Poso, Ambon, dan Papua, masih banyak hal yang gelap. Para anggota DPR dari PDI-P mencak-mencak karena merasa pemerintah tak transparan mengenai semua seluk-beluk perjanjian Helsinki. Rekening 15 petinggi POLRI masih gelap.
Sebentar lagi kita memperingati 60 tahun Kemerdekaan RI, tapi situasi belum berubah banyak. Ada banyak jurnalis telah bekerja keras, namun media tempat mereka bekerja tak cukup kondusif bagi pengungkapan berbagai permasalahan bangsa yang serius. Barangkali kini saatnya merenungkan kembali apa yang tengah terjadi dengan bangsa ini, termasuk apa yang tengah terjadi pada pers Indonesia saat ini. Saya kuatir, jangan-jangan judul tulisan ini tidak tepat lagi, karena fenomena Pers Pancasila masih terus hidup di tengah bangsa yang menderita amnesia, para pemimpin yang suka mengobral janji dan pemilik media yang lebih suka bagaimana medianya laku.
Saya kuatir kita tak layak menuliskan Pers Pancasila sebagai sebuah “in memoriam”, tapi justru dengan teriakan bersemangat “long live Pers Pancasila”. (*)
Yosep Adi Prasetyo adalah mantan Ketua Dewan Pers (2016-2019), mantan komisioner Komnas HAM dan salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Foto depan: Gordon Johnson Pixabay