Isu Lingkungan Terabaikan. Bila Kritis, Media Dihantam Buzzer

Dandhy Dwi Laksono, pendiri Watchdoc dan sutradara ‘Sexy Killers’, bicara soal karut-marut persoalan jurnalisme di tanah air, dari peliknya menegakkan independensi, idealisme bisnis hingga isu nasionalisme.

Nyaris satu dekade terakhir, banyak persoalan muncul di tanah air yang tak bisa dianggap enteng, mulai dari publik yang terbelah akibat perseteruan politik, propaganda di media sosial oleh para buzzer politik, hingga mobilisasi gerakan kanan, baik atas nama agama maupun nasionalisme. Pada saat yang sama, negeri ini juga harus menanggung problem besar lainnya, seperti isu kedaulatan, integrasi, lingkungan, ketimpangan ekonomi dan bencana yang silih-berganti.

Media yang mestinya menjadi tulang punggung informasi, alat kontrol dan sumber alternatif solusi terhadap berbagai persoalan publik, tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Melalui rumah produksi Watchdoc, Dhandy Dwi Laksono telah memproduksi ratusan film dokumenter dan memotret sisi lain yang tak banyak dimuat media arus utama. Sebagian filmnya diputar hingga ke Jerman dan mendapat penghargaan. Bersama jurnalis Aceh, Suparta Arz, sepanjang 2015, dia naik motor berkeliling pulau-pulau dan mendokumentasikan masalah-masalah sosial dan lingkungan melalui film dalam “Ekspedisi Indonesia Biru”.

Berikut perbincangan Nuusdo dengan Dandhy Laksono.

***

Menurut Anda, apa sebenarnya problem terbesar jurnalisme di tanah air saat ini? Apa yang luput dari perhatian media? Mengapa demikian?

Problem terbesar jurnalisme di Indonesia saat ini ada dua, yakni: model bisnis dan konten.

Secara bisnis, meski ada disrupsi digital, kekuatan bisnis lama (old economy) masih menguasai media. Bahkan dengan mudah pula mereka melakukan “konvergensi” ke digital dengan kemampuan infrastruktur dan sumber daya yang lebih besar.

Disrupsi media digital hanya memperbesar ruang bermain, tapi tidak signifikan mengubah struktur dominasi media. Kerajaan bisnis MNC, Emtek, Media Group, Trans, Kompas, Bakrie, atau Jawa Pos juga bermain digital. Konfirgurasi ini tak berbeda dengan peta media konvensional.

Pemain-pemain baru seperti Tirto, Narasi, Asumsi, Mojok, Mongabay, atau Vice memang ikut muncul dan mewarnai, tapi pemimpin pasarnya masih sama.

Di saat yang sama, konglomerasi media tidak hanya berarti memiliki banyak media, namun juga berkonsolidasi dengan anak-anak usaha yang lain seperti pertambangan, perkebunan, properti, hingga perbankan. Sehingga kepentingan sister company tersebut kini menjadi perhatian lain dari media, selain editorial, afilitasi politik, dan kepentingan iklan.

Sejak Pemilu 2014, afiliasi politik menjadi terang-terangan dan dipraktikkan tanpa malu-malu, terutama untuk media-media yang menggunakan domain publik seperti televisi dan radio.

Hal itulah yang membawa konsekuensi serius pada problem kedua, yaitu konten, dengan empat faktor yang membentuk konten tadi (editorial, afiliasi politik, kepentingan iklan/bisnis, dan kepentingan sister company).

Tanpa pertimbangan sister company dan afiliasi politik saja, media digital sebenarnya telah menghadapi berbagai persoalan dengan kebiasaan “click bait” dan jurnalisme “search engine friendly”. Persaingan 40 ribu lebih media online (data Dewan Pers) secara alamiah saja, sudah membuat jurnalisme mudah terperosok pada hal seperti itu, apalagi ditambah dua agenda besar lain, yakni menjaga kepentingan sister company dan afilitasi politik.

Maka konten-konten pertama yang akan dikorbankan adalah jenis konten yang tidak “trending topic”, konten yang berkaitan dengan bisnis mainstream seperti sektor ekstraktif (pertambangan dan perkebunan sebagai penghasil devisa terbesar), serta konten tentang kelompok minoritas, baik agama maupun sosial dan ekonomi.

Karena tulang punggung bisnis para konglomerat media sebagian besar ditopang dari perkebunan, pertambangan, dan properti (infrastruktur), maka korban berikutnya adalah isu-isu lingkungan hidup. Media memberitakan bencana (karena visual dan kisahnya selalu dramatis dan mengundang penonton atau pembaca), tapi tidak pernah sampai pada aktor dan kebijakan yang membuat bencana itu terjadi. Bisa dilihat dalam kasus kabakaran hutan, banjir akibat penambangan, juga isu-isu seperti penggusuran, reklamasi, dan konflik agraria lain.

Tentu saja perlu penelitian khusus yang serius tentang ini.

Seiring meningkatnya gerakan kanan, baik atas nama agama maupun nasionalisme di tanah air, apakah Anda melihat kondisi tersebut mengkhawatirkan bagi demokrasi dan pers? Seberapa jauh?

Ini problem klasik pers Indonesia. Dalam isu “nasionalisme”, misalnya, hampir tak pernah berubah sejak aneksasi Papua, Timor Leste, bahkan lebih jauh lagi dalam isu Aceh. Ini adalah kombinasi antara kepentingan pemilik media yang tak mau menghadapi risiko politik dan bisnis jika kontennya tak ikut mengglorifikasi propaganda “NKRI harga mati”, dengan paradigma jurnalisnya yang miskin literasi dan hanya mengandalkan pengetahuannya tentang isu-isu tadi dari sisa-sisa pelajaran sekolah yang tak lain adalah produk doktrin dan propaganda negara.

Budaya intelektual dan berpikir kritis di ruang redaksi, tak dianggap lebih penting daripada memproduksi sebanyak mungkin berita untuk menghidupi secara bisnis.

Sementara dalam isu agama, media arus utama cenderung bermain aman, dengan tidak secara kritis memberitakan praktik-praktik persekusi terhadap minoritas, dan tidak cukup kuat menekan negara yang seharusnya mengambil posisi dalam masalah ini.

Bagaimana idealnya media bersikap terhadap persoalan-persoalan di atas?

Menjaga prinsip-prinsip seperti voicing the voiceless (menyuarakan kaum marjinal), “jurnalisme advokasi”, atau “jurnalisme damai”, yang pada prinsipnya menempatkan kemanusiaan sebagai angle utama daripada nilai lain seperti “nasionalisme”, bahkan keyakinan.

Apakah media di Indonesia turut berkontribusi terhadap polarisasi yang terjadi di masyarakat belakangan ini, atau sebaliknya?

Tentu cukup signifikan. Dalam Pilpres 2014, misalnya, dua televisi seperti MetroTV dan TV One serta grup MNC ikut membelah publik dalam perkubuan politik lewat jurnalisme partisan yang mereka praktikkan. Ketika koalisi besar mulai terbentuk setelah Pilpres 2019, tensinya mereda, karena para elit sudah berkonsolidasi.

Ini bukan berarti kabar baik. Justru ini membuktikan bahwa jurnalisme partisan dan dukung-mendukung diperlihatkan secara telanjang dan tanpa malu-malu.

Sementara media yang berusaha tetap kritis seperti Tirto atau Tempo di Jakarta, atau Jubi dan Suara Papua di Papua, berkali-kali dihantam oleh para buzzer politik dengan kampanye hitam.

Tentu media bisa dikontrol dan dikecam. Tapi yang dilakukan para buzzer pada media-media tersebut tidak dapat disebut sebagai kontrol publik atas media.

Salah satu film dokumenter yang dibuat Dandhy Laksono

Bagaimana Anda memandang dua kasus yang diklaim terkait kedaulatan, seperti Papua dan Natuna? Bagaimana media/jurnalis seharusnya bijak memberitakan?

Ada dua perbedaan pendekatan yang jelas dilakukan. Untuk Papua dilakukan “hard diplomacy” dengan mengirim polisi dan tentara, sementara untuk isu Natuna pemerintah terlihat menjalankan “soft diplomacy”. Pernyataan-pernyataannya positif dan menyejukkan, berbeda dengan menghadapi masalah Papua.

Bagi media, sebenarnya keduanya tak perlu mengobarkan perang. Tapi angle itu mestinya dibarengi dengan pemberitaan yang kritis terhadap pendekatan keamanan yang dilakukan di Papua. Tak bisa serta-merta berdalih mendukung “jurnalisme damai” dalam kasus Natuna, sembari menutup mata dan menelan propaganda pemerintah dalam isu Papua.

Apa pendapat Anda soal jurnalisme dan nasionalisme? Bagaimana meletakkan jurnalisme atas nasionalime?

Jurnalisme lebih tinggi dari nasionalisme. Bukan karena kegiatan dan metode jurnalistiknya, melainkan karena kesetiaan utama jurnalisme pada publik.

Publik ini bukan hanya citizen (warga negara), apalagi market, publik adalah warga pada umumnya, alias kemanusiaan. Dengan angle kemanusiaan, maka kedaulatan, kehormatan bangsa, atau integritas wilayah, tidak lebih penting dari hak-hak dasar manusia, baik hak hidup maupun hak menentukan nasibnya sendiri, siapapun dia.

Lagipula jika mau benar-benar “jurnalisme cinta NKRI”, pedomannya sudah jelas, yakni UUD 1945 bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Makin mengaku nasionalis dan cinta NKRI, mestinya semakin jelas ke mana angle beritanya.

Bagaimana Watchdoc sebagai media non-mainstream mengambil peran dalam kondisi praktik jurnalisme di Indonesia saat ini?

Kami di Watchdoc hanya menggunakan dua patokan untuk mengangkat isu:
Pertama, isu populer yang sudah diangkat media namun perspektifnya kami anggap bermasalah, seperti penggusuran, reklamasi, kebakaran hutan, Papua, banjir, dan lain-lain.

Kedua, isu-isu yang kurang diberitakan media karena “main aman”, seperti konflik agraria, kejahatan kemanusiaan, lingkungan hidup, dan masyarakat adat.(*)