Berita Agama Makin Sensasional: “Kalau Tak Hati-hati, Bisa Sulut Konflik”

Pemberitaan isu agama yang tidak berhati-hati, berpotensi menyulut konflik. Media harus sering dikritik.

Soraya Salma Zahira

Isu terkait agama seringkali menjadi pemberitaan yang tak ada habisnya di media. Mulai dari berita ringan seputar perayaan keagamaan, para artis yang pindah agama, polemik halal-haram, hingga pemberitaan tentang intoleransi, kekerasan berbau agama, politik keyakinan, serta radikalisme.

Lalu, bagaimana media memotret isu agama dan radikalisme di Indonesia? Bagaimana pula sebaiknya menegakkan praktik jurnalisme terhadap kedua isu sensitif tersebut? Berikut ini bincang-bincang Nuusdo bersama Revolusi Riza Zulverdi, Wakil Pemimpin Redaksi CNN Indonesia dan Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2018-2021.


Isu-isu yang berhubungan dengan politik, agama dan radikalisme sangat laku di media, khususnya televisi dan online. Mengapa demikian?

Masalah agama ini merupakan isu penting bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Dalam teori jurnalistik, isu agama punya ‘kedekatan’ dengan masyarakat, atau ada faktor proximity. Dan, daya proximity-nya relatif tinggi.

Itulah kenapa, ketika ada sebuah kebijakan yang dekat dengan masyarakat, seperti larangan hijab di Padang, maka pro-kontra isu tersebut akan langsung mengemuka. Media massa kemudian menangkap pro-kontra tersebut dan isu itu menjadi berita yang banyak mendapatkan klik dan perhatian dari publik.

Banyak berita yang menyiarkan artis-artis pindah agama, padahal hal itu merupakan persoalan pribadi. Mengapa media menganggap informasi semacam itu layak jadi berita?

Saya sependapat dengan anggapan bahwa agama merupakan ranah personal atau ranah pribadi. Hanya saja, tidak semua jurnalis atau pengelola media sependapat dengan hal ini. Jika kita telaah, ada dua hal yang membuat kenapa berita tentang artis pindah agama itu menjadi sebuah isu yang dianggap sangat menarik oleh sebagian media, yakni:

Pertama, artis atau selebriti adalah tokoh masyarakat atau prominent people. Segala hal yang terkait dengan kehidupan artis atau selebriti akan selalu menarik perhatian pembaca, pemirsa dan pendengar media. Kedua, isu agama, seperti yang saya katakan sebelumnya, merupakan isu yang dekat dengan publik.

Nah, ketika dua hal di atas bertemu, ada artis yang pindah agama, oleh banyak media akan dianggap sebagai sebuah isu yang menarik. Dan faktanya, isu seperti ini banyak ditonton, dibaca atau diklik oleh pemirsa/pembaca. 


“Batasan-batasan etik ini penting supaya kita tidak terlalu mengobok-obok ranah personal seseorang.” 


Hanya saja, mana yang harus kita lakukan lebih dahulu? Media mendidik masyarakat atau masyarakat mendidik media?”Batasan-batasan etik ini penting supaya kita tidak terlalu mengobok-obok ranah personal seseorang.”  Ini ibarat diskusi mana yang lebih dulu: telur atau ayam. Situasi makin rumit ketika hampir semua media di Indonesia hidup dari iklan. Sementara, pengiklan akan memasang iklan di artikel yang banyak mendapatkan klik. Atau, kalau dalam bahasa televisi, pengiklan akan mengiklankan dirinya di acara yang ratingnya tinggi.

Jika isu di atas tidak laku, maka media pun nantinya akan berhenti memberitakan isu domestik atau isu privat seperti artis pindah agama tadi. Tetapi, keduanya harus berjalan simultan. Kita harus selalu memberitakan otokritik ke media supaya jangan terjebak pada sensasionalisme dalam pemuatan berita. Di sisi lain, perlu juga melakukan literasi media ke publik agar lebih selektif memilih media.

Sejauh mana media bisa memasuki wilayah privasi seseorang?

Ini akan sangat “karet”. Sangat elastis. Ada pesohor yang justru sengaja mengumbar kehidupan pribadinya. Tujuannya, agar namanya selalu ada dalam orbit ketenaran. Tapi, ada juga yang jengah jika media terlalu mengobok-obok kehidupan pribadinya. 
Maka, yang harus jurnalis pahami adalah, sejauh mana ia bisa memiliki empati. Jika pesohornya keberatan, sebaiknya jangan masuk terlalu dalam pada kehidupan pribadi mereka.

Di samping itu, jurnalisnya mutlak harus paham kode etik dalam melakukan peliputan. Atau, P3SPS (pedoman dan standar bagi kegiatan penyelenggaraan penyiaran) untuk jurnalis TV. Dan, regulasi-regulasi yang mengikat dalam pekerjaan jurnalisme. Batasan-batasan etik ini penting supaya kita tidak terlalu masuk ke ranah pribadi seseorang. 

Hal lain, jurnalis juga harus bisa menakar, apakah info yang ia tulis tersebut bersinggungan dengan ranah dan kebutuhan publik? Jika tidak, rasanya tidak perlu terlalu masuk ke dalam kehidupan para pesohor atau narasumber tersebut.

Ada anggapan, dalam beberapa kasus, pemberitaan media turut menyulut konflik. Bagaimana tanggapan Anda?

Isu agama ini merupakan isu yang sangat sensitif. Selain agama, isu sensitif lain yaitu soal suku, ras dan antargolongan atau biasa kita kenal dengan istilah SARA.  Oleh karenanya, dalam pemberitaan soal agama dan SARA, media harus lebih berhati-hati. Karena jika tidak berhati-hati, sangat besar potensinya untuk menyulut konflik.

Kita harus bersama-sama mendidik media supaya lebih peduli terhadap isu-isu seperti ini. Sama halnya dengan isu kekerasan terhadap anak dan perempuan, isu kelompok marjinal, LGBTQ dan lain-lain yang seringkali terjadi banyak pelanggaran oleh media.

Peningkatan profesionalisme jurnalis dan media itu bisa melalui pelatihan, editors meeting, beasiswa atau bentuk-bentuk kampanye lainnya. Penting pula bagi organisasi pers, terutama Dewan Pers, untuk menerbitkan pedoman perilaku media dalam pemberitaan isu sensitif seperti agama.

Seringkali, berita-berita tentang agama dan radikalisme terkesan bombastis. Bagaimana idealnya pemberitaan yang tepat tentang isu tersebut?

Ada tiga prinsip: pertama, pemberitaan mestinya berbasis pada fakta yang objektif; kedua, dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik, wartawan harus memenuhi kode etik dan kode perilaku jurnalis; dan terakhir, sebelum memuat beritanya, redaksi harus memahami dampak dari pemberitaan tersebut. Sehingga, setiap pemberitaan bisa dipertanggungjawabkan. 


“Redaksi seharusnya memikirkan masak-masak dampak besar apa yang terjadi apabila mereka memuat hal-hal sensitif tersebut. Dalam meliput isu agama, tidak bisa hanya memuat fakta dan bekerja sesuai kode etik.”


Sebagai contoh kasus Charlie Hebdo yang memuat kartun Nabi Muhammad SAW yang sebagian umat Islam menganggap ada unsur penghinaan. Akibatnya, ada kelompok ekstrim yang menyerbu ruang redaksi Charlie Hebdo dan menembaki awak redaksinya. 
Dari peristiwa tersebut ada dua fakta yang kemudian muncul, yakni Charlie Hebdo memuat kartun Nabi yang dianggap menghina dan ada penyerbuan ke ruang redaksi Charlie Hebdo.

Lalu, bagaimana kemudian media lain memberitakan kasus tersebut? Tentu redaksi harus memikirkan kemasannya agar pemberitaan tidak malah membuat suasana menjadi keruh dan memperluas konflik. Misalnya, apakah media yang hendak memberitakan isu Charlie Hebdo dan penyerangan tersebut perlu memuat kembali kartun nabi yang menjadi pangkal masalah?

Redaksi seharusnya memikirkan masak-masak dampak besar apa yang terjadi apabila mereka memuat hal-hal sensitif tersebut . Jadi, dalam meliput isu agama, tidak bisa hanya memuat fakta dan bekerja sesuai kode etik jurnalistik semata.(*)

Baca buku: Reporting Ethnicity and Religion: Getting the Facts Right