Kebebasan Pers di Papua: Masih Jauh Panggang dari Api

Selain intimidasi dan teror, jurnalis di Papua rawan terhadap ancaman doxing, bullying, sensor dan kesulitan mengakses internet.

Mulyawan

Di awal periode pertama kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo pernah menjanjikan kebebasan bagi jurnalis asing dan nasional untuk meliput Papua. Akan tetapi, janji itu tak kunjung terpenuhi. Ibaratnya, masih jauh panggang dari api.

Nyatanya, jaringan internet di Papua beberapa kali justru terputus. Pertama, jaringan internet mengalami pemblokiran setelah kerusuhan pecah di Manokwari, Papua Barat, 2019 lalu. Kemudian, jaringan internet kembali mati sejak April 2021 dengan alasan adanya kerusakan sistem kabel bawah laut. Akibat internet yang terputus tersebut, jurnalis Papua terhambat untuk mengirimkan berita. Warga setempat pun mengalami kesulitan mengakses informasi yang akurat secara online.

Tak hanya itu, teror terhadap jurnalis juga masih terjadi. Terakhir, dialami Pemimpin Umum Tabloid Jubi Victor Mambor pada 21 April 2021. Mobilnya yang diparkir di tepi jalan samping rumahnya dirusak oleh orang tak dikenal. Kaca depan dan kaca kiri depan-belakang hancur diduga dipukul menggunakan benda tumpul. Pintu depan dan belakang sebelah kiri dicoret-coret dengan piloks oranye.

Lalu, bagaimana sebenarnya kebebasan pers di tanah burung “surga” Cenderawasih itu? Apa yang harus dilakukan oleh jurnalis dan pemerintah agar kebebasan pers benar-benar terwujud. Berikut wawancara Nuusdo dengan Victor Mambor.


Jaringan internet di Papua kerap mati. Setelah kerusuhan pecah di Manokwari, Papua Barat pada 2019 lalu, jaringan internet diblokir. Tahun 2021 ini, jaringan internet kembali mati. Kenapa bisa terjadi?

Saya tidak tahu kenapa seperti itu. Katanya kabelnya putus.

Apakah ini terkait dengan kebebasan pers di Papua?

Saya menduganya seperti itu. Karena ada operasi di Beoga (Kabupaten Puncak). Dan sebenarnya, tidak seluruh jaringan internet di Papua mati. Hanya di Jayapura saja. Jaringan internet di tempat lain masih bisa diakses. Cuma, pusat media massa itu ada di Jayapura. Jadi kalau menurut saya, ada indikasi seperti itu. Dengan demikian, informasi-informasi di Puncak tidak akan terekpose lebih luas.

Sebenarnya kondisi pers di Papua itu seperti apa?

Kalau mau bilang ada perubahan, ya ada, tetapi tidak terlalu signifikan. Teror dan intimidasi masih terjadi. Tahun ini jumlahnya tidak sebanyak tahun-tahun kemarin, tapi kualitasnya meningkat. Wartawan asing juga belum boleh masuk.

Sumber data: Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Diolah oleh Nuusdo.

Selain itu, suap atau amplop masih banyak. Media yang tidak jelas atau abal-abal juga semakin banyak. Dengan situasi sekarang ini, internet mati, justru membuat informasi semakin simpang siur kan.

Berapa jumlah kasus kekerasan di Papua pada tahun 2021?

Pada tahun 2021 ini kasusnya baru satu – yang menimpa saya saja. Dulu, kekerasan banyak terjadi, baik yang sifatnya fisik, teror, intimidasi verbal, atau ada (sekelompok) orang yang mendatangi kantor media. Karena sekarang media sosial dan media abal-abal merebak, teror dan intimidasi beralih menggunakan media sosial dan media abal-abal. Misalnya, doxing (menyebarkan informasi pribadi-red) dan bullying (perundungan) yang juga pernah saya terima.

Kalau kekerasan fisik dan verbal sendiri sudah jarang terjadi. Makanya waktu mobil saya tiba-tiba dirusak (orang tak dikenal), saya kaget. Karena selama ini, paling parah hanya dimaki-maki oleh polisi kalau sedang meliput.

Kejadiannya seperti apa?

Saya mengalami teror dan intimidasi itu setelah Jubi memberitakan kasus penembakan di Beoga. Kami menulis ada penembakan guru di Puncak. Semula semua (media) mengutip pertanyaan polisi dan tentara. Lalu, kami melakukan verifikasi ke lapangan, ada pernyataan dari masyarakat bahwa guru itu terlihat membawa pistol. Nah, itu kami tulis.

Setelah berita itu dimuat, ada sekelompok orang yang menggunakan media abal-abal untuk menyerang kami. Konten dari media abal-abal itu lalu dikutip untuk flyer dengan materi yang isinya bullying. Padahal kami tidak tahu menahu materi itu. Setelah itu mereka melaporkan saya ke Dewan Pers. Dan terakhir, mereka merusak mobil saya.

“Karena sekarang media sosial dan media abal-abal merebak, teror dan intimidasi beralih menggunakan media sosial dan media abal-abal, seperti doxing dan bullying.”

Selama ini, saya sering diteror dan diintimadasi, tapi saya anggap biasa saja. Kejadian itu membuat saya harus waspada. Kalau pun akhirnya saya melapor (ke pihak berwajib), itu pun karena kawan-kawan AJI (Aliansi Jurnalis Independen-red) yang meminta.

Apakah jurnalis bebas menulis di Papua?

Kalau narasinya berbeda dengan yang dibuat oleh aparat keamanan, ya nantinya seperti itu. Kena bullying dan doxing.

Apa dampaknya jika pers tidak terbuka bagi rakyat Papua?

Saat ini konflik masih terjadi di Papua. Di wilayah konflik itu, informasinya harus benar, harus komprehensif, dan harus memberi porsi pada kedua belah pihak. Kalau informasi dari pihak yang resisten itu tidak bisa diungkap atau tidak bisa disampaikan, tentu akan sulit untuk menyelesaikan permasalahan di Papua.

Seberapa penting kebebasan pers bagi warga Papua?

Sangat penting. Fungsi kebebasan pers untuk meluruskan sejarah di Papua dan meluruskan akar-akar permasalahan di Papua. Intinya, dalam mengambil kebijakan, pemerintah di Jakarta seharusnya tidak hanya memperhatikan informasi dari pemerintah daerah saja, namun juga perlu mencari pembanding dari media-media independen.

Jadi, apabila informasi yang diterima tidak benar maka kebijakan yang diambil bisa salah. Sebab, datanya salah, sehingga kebijakannya pun menjadi salah. Itu yang terjadi di Papua. Karena akses informasinya tidak terbuka secara baik sehingga kebijakan yang diterapkan selalu salah.

Lalu bagaimana upaya jurnalis di Papua memperjuangan kebebasan pers?

Sejak saya menjadi ketua AJI Jayapura, kami berusaha untuk memperjuangkan kebebasan pers dengan cara berbicara kepada pemerintah, aparat keamanan, Dewan Pers, dan organisasi wartawan. Ya, ada hasilnya, tapi tidak signifikan.

Apa harapan Anda untuk masa depan pers di Papua?

Di Papua sekarang ini, media sudah banyak berubah. Di sini sudah ada televisi, media cetak, dan media online – yang jumlahnya paling banyak. Harapan saya, ada peningkatan kapasitas untuk jurnalis sehingga tidak membuat suasana Papua menjadi lebih keruh. Sebab, ada di antara mereka yang mewawancarai narasumber karena alasan uang saja.

Baca buku: Merawat Kemerdekaan Pers dengan Objektivitas

Dan kini jumlah media online di Papua hampir ratusan. Untuk itulah, media online harus meningkatkan kapasitasnya sendiri. Baik kapasitas jurnalisnya maupun kapasitas medianya.

Apa pesan Anda untuk para pekerja pers di Papua?

Semua itu kembali pada pekerja pers sendiri. Apakah mereka paham atau tidak dengan kebebasan pers tersebut. Kalau mereka paham, mereka bisa mewujudkannya. Kebebasan pers itu bukan tergantung pada faktor eksternal, namun yang paling penting pada faktor internal pers itu sendiri. Kalau mereka paham maka mereka akan bekerja secara profesional, patuh pada etika.(*)

Baca juga: