Menutup Celah Ketidakpastian, Hoaks: “Kuncinya Komunikasi dan Media, Bukan Buzzer”

Pengamat menilai, pemicu banjir hoaks adalah buruknya manajemen komunikasi pemerintah, keterlibatan buzzer dan polarisasi politik. Media turut menyuburkan dengan berita clickbait.

Pito Agustin Rudiana

Potret vaksin Covid-19 berisi microchip pelacak beredar di jejaring sosial, tak lama pascavaksinasi tahap satu. Pengunggahnya menempelkan pesan bahwa vaksin yang disuntikkan nanti akan membuat manusia seperti robot yang dikendalikan remote. Informasi keliru semacam itu bukan satu-dua kali muncul sepanjang pandemi. Sejumlah warga bahkan masih saja percaya berbagai disinformasi maupun teori konspirasi soal ada-tidaknya virus corona.

Itu baru soal pandemi. Belum lapuk dalam ingatan, misalnya, bagaimana unjuk rasa RUU Cipta Kerja yang berujung tindakan represif terhadap demonstran beberapa waktu lalu turut dibanjiri hoaks dan ketidakpastian informasi. Sebagian masyarakat mempercayai bahwa mahasiswa dan buruh telah ditunggangi, dan pasal-pasal yang mereka proteskan adalah gosip belaka. Situasi makin membingungkan lantaran munculnya sejumlah versi dokumen RUU yang berlainan jumlah halaman, baik dari DPR maupun Pemerintah. Akibatnya, dugaan soal adanya pihak yang ingin mengutak-atik pasal pun mengemuka.

Misinformasi dan disinformasi boleh dikatakan telah jadi santapan sehari-hari. Situasinya kadangkala memburuk ketika bercampur dengan prasangka politik, lebih-lebih pada musim pemilu akibat publik yang terbelah pascapilpres 2014. Celakanya, media massa yang semestinya menjadi sumber yang mencerahkan, sebagian di antaranya seringkali turut memperburuk situasi dengan pemberitaan yang bombastis dan clickbait. Kabar makin kabur.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Diponeggoro (Undip) Semarang Triyono Lukmantoro membedah akar fenomena misinformasi dan disinformasi di Indonesia yang menurutnya merupakan imbas dari Pemilu 2014. Berikut perbincangannya dengan Nuusdo beberapa waktu lalu.


Apa sebenarnya akar permasalahan hoaks, misinformasi dan disinformasi di Indonesia?

Akar masalahnya kompleks. Pertama, tidak bisa dipungkiri, sekarang ini kita ada pada situasi politik yang masuk dalam era media kedua, atau Second Media Age, dimana kemunculan berbagai media tak mungkin dikontrol begitu saja oleh pemerintah. Dan, medianya sendiri bersifat interaktif.

Apa bedanya dengan era media pertama? Kalau dulu, publik hanya sekadar menjadi khalayak, sekarang ini mereka bisa jadi sender atau pengirim pesan atau komunikator. Kalau dulu, setiap orang hanya pasif menerima pesan dari media, atau mendiskusikan informasi di antara mereka saja karena tak memiliki media, sekarang ini, apa yang didiskusikan tersebut dapat ditampilkan lewat berbagai saluran media. Baik dalam bentuk pesan pendek, pesan panjang di Whatsapp, media sosial, dan sebagainya.

Bandingkan situasi di atas dengan penyebaran informasi pada masa Orde Baru (Orba) yang cenderung stabil, jelas dan pasti.

Di zaman itu, persebaran informasi di berbagai media, seperti koran, televisi, radio dan film, bersifat satu arah. Artinya apa? Hanya ada sedikit sumber informasi, baik milik pemerintah maupun swasta. Informasi dari swasta pun sudah diseleksi lebih dahulu oleh pemerintah. Karena sifat komunikasinya yang satu arah itu, maka tak ada interaktivitas.

Selain itu, informasi juga didominasi oleh Departemen Penerangan (Deppen) yang terkenal represif dan otoriter. Misalnya, Pemerintah Soeharto saat itu mengharuskan seluruh media, wartawan, dewan pers dan organisasi wartawan ada dalam satu wadah tunggal. Deppen juga menerapkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang sewaktu-waktu bisa dicabut apabila media tertentu mengkritisi pemerintah.

Yang kedua, sekarang ini, kita ada dalam situasi ketika aktor-aktor komunikasi ingin menampilkan pemikirannya, gagasannya, atau komentarnya yang mungkin berseliweran di sana sini. Akibatnya, tak ada kejelasan.

Dalam konteks komunikasi politik, situasi demikian menjadi lebih rumit. Pada era media kedua ini, pemerintahan sejak masa Presiden SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) dan Jokowi (Joko Widodo), tak mampu mengatasi arus informasi yang kini tidak lagi dua arah, melainkan dari berbagai arah. Yakni, semua pihak ingin bicara, semua ingin menjadi produsen informasi, atau setidaknya, ingin jadi distributor. Padahal fungsi informasi adalah mengurangi ketidakpastian.

Yang kini terlihat, juru bicara presiden dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) seringkali tak berdaya menghadapi situasi tersebut. Pemerintah sendiri tampaknya juga tak menyiapkan satu gugus tugas yang menangani informasi – seperti yang dulu dilakukan oleh Departemen Penerangan (Deppen).

Ketiga, saat ini kita masuk pada masa tsunami informasi. Banyak informasi yang membanjiri publik yang tidak jelas kebenarannya serta apa rujukannya, sehingga kita sulit membedakan mana yang informasi, mana yang hoaks.

Mengapa orang Indonesia mudah percaya pada hoaks?

Dalam ilmu komunikasi, kondisi itu diistilahkan sebagai post-truth. Informasi kita analogikan sebagai makanan atau minuman. Mana yang kita suka, itulah yang kita konsumsi. Sejak 2014, masyarakat Indonesia mengalami polarisasi akibat pemilihan presiden (pilpres) yang panas. Publik hanya menelan informasi yang sesuai dengan selera mereka saja. Inilah yang kemudian menciptakan echo-chambers atau ruang gema.

Jadi, orang-orang yang telah terpolarisasi tadi – sebut saja kubunya Jokowi yang disebut dengan ‘cebong’, memiliki satu ruang gema sendiri, sedangkan, kubu Prabowo yang dulu disebut ‘kampret’ juga demikian. Dua echo-chambers ini muncul karena informasi yang mereka cari dan konsumsi hanya yang menyenangkan selera masing-masing.

Begitu halnya, dalam kasus Covid-19 dan RUU Cipta Kerja. Yang terlihat seakan-akan hanya hitam-putih dan pro-kontra. Dan, media yang mestinya bisa mengatasi ruang gema yang tercipta akibat polarisasi tersebut justru turut andil memperparahnya.

Dalam kasus kritik ahli epidemiologi Pandu Riono soal penanganan Covid (yang berujung peretasan akun media sosialnya-red) misalnya, apa yang disampaikan tak pernah mendapatkan tanggapan memadai. Seharusnya, pemerintah bisa merespon melalui ahli yang memiliki kapasitas sejajar, sama-sama epidemiolog. Di sini, akan terbangun dialog dari pihak yang sama-sama memiliki kredibilitas.

Akan tetapi, pada banyak kasus, retorika yang muncul baik pihak pemerintah maupun di luar pemerintah, termasuk opisisi, seringkali tidak begitu. Dalam retorika kan ada yang disebut sebagai logos, ethos, dan pathos. Logos itu artinya, gagasan yang disampaikan masih menyentuh logika: nyambung atau tidak. Ethos itu merujuk pada kredibilitas. Dan, pathos menunjukkan sisi emosional, yakni apakah menakut-nakuti, apakah menaikkan optimisme, dan seterusnya.

Kalau kita perhatikan, retorika yang kerap muncul selama ini justru didominasi oleh pathos, sehingga yang terlihat masing-masing pihak justru saling menghina, mengejek, atau melabeli satu sama lain. Seolah-olah ada dua pertunjukan, dua tong setan, yang masing-masing muter-muter sendiri. Tak ada perjumpaan untuk diskusi. Dalam berbagai acara talkshow, narasumber dibiarkan saling ngotot. Yang muncul bukan lagi logos, ethos, tapi pathos.

Semakin lama, informasi yang disampaikan juga semakin anti-logika. Tidak menunjukkan kebernalaran. Yang penting pathos ditunjukkan agar mendapat dukungan dari pengikutnya yang sudah terkurung dalam dua ruang gema tadi.

Apakah ada masyarakat yang ingin keluar dari polarisasi itu karena tak ingin terjebak dalam dua ruang gema tersebut? Saya khawatir, mereka terjebak dalam apatisme. Sudahlah, terserah. Isinya tiap hari kok cuma peperangan ini. Coba silakan kita baca Facebook, Twitter, atau media-media seperti majalah, koran. Isinya seakan-akan cuma itu saja. Tidak go beyond (keluar) dari dua kutub yang mengalami polarisasi luar biasa tersebut.

Jadi, Anda melihat fenomena misinformasi-disinformasi ini adalah imbas dari pesta rakyat lima tahunan?

Iya, salah satunya adalah imbas dari itu. Misalnya, pada 2015, ada Obor Rakyat yang informasinya tentang isu-isu sensitif cenderung menyesatkan. Padahal, maaf, pengelolanya kan dulu bekerja sebagai wartawan sehingga pasti paham prinsip-prinsip jurnalistik: ini menarik atau tidak, apakah ada nilai beritanya. Dan, orang Indonesia itu paling peka dengan soal agama dan isu anti-komunis. Sampai sekarang juga seperti itu.

Polarisasi itu bisa terjadi sangat tergantung pada bagaimana masyarakat menghadapi atau menilai proses-proses politik lima tahunan tadi. Apakah kita mau melanjutkan demokrasi tapi penuh dengan kebencian atau berdemokrasi dengan akal sehat? Itu pilihannya. Tak mudah mendidik masyarakat karena kita sudah terlanjur senang dengan polarisasi tersebut.

“Fungsi dari informasi itu sendiri adalah mereduksi ketidakpastian. Apa yang disebut ketidakpastian itulah yang sangat mungkin dipelintir menjadi hoaks, disinformasi, maupun misinformasi.”

Kalau saya pikir, cara berpikir pemerintah ini terlalu konvensional ya. Saya enggak tahu bagaimana Menkominfo yang terpilih saat ini ketika tampil di depan publik. Saya enggak tahu apakah mereka mengurusi regulasi internal. Karena, dalam mengurus komunikasi dan informasi, mestinya juga melakukan diseminasi informasi, mengumpulkan informasi dari masyarakat awam, lalu mengolahnya. Sehingga, ketika pemerintah memberikan tanggapan atas situasi tertentu, apalagi dalam kondisi kacau, mereka bisa memberi jawaban yang pasti.

Di sisi lain, kehidupan bermedia sosial di Indonesia makin memperumit situasi. Kalau seseorang punya banyak pengikut, mereka lantas dijadikan sebagai buzzer atau influencer.

Setelah momentum pilpres dan pilkada usai, suasana komunikasi politik sulit cair kembali. Mengapa?

Ya, sejak 2014, kalau dihitung-hitung sudah tujuh tahun. Belum lagi, maaf kalau saya salah, menguatnya kelompok-kelompok populis sayap kanan yang mencapai puncaknya saat pilkada di DKI tahun 2017. Gerakan-gerakan ini, entah apakah mereka sendiri yang melakukan atau berhimpun dengan pemerintah.

Seakan-akan, perpecahan atau polarisasi yang ada sekarang ini hanyalah antara yang pro-pemerintah dan yang anti-pemerintah. Antara, yang cebong dan kadrun. Seolah-olah cuma itu. Padahal, menurut saya, persoalannya lebih kompleks lagi.

Tidak hanya situasi sosial politik sendiri yang menentukan. Masyarakat juga menentukan, misalnya bagaimana masyarakat mengkonsumsi informasi yang perlu dan tidak, atau yang layak dipercaya dan tidak, hal itu juga harus kita lihat.

Dalam kisruh informasi di masyarakat, pemerintah sebenarnya punya kemampuan untuk mencegahnya. Akan tetapi, yang terjadi justru terkesan membuat blunder. Mengapa demikian?

Pemerintah saat ini tak punya manajemen informasi yang jelas tentang bagaimana mereka seharusnya menangani informasi yang ruwet dan kompleks. Kalau dulu, informasi dari pemerintah selalu dari satu pintu, yakni lewat Deppen. Juru bicara pemerintah jelas, Harmoko misalnya.

Saat ini, tidak ada kejelasan tugas antara juru bicara presiden, pihak Kemenkominfo, dan pejabat lain. Bahkan, juru bicara presiden sendiri bisa dikatakan jarang berbicara pada publik dan hanya terkesan memposting informasi via akun media sosialnya. Tentu saja, tidak akan ada efeknya. Kenapa? Karena publik akan melihat dia sebagai individu, ketimbang sebagai juru bicara.

Masalah komunikasi ini makin runyam ketika semua pihak, para politisi dan pejabat, ingin bicara. Semua terkesan ingin mencari panggung. Misalnya, informasi yang mestinya disampaikan oleh presiden, ya biarkan presiden saja yang berbicara. Pejabat lain mestinya tidak perlu bicara, apalagi yang narasinya kontra terhadap yang telah disampaikan. Informasi yang berbeda-beda itu akan membingungkan karena yang dicari masyarakat adalah kepastian.

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah gaya retorika presiden yang kurang meyakinkan. Saat berkomunikasi pada publik, mestinya pemerintah perlu memperhatikan pilihan kata, intonasi berbicara, dan cara menyampaikan pesan agar tidak memancing polemik.

Dalam penanganan pandemi, pemerintah juga tidak terlihat siap. Pemerintah memang sudah menunjuk satu pintu untuk menyampaikan informasi, tetapi fungsi satuan tugas itu baru sebatas mengabarkan statistik korban. Sedangkan kampanye protokol kesehatan sendiri yang dilakukan di masa Menteri Kesehatan Terawan ternyata tidak maksimal. Ketika kasus melonjak, yang dilakukan bukannya memperbaiki komunikasi yang persuasif, tetapi justru melibatkan aparat TNI dan Polri untuk menindak warga yang melanggar protokol kesehatan. Padahal, persoalan pandemi ini tidak semata-mata soal kesehatan, tetapi juga terkait isu lain, seperti ekonomi warga.

Baca buku: Covid 19 & Disrupsi Tatanan Sosial Budaya, Ekonomi, Politik dan Multi (Catatan Akademisi, Jurnalis, Aktifis dan Diaspora)

Saya ingat, di zaman Gus Dur (Presiden Abdurrahman Wahid) ada banyak jubir, salah satu yang paling terkenal namanya Wimar Witoelar. Dalam berkomunikasi, orang kan tak sekedar ngomong tapi juga menunjukkan gestur yang meyakinkan. Ada hal penting yang bersifat non-verbal (non verbal communication), misal cara berbicara. Tapi, yang dilakukan pemerintah sekarang untuk meredam kekisruhan informasi justru dengan cara menunjuk public figure, misalnya, yang terlihat menarik tampilan fisiknya. Padahal, menurut saya, mestinya harus ada jubir yang memang memiliki keahlian komunikasi yang meyakinkan.

Ada kesan, pemerintah lebih memberi ruang pada influencer dalam meneruskan informasinya, alih-alih memperbaiki manajemen internal. Bahkan, buzzer pun turut mengambil peran. Bagaimana Anda melihat dampaknya terhadap misinformasi dan disinformasi?

Apa yang disampaikan pemerintah dan media belum tentu dipahami masyarakat. Pemerintah seharusnya menyiasati tantangan era media kedua ini agar arus informasi dapat berjalan dua arah. Dulu ada yang namanya opinion leader, biasanya yang mengambil peran adalah para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan orang yang punya otoritas dalam masyarakat.

Sekarang ini, peran opinion leader dilakukan oleh buzzer dan influencer. Keduanya harus dibedakan. Buzzer kan pendengung ya. Mereka bisa saja orang-orang yang sudah punya popularitas. Atau, memang termasuk sebagai cyber troops, pasukan-pasukan siber yang tugasnya memang menyerang akun-akun tertentu.

Kemudian ada yang disebut influencer. Yakni, orang yang sudah terkenal dan dijadikan pemerintah menjadi opinion leader yang diharapkan bisa membuat masyarakat paham atau mengerti. Hanya saja, dalam praktiknya, koordinasi mereka tampaknya sangat kurang. Kenapa? Karena, para opinion leader itu kemudian menjadi sangat membabi buta. Justru karena mereka kelihatannya membabi buta dalam membela, akhirnya yang terjadi, kelihatan sekali para influencer tersebut hanya menjadi milisi informasi belaka, seperti warga sipil yang ‘dipersenjatai’ dengan informasi. Karena perang informasi kan enggak semudah dibayangkan seperti perang senjata. Selalu akan muncul hoaks, misinformasi, disinformasi.

Dengan kata lain, pemerintah menyebabkan hoaks, misinformasi dan disinformasi bertebaran dalam masyarakat karena tak punya manajemen komunikasi dan informasi yang handal?

Benar. Kalau banyak pejabat berlomba-lomba menyampaikan pernyataan yang sama, tentu saja, peluang terjadinya ketidakpastian semakin tinggi. Padahal, fungsi dari informasi itu sendiri adalah mereduksi ketidakpastian. Apa yang disebut ketidakpastian itulah yang sangat mungkin dipelintir menjadi hoaks, disinformasi, maupun misinformasi.

Ada dugaan pembungkaman terhadap warga yang dituding menyebarkan hoaks dengan UU ITE. Padahal, ketidakpastian informasi itu datang dari pemerintah sendiri. Apakah sanksi hukum jadi solusi?

Penggunaan UU ITE sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Justru menimbulkan masalah baru. Satu penyakit ingin disembuhkan, tapi tidak sembuh, tidak tuntas. Tidak sehat. Jadi, malah tambah sakit. Persoalannya, jangan sampai pemerintah menjalankan tindakan-tindakan represif. Walaupun, ada akun-akun yang melontarkan hate speech, olok-olok atau merendahkan orang lain. Yang harus diatasi adalah ujaran kebencian itu.

Kita paham, pemerintah bermaksud agar memberi efek jera agar tidak ada lagi orang yang menyebarkan hoaks. Dan, mendasarkan penegakan hukum ini untuk menciptakan tertib sosial.

Tapi, apakah berbagai hoaks itu harus dihukum, dipenjara sekian bulan, dan seterusnya? Saya kira, seharusnya memang cukup adil kalau diberi sanksi. Tapi, apakah sanksi harus selalu berupa hukuman? Padahal, dalam UU ITE ada pasal-pasal karet. Bisa diberlakukan dengan lentur sesuai dengan selera yang sedang berkuasa. Jangan sampai misalnya, ada lagi kasus seperti Prita Mulyasari yang dulu sangat viral ketika mengeluhkan pelayanan salah satu rumah sakit, lalu dituntut balik oleh pihak manajemen rumah sakit, sampai harus masuk tahanan.

Kita seharusnya bisa atasi itu. Kalaupun, misalnya, ada kekhawatiran bahwa akun-akun tertentu dianggap ingin mengacaukan pemerintah, seharusnya ada pendekatan-pendekatan kepada pemilik akun tersebut. Tak serta-merta ditahan dan diadili. Karena, penahananpun tak otomatis membuat jera, justru akan memperburuk citra kinerja pemerintah.

Apa yang mesti dilakukan pemerintah, media, dan juga masyarakat untuk mengatasi maraknya hoaks, disinformasi, dan misinformasi?

Kita tentu bertanya-tanya mengapa pasca Pilpres 2014 hingga saat Jokowi terpilih kembali, polarisasi tak kunjung usai. Meskipun, Prabowo sudah bergabung dengan Jokowi. Pertanyaannya, mengapa orang sengaja memendam kebencian? Mengapa saling lempar ujaran kebencian masih sering muncul? Saya merujuk pada siapapun.

Pemilihan di negeri ini seolah dianggap seperti pertandingan yang zero sum game, yang berkalkulasi bahwa satu pihak harus kalah telak dan pihak lain harus menang dengan cara yang telak pula.

Cara-cara ini seperti yang dilakukan Orba. Sehingga, anasir yang anti-Orba dianggap sebagai anasir anti-pembangunan, PKI, ekstrim kiri, atau ekstrim kanan. Banyak julukan-julukan. Itu yang disebut dengan name calling, yakni memberi sebutan kepada pihak yang setuju atau tidak dengan kita. Misalnya, pada masa Soekarno, orang-orang yang berseberangan dengannya dianggap sebagai anti-revolusi, tidak progresif revolusioner. Sedangkan, pada zaman Soeharto, mereka yang berseberangan kerap dituding sebagai orang yang anti pembangunan, PKI. Kalau sekarang, ya dituduh sebagai kadrun, dan sebagainya.

“Media harus bisa melampaui polarisasi itu, keluar dari dua echo-chambers ini, dan mengatasi sekat-sekat yang sepertinya tak mudah didamaikan. Media juga harus bisa mengkritik semua pihak serta mampu menawarkan solusi.”

Lalu, mengapa kebencian-kebencian tersebut sengaja dipupuk? Di sisi lain, meski sudah ada presiden, seolah-olah belum puas juga. Seakan-akan, harus diganti. Anasir yang sering muncul dari pihak yang anti-pemerintah adalah pro-asing, pro-aseng, dan tidak berpihak pada ulama. Saling lempar label itu adalah narasi lama di masa Orba yang sengaja dikemas ulang.

Apa yang mesti dilakukan pemerintah agar bisa memberi informasi yang baik? Pemerintah harus menjalankan manajemen informasi yang sehat. Tunjuklah satu jubir dan tentukan satu pintu saja. Dia bisa menko, bisa jubir presiden. Tapi maaf, kalau jubir presiden dengan gaya yang tidak menunjukkan tampilan yang asertif, yang tegas, rasa-rasanya juga nanti gampang ditolak. Kalaupun memakai influencer, carilah orang yang bisa menggunakan argumentasi dengan meyakinkan, mengandalkan akal sehat, dan pakai logika yang baik. Tak asal membela saja. Karena untuk berargumentasi itu ada banyak caranya. Kalau sampai keliru misalnya, juga tak akan menyelesaikan masalah, justru menambah masalah.

Bagaimana masyarakat? Kita tak bisa menjadi kurator opini masyarakat lewat ancaman hukum dan sebagainya. Tak bisa. Ini masyarakat yang sudah sedemikian bebas dalam menerima, menyimpan, dan mengolah informasi, juga mereproduksi informasi. Kita ini berada di era media kedua yang lebih rumit di mana ada ruang-ruang yang memungkinkan publik berpartisipasi dan bebas berpendapat.

Sedangkan, fungsi media adalah menunjukkan mana informasi yang benar. Jika media itu independen, punya kredibilitas, maka akan diterima masyarakat. Kita tahu, opini publik yang masih diperhitungkan biasanya yang muncul dari media-media kredibel. Sekalipun, misalnya, ada banyak akun media sosial dan influencer.

Kalau media itu independen, saya kira publik masih akan mempercayai. Karenanya, media jangan larut dalam salah satu echo-chamber ini. Saya tahu media seperti Tempo itu bersikap kritis terhadap pemerintah. Dan, seakan-akan kalau kritis terhadap pemerintah itu dianggap sebagai anteknya kadrun. Sebaliknya, kalau mengatakan pemerintah benar, orang akan menudingnya sebagai buzzer. Situasinya kini serba salah, terpolarisasi seperti ini.

Tetapi, media harus bisa melampaui polarisasi itu, keluar dari dua echo-chambers ini, dan mengatasi sekat-sekat yang sepertinya tak mudah didamaikan. Media juga harus bisa mengkritik semua pihak – baik pemerintah maupun pihak yang pro dan kontra, serta mampu menawarkan solusi. (*)

Baca juga: