Belajar dari kolaborasi koran Seattle Times dan lembaga amal yang sukses galang dana publik jutaan dolar untuk membiayai investigasi.
Christine Schmidt
Seattle Times, salah satu koran tertua milik perusahaan keluarga di AS, berhasil mengubah model pembiayaannya dari bisnis murni menjadi separuh non-profit. Hingga akhir 2018, setidaknya telah ada sekitar 50 ribu donatur yang bergabung dengan koran yang kini juga terbit dalam versi online tersebut. Angka itu cukup fantastis untuk ukuran crowdfunding jurnalistik media lokal yang juga mereka lakukan melalui situs Kickstarter.
Tidak hanya donasi individual yang nominalnya kecil, Seattle Times yang berdiri sejak 1891 itu juga berhasil merangkul donor kakap, seperti komunitas dan lembaga funding. Para penyumbang dana umumnya termotivasi untuk terlibat langsung menyokong demokrasi dan jurnalisme di AS yang dianggap terancam oleh fenomena ‘Trump Bump’. Istilah itu adalah satir pada hal-hal yang dinilai semakin kontroversial, keterlaluan dan menjengkelkan tetapi justru semakin menarik perhatian publik.
Seattle Times boleh dikata beruntung. Nasib baik koran milik Keluarga Blethen itu tidak dialami ribuan komunitas di Amerika yang kehilangan media lokal mereka. Dapat dimaklumi, lantaran tak semua kota memiliki potensi donatur yang sama besar. Kota New York, misalnya, relatif gampang menjaring donatur dibandingkan New Orleans.

Suasana di ruang redaksi The Seattle Times (sumber: The Seattle Foundation)
Dengan menggandeng lembaga amal lokal yang kebetulan punya nama yang sama, Yayasan Seattle, mereka mampu menggalang dana hingga USD 5 juta (sekitar Rp 72 miliar) sejak 2013. Untuk memperkuat tim investigasi, Seattle Times kini menargetkan tambahan dana lagi USD 500 ribu (Rp 7,2 miliar) dari donatur tetap. Yayasan milik warga Seattle yang berdiri sejak 1946 tersebut berfungsi sebagai ‘rekening bank’. Seluruh donasi publik masuk lebih dulu ke yayasan, kemudian disalurkan ke redaksi dalam bentuk sponsor program.
Menanggapi hal itu, Sharon Chan, Wakil Presiden Inovasi, Produk, dan Pengembangan Seattle Times beranggapan, bahwa donasi itu sendiri sebenarnya tak akan menyelamatkan jurnalisme.
“Paling tidak, memungkinkan kita melakukan liputan mendalam yang selama ini tidak bisa kita lakukan. Ke depan, kualitas liputan semacam ini tentu saja akan berimbas pada minat pelanggan. Bagi kami, yang paling utama adalah redaksi bisa menegakkan jurnalisme yang memiliki dampak sosial.”
Reputasi yang baik dan hubungan “The Seattleites” yang telah berlangsung satu dasawarsa itu membuat koran tersebut menjadi proyek filantropi lokal yang paling digemari donatur. Posisi itu memungkinkan redaksi lebih fokus menentukan liputan-liputan solutif yang terasah melalui sejumlah prototipe ‘lab topik’ yang dibiayai donatur sehingga membuat jurnalisme lebih mudah dijual.
Menurut Mary Grace Roske, pimpinan Yayasan Seattle, riset dan liputan yang dilakukan oleh jurnalis Seattle Times telah menjadi rujukan informasi dan pemantik diskusi para pembuat kebijakan, pegiat LSM, dan pembaca yang ingin tahu silang-sengkarut dan alternatif solusi sejumlah masalah perkotaan, seperti tuna wisma.

Model Bisnis The Seattle Times
Meski demikian, meyakinkan donatur tentu tak mudah. Chan pernah mengalami kesulitan tersebut. Saat hadir di suatu konferensi pada 2014, dia berjumpa dengan sejumlah orang yang mengaku ingin menjadi donatur, akan tetapi setelah undur diri, mereka menghindar dan Chan tak pernah bertemu lagi.
Redaksi menyadari tidak selamanya bisa mengandalkan model pendekatan semacam itu. Banyak orang yang bersikap seolah-olah mendukung, pada kenyataannya belum tentu memberikan donasi.
Untuk itu, sejak 2014, Seattle Times mulai mengubah strategi dengan membentuk ‘lab-lab liputan’, salah satunya ‘Education Lab’ bekerja sama dengan Solution Journalism Network (SJN) yang didanai Bill and Melinda Gates Foundation. Kemudian, ada Traffic Lab dibiayai oleh Starbucks yang menggarap “Project Homeless” berfokus pada persoalan tunawisma.
Beberapa tahun sebelumnya, Yayasan Seattle sebenarnya telah aktif mengumpulkan dana melalui program kampanye ‘Giving-Day’ dan berhasil menggalang USD 113 juta dalam delapan tahun. Seattle Times membantu berkampanye dengan memasang iklan di koran itu.
Pada perkembangannya, yayasan kemudian memutuskan memperketat proyek berdasar pada isu spesifik, seperti tunawisma, yang ternyata sejalan dengan rencana koran membentuk Homeless Lab. Sejak 2017, yayasan bertindak sebagai sponsor keuangan, menerima dana yang dapat dikurangkan dari pajak sebagai organisasi nirlaba, hal yang tidak bisa dilakukan oleh Seattle Times yang merupakan lembaga profit.
Jurnalisme inklusif
Laboratorium tersebut menjadi bukti keberhasilan Seattle Times mengombinasikan praktik jurnalisme solusi, model pembiayaan berbasis sponsorsip, dan kolaborasi antara perusahaan lokal dan penyumbang dana.
“Awalnya, lembaga donor tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kami lakukan. Lambat laun, dengan laboratorium demi laboratorium yang ada, kami berhasil membangun kepercayaan. Mereka melihat dampak jurnalisme yang kami lakukan,” ujar Chan.
Liputan ‘Education Lab’ misalnya, mampu mengubah regulasi pendidikan di negara bagian, sedangkan laporan soal tunawisma dikutip oleh presiden Microsoft saat menjadi motivator sebuah acara yang kemudian berbuah proyek filantropi rumah murah senilai $ 500 juta.
Chan menegaskan, “Kami tidak berbisnis jurnalisme advokasi, tetapi jurnalisme solusi, eksplanatori dan investigasi yang memperkuat publik agar bisa menentukan tindakan.” Roske menimpali bahwa Seattle Times sangat jelas dalam komitmennya pada penyandang dana perihal independensi editorial mereka.
Untuk itulah, pihak redaksi saat ini mulai menggarap donatur personal (meskipun tidak pula menolak donatur besar). Duo Seattle beranggapan, dana investigasi perlu diutamakan dengan dukungan pembaca reguler yang kini nilainya mencapai 2/3 pendapatan redaksi. Penghasilan lainnya berasal dari iklan dan donasi untuk ‘lab’ yang nilainya tidak seberapa. Dengan jurnalisme investigasi, mereka mencoba meyakinkan pembaca bila ‘investasi’ yang telah mereka tanamkan tidak akan rugi.
“Untuk membangun demokrasi yang lebih kuat, kita perlu memiliki lebih banyak praktik jurnalisme investigatif. Jadi, tugas kita meyakinkan bagaimana memberi kesempatan tiap orang berpartisipasi memperkuat demokrasi dengan cara mendorong jurnalisme yang berdampak sosial,” pungkas Chan. (*)
Tulisan asli dalam Bahasa Inggris dimuat di situs Nieman Lab oleh Christine Schmidt.
Ilustrasi: Michal Jarmoluk (Pixabay)