Salah satu model untuk mengelola media komunitas adalah Collective Intelligence. Apakah itu? Pemimpin redaksi Kabar Pulau, Mahmud Ici, membagikan pengalamannya mengikuti pelatihan di Bangkok dalam tulisan berikut.
Mahmud Ici
Dua tahun lalu, sebuah presentasi tentang model pengelolaan media komunitas ‘Collective Intelligence’ berhasil menarik perhatian saya. Konsep itu ditawarkan dalam sebuah pelatihan yang saya ikuti di Bangkok, yang diadakan oleh Cooperation Medias (CFI) Perancis dan Foudation for Community Educational Media (FCEM). Pesertanya, duabelas jurnalis dari berbagai negara ASEAN. Saya datang mewakil Kabarpulau dan mitra kami, Tamborae Institute.
Pada intinya, konsep Collective Intelligence ini menyangkut bagaimana media mampu melibatkan komunitas dan orang-orang yang memiliki ikatan pada media tersebut untuk berpikir kolektif. Yakni, secara bersama-sama menyusun pertanyaan dan menjawab beragam tantangan, juga membangun dan mengembangkan media komunitas. Apabila menemui masalah yang rumit, maka komunitaslah yang akan bersama-sama membantu memberikan pendapat dan memikirkan jalan keluar.
Alliance of Community Media in Southeast Asia (ACMSEA) adalah jaringan media komunitas yang memiliki 30 anggota dari 7 negara. Pelatihan di Bangkok merupakan salah satu program ACMSEA.
Di hari pertama, dua trainer kami, Joris Zylberman dari Asialyst dan Chiranuch Premchaiporn dari FCEM, membagi peserta menjadi empat kelompok untuk simulasi. Masing-masing berbagi peran sebagai narrator, interviewer dan observer.
Saya bekerja sama dengan jurnalis dari Kamboja dan Vietnam. Chengpor Aun adalah wartawan VOA Kamboja dan pendiri Politikoffe, media komunitas yang menyasar anak-anak muda berdiskusi soal politik di negara itu. Dia banyak melibatkan politisi, pegiat LSM, pemerintah, hingga mahasiswa. Sedangkan, Long Tring Hu adalah redaktur Luat Khoa, media politik berbahasa Inggris di Vietnam.
Trainer kami mengawali simulasi dengan meminta setiap kelompok menentukan proyek media, platform dan fokus isu yang akan digarap masing-masing. Tahap selanjutnya, media komunitas membuat semacam kode etik dan draft kerja yang akan diberlakukan di redaksinya.
Ada lima hal penting yang harus diperhatikan dalam mengelola media komunitas berbasis digital, yakni transparansi sumber, nilai tambah dari berita, mekanisme koreksi dari publik – khususnya komunitas audiens, kecepatan dan akurasi.
Lalu, bagaimana dari sisi bisnis? Menurut trainer, media komunitas juga perlu membangun inovasi agar tetap hidup, seperti halnya media arus utama. Setiap pengelola harus jeli melihat siapa partner kuncinya, apa sumber daya yang bisa dikelola, siapa segmen audiensnya, dan di bidang apa mereka akan lebih dominan beraktivitas.
Karena audiens adalah sumber vital bagi keberlangsungan media komunitas, inovasi harus melibatkan komunitasnya. Saluran-saluran komunikasi yang dibangun untuk komunitas dapat melalui pertemuan langsung maupun mengaktifkan jejaring sosial. (*)