Salah satu media warga terbesar di dunia, Global Voices, merambah Indonesia. Menjadi media alternatif untuk isu-isu yang terabaikan media arus utama.
Lalu Gari Mahesa Mukti
Lebih dari satu dekade silam, Juke Carolina bergabung dengan Global Voices sebagai satu-satunya orang Indonesia di tim redaksi internasional. Sejak 2009, Global Voices pun meminta aktivis perempuan yang kini menetap di Prancis tersebut untuk menerjemahkan artikel ke dalam Bahasa Indonesia dan dua tahun terakhir menggawangi redaksi Indonesia.
Global Voices adalah komunitas jurnalis warga yang terdiri dari narablog, cendekiawan, aktivis dan penerjemah dari seluruh dunia. Proyek nirlaba yang mulai beroperasi pada 2004 ini awalnya didirikan oleh dua warga Amerika, yakni Ethan Zuckerman, profesor dari Massachussets Institute of Technology (MIT), dan Rebecca MacKinnon, mantan jurnalis CNN di Beijing dan Tokyo. Saat ini, lembaga yang berkantor pusat di Belanda tersebut telah memiliki lebih dari 40 divisi bahasa dan berkembang menjadi salah satu media warga terbesar di dunia yang melibatkan ribuan relawan di 167 negara.
Di Indonesia sendiri, Juke telah bekerja sama dengan sekitar 40-an jurnalis warga, salah satunya Ivan Lanin -pegiat internet dan pendiri Narabahasa yang sempat aktif di awal-awal Global Voices berdiri. Bagaimana perkembangan Global Voices Indonesia dan praktik jurnalisme warga di tanah air? Simak perbincangan Nuusdo bersama Juke Carolina, editor Proyek Lingua Bahasa Indonesia.
Bagaimana fenomena jurnalisme warga di Indonesia? Seberapa penting dan apa peranannya terhadap demokrasi?
Jurnalisme warga di Indonesia masih belum sepenuhnya berkembang. Banyak orang masih salah kaprah menganggap berita apa saja yang tersebar di media sosial sebagai informasi yang kredibel. Karena itu, mereka dengan mudah membagikannya, padahal belum tentu berita tersebut benar. Itulah bahayanya media sosial. Informasi yang beredar di sana masih sulit disaring. Kalaupun berita yang dibagikan berasal dari sumber yang kredibel, informasi yang disampaikan kadang kala tidak akurat.
Meski begitu, sekarang ini, orang tak bisa leluasa lagi memposting apapun di dunia maya karena merasa diawasi oleh pemerintah. Perangkat media warga akhirnya lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau menaikkan popularitas individu semata daripada didedikasikan untuk jurnalisme warga.
Jadi, bisa dikatakan, lambatnya perkembangan jurnalisme warga di Indonesia dipengaruhi oleh tiga faktor tadi, yakni sumber daya yang terbatas, media warga yang seringkali tidak kredibel, serta adanya kontrol pemerintah.
Seharusnya media warga dapat mengangkat informasi-informasi yang lebih dekat dengan isu isu publik, misalnya lingkungan, kebebasan berekspresi atau soal hak asasi manusia (HAM). Dengan munculnya sejumlah media arus utama yang partisan dan dikuasai oleh segelintir politisi, media warga semestinya dapat mengambil peran sebagai media yang lebih independen sehingga isu-isu publik tidak akan terbengkalai.
Apa yang membedakan Global Voices dengan media warga atau media alternatif lainnya?
Tidak ada bedanya. Kami tidak mengejar traffic. Tujuan utama Global Voices adalah mendorong kebebasan berbicara dan berekspresi, serta memberitakan kisah-kisah di seluruh dunia tentang HAM. Karena, kerap kali berita-berita seperti ini jarang disorot. Itulah sebabnya, Global Voices merasa terpanggil untuk memberitakan suara-suara yang terlupakan.
Global voices terdiri dari beberapa bagian, yakni advokasi digital, atau biasa disebut ‘Global Voice Advox’ yang fungsinya melakukan monitoring dan memberitakan kasus-kasus penangkapan jurnalis atau pegiat media warga. Sebagian besar berita di Advox lebih didominasi oleh kasus intimidasi terhadap jurnalis warga karena biasanya mereka jarang disorot saat menghadapi persoalan hukum. Selain itu, ada ‘Lingua Global Voices‘ yang berperan menerjemahkan artikel-artikel Global Voices ke bahasa mereka masing-masing, serta ‘Rising Voices’ yang melatih komunitas marjinal dan masyarakat adat agar mampu memanfaatkan media alternatif untuk menyuarakan kisah-kisah mereka.
Bagaimana Global Voices berkontribusi terhadap keragaman konten di Indonesia? Apa saja jenis konten yang disukai pembaca?
Dari pengalaman saya, seringkali pembaca artikel Bahasa Indonesia lebih menyukai artikel-artikel tentang budaya atau hal-hal yang unik dan lucu, misalnya tentang kultur Jepang atau K-Pop. Berita-berita tentang HAM kurang menarik minat mereka.
Bagaimana Global Voices melakukan verifikasi terhadap berita yang dikirimkan oleh jurnalis warga?
Global Voices menerapkan multilayer-editing, atau proses penyuntingan yang bertahap, untuk memuat suatu artikel. Redaksi tidak boleh sembarangan memuat suatu informasi. Kami juga menghindari breaking news, kecuali memang ada informasi yang benar-benar genting, seperti kasus kudeta di Burma beberapa waktu lalu.
Redaksi selalu berusaha menanyakan siapa sumbernya, kecuali pada beberapa isu tertentu yang membutuhkan anonimitas, yang apabila narasumbernya dipublikasikan justru membahayakan privasi dan keselamatan mereka. Sebisa mungkin, Global Voices juga memastikan tidak ada berita yang tendensius. Kalaupun ada, akan dibatalkan atau tidak dipublikasikan.
Multilayer-editing ini yang membuat artikel sulit untuk dipenetrasi oleh fake news. Model ini juga membuat penulisan artikel di Global Voices menjadi lebih teliti, mengindari typo (salah ketik) dan terkesan clickbait, seperti yang banyak ditemukan di sejumlah media online di Indonesia.
Bagaimana redaksi bekerja? Dan, bagaimana Global Voices menjamin bahwa konten yang diproduksi jurnalis warga dapat dipertanggungjawabkan?
Siapa saja bisa menjadi jurnalis warga di Global Voices. Tetapi, untuk dapat mendaftarkan diri ke redaksi, mereka harus memberikan identitas yang jelas dan alasan mengapa tertarik bergabung dengan kami, serta menjelaskan bagaimana pengalaman mereka.
Redaksi akan menilai dan merujuk mereka sesuai kemampuan masing-masing, baik sebagai penerjemah, penulis di bidang yang sesuai dengan profesinya, atau membantu kegiatan cek fakta. Misalnya, ada jurnalis warga yang teryata seorang dokter, dia bisa membantu mengecek kebenaran informasi yang simpang siur tentang Covid-19 yang beredar di dunia maya. Atau, kalau jurnalis warga menyukai topik tertentu, mereka bisa menuliskan tentang hal-hal yang diminatinya tersebut. Selanjutnya, tulisan-tulisan yang masuk akan diedit oleh redaktur.
Bisa dijelaskan, bagaimana mekanisme pengajuan keluhan dan interaksi dengan warganet pada Global Voices?
Kami membuka kolom komentar di setiap artikel tetapi tidak semua komentar yang masuk akan diloloskan. Setiap komentar yang masuk biasanya akan diseleksi redaksi lebih dulu. Kalau ada komentar-komentar yang mengandung SARA atau menjurus pada penghinaan terhadap kelompok etnik dan agama tertentu sudah pasti akan dihapus, meskipun menghina orang itu barangkali termasuk hak kebebasan berbicara.
Contohnya, pada saat kami menulis berita tentang Papua, kemudian ada komentar yang menjelek-jelekan bahkan bernada mengancam, redaksi terpaksa menghapusnya. Meski begitu, kami tidak mau menggunakan jalur hukum untuk memproses komentar jahat semacam itu.
Perlindungan terhadap jurnalis warga di Indonesia masih lemah. Apa yang Global Voices lakukan bila ada ancaman terhadap kontributor?
Ada salah satu kolega kami, jurnalis warga, yang mendapatkan ancaman karena memberitakan kasus korupsi. Karena Global Voices hanya memiliki kantor redaksi virtual, kami tidak bisa mengirimkan orang untuk mendampingi kolega yang terkena kasus tersebut, tetapi kami mendapatkan bantuan dari partner di Indonesia, yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memahami persoalan semacam itu.
Kerja-kerja jurnalis warga bisa saja sama berisikonya dengan kerja jurnalis media arus utama. Sebisa mungkin, kami mengambil tindakan untuk melindungi keamanan kawan-kawan jurnalis warga.
Selama bergabung dengan Global Voices, apakah pengalaman liputan yang paling berkesan?
Saya lebih banyak menulis tentang isu-isu politik karena memang latar belakang profesi saya di bidang itu. Isu yang paling berkesan adalah tentang HAM karena beberapa kali saya menulis soal imigran dan hak-hak orang Papua. Salah satunya yakni artikel “Sekolah Orang-orang Imigran” yang dimuat tahun 2019. Liputan ini tentang lembaga yang mengurusi pengungsi, namanya Refugee Learning Center, di Jawa Barat. Di sana, guru-guru yang mengajar berasal dari berbagai tempat.
Satu lagi, wawancara dengan Rony Marton, eksil di Cekoslowakia yang status kewarganegaraannya dicabut oleh Pemerintah Soeharto sesaat setelah Tragedi ’65 saat sedang menempuh studi di Praha. Artikel ini menuliskan bagaimana perjuangan hidup Pak Marton hingga akhirnya diterima baik di Cekoslowakia dan sempat menjadi bintang pop di era 1970-an. Selain itu, ada artikel tentang penulis Kamus Bahasa Indonesia dan Bahasa Ibrani.(*)