Postingan Jurnalis di Media Sosial Rawan Dipolitisasi

Jurnalis yang memposting opininya di jejaring sosial seringkali dimaknai publik sebagai sikap politik yang dapat mempengaruhi independensinya. Bagaimana seharusnya jurnalis memanfaatkan media sosial (medsos)? Berikut ini wawancara Nuusdo dengan Dr Nurul Hasfi, peneliti media sosial dari Universitas Diponegoro.


Bagaimana pendapat Anda mengenai jurnalis yang melakukan aktifitas di media sosial?

Tidak masalah. Karena, media sosial saat ini telah menjadi medium yang tak terpisahkan dari rutinitas jurnalistik, terutama dalam proses news gathering dan news distributing. Bahkan, di saat industri media menjadi kapitalis dan tersentralisasi, seperti di Indonesia, seharusnya medsos bisa menjadi ruang alernatif berekspresi bagi jurnalis tanpa adanya kekangan dari pemiliknya.

Hanya saja, ada hal yang penting diperhatikan. Saat jurnalis aktif di jejaring sosial, mereka sebenarnya memiliki dua identitas sekaligus, yakni identitas profesional (professional identity) dan identitas personal (personal identity). Nah, dua identitas itulah yang seringkali memunculkan dilema bagi jurnalis.

Mengutip hasil penelitian Cara Brems, ada empat dilema yang kadang-kadang dialami jurnalis, yakni apakah akan menginformasikan saja atau berinteraksi, menyampaikan fakta atau opini, membagikan informasi personal atau informasi profesional, dan mempromosikan diri secara terbuka atau tertutup? Dilema-dilema itulah yang biasanya memunculkan masalah bagi para jurnalis, terutama saat dia harus memposisikan dirinya sebagai profesional ataukah sebagai individu. Jurnalis seharusnya mampu memposisikan diri agar tetap terjaga kredibilitasnya.

Apakah jurnalis yang memposting opini pribadinya di media sosial tentang peristiwa yang sensitif, seperti konflik, sengketa dua kubu atau pemilu akan dinilai bias dalam liputannya?

Tergantung pada isi postingannya. Sejauh isi pesannya membawa kepentingan publik, maka tidak menjadi masalah. Akan muncul problematika, jika opininya justru bernada provokasi, atau bahkan, menggiring opini pada kepentingan tertentu, entah itu pemilik media, politisi, atau salah satu kelompok yang merugikan publik.

Dalam peristiwa seperti konflik, sengketa dua kubu dan pemilu, jurnalis – terutama yang memiliki banyak pengikut (follower), mestinya perlu berhati-hati dalam memposting opini. Karena, jurnalis memiliki otoritas yang oleh CW Anderson disebut sebagai ‘journalistic authority‘. Yakni, “kekuasaan” yang memungkinkan mereka bisa mendefinisikan suatu informasi sebagai hal yang akurat, benar dan penting.

Dalam proses produksi informasi, jurnalis menduduki hierarki tertinggi yang rentan disalahgunakan, baik sengaja atau tidak sengaja. Jurnalis akan lebih dipercaya publik karena diyakini memiliki akses terhadap informasi, dibandingkan mereka yang bukan. Jadi, apapun yang disampaikan, punya kemungkinan dianggap sebagai kebenaran.

Tips Bermedsos Bagi Jurnalis

Potensi penyalahgunaan itu seperti yang dijelaskan Foucault tentang konsep relasi antara dicourse-knowledge-power. Yakni, saat jurnalis menyebarkan informasi dan membangun (discourse), jurnalis sebenarnya tengah membangun pengetahuan (knowledge) dengan tujuan mencapai efek berupa kekuasaan (power). Jika kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan rakyat, maka hakikat tugas jurnalis berjalan ideal. Tetapi, bila dimaksud adalah kekuasaan elite, maka menjadi masalah.

Apakah opini jurnalis itu akan dinilai mencerminkan pendapat media tempatnya bekerja?

Orang awam biasanya akan mengartikan demikian. Dalam bermedia sosial, setiap jurnalis akan memiliki dua status, yakni sebagai orang biasa dan sebagai profesional (jurnalis). Meskipun, ada jurnalis yang telah secara tegas menyebut dalam akun medsosnya bahwa seluruh opininya merupakan ekspresi pribadi, bagaimanapun, perannya sebagai jurnalis akan sulit dilepaskan.

Seperti yang dikatakan Norman Fairclough, peran dan teks sulit dipisahkan. Wacana, termasuk opini, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konteks dimana opini itu muncul. Opini tidak muncul tiba-tiba namun terkait erat dengan konteks sosial yang ada di sekitarnya. Dalam hal jurnalis beropini, misalnya, publik tentu akan memperhatikan identitas si pembuat opini, organisasi media di mana dia bekerja, keahlian yang dimiliki jurnalis, jaringan politik yang dimiliki jurnalis, dan sebagainya. Meski begitu, tidak berarti opini jurnalis yang mencerminkan ideologinya adalah hal yang buruk.

Kita bisa memahami opini jurnalis dengan mengidentifikasi tiga kondisi berikut:

Pertama, saat media dan jurnalis sama-sama partisan, maka biasanya jurnalis dengan lebih leluasa membuat opini di media sosial yang sesuai dengan ideologi medianya. Misalnya, jurnalis stasiun televisi yang pemiliknya mendukung salah satu kandidat, bisa jadi secara sistematis akan memanfaatkan media sosial untuk memposting opini terkait calon kepala daerah/presiden yang didukung organisasi medianya tersebut. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip independensi jurnalisme dan sendi-sendi demokrasi.

Kedua, saat media independen, sedangkan jurnalisnya partisan maka media akan dirugikan dengan aktifitas para jurnalisnya yang beropini. Efeknya publik akan melihat media dimana jurnalis bekerja merupakan media partisan. Disisi lain, jurnalis partisan juga harus siap berhadapan dengan peraturan organisasi media yang mungkin akan menegur, bahkan memecatnya.

Ketiga, kondisi ideal dimana baik media dan jurnalisnya sama-sama independen, maka jurnalis akan menggunakan media sosial secara independen pula.

Bagaimana sebaiknya jurnalis menggunakan sosial media?

Media sosial memiliki peran seperti pedang bermata dua yakni positif dan negatif. Jurnalis seharusnya mendukung peran yang pertama. Karena itu, sudah seharusnya seorang jurnalis tetap menjaga integritasnya dengan menerapkan prinsip utama jurnalisme seperti independensi, faktualitas, akurasi dan kebenaran.

Jurnalis harus melihat sosial media untuk segala aktifitas yang mendukung integritasnya. Misal dalam isu tentang hoax dan fakenews di sosial media maka jurnalis bisa berperan sebagai verifikator di akun sosial media atau melalui medium lain; dalam isu hatespeech maka jurnalis bisa memfasilitasi dengan jurnalisme damai (peace journalism).

Perlukah media memiliki aturan atau kode perilaku yang mengatur aktifitas jurnalis di medsos?

Menurut saya, kode perilaku jurnalis di media sosial sudah terakomodir dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) di Indonesia dan tidak perlu aturan baru.

Dalam konteks industri media di Indonesia yang kapitalistik dan tersentral, aturan atau kode perilaku yang dibuat organisasi media barangkali tidak akan efektif karena mungkin justru lebih mengakomodasi kepentingan pemilik media.

Idealnya, kode perilaku dibuat oleh organisasi profesi dengan mengacu pada aturan-aturan yang telah ada, seperti KEJ, namun perlu dipastikan bahwa seperangkat aturan yang lebih detail tersebut nantinya bukan justru berefek melemahkan prinsip kebebasan berbicara (*)