Foto: Cfi.fr
Jurnalisme investigasi penting untuk mengawal penanganan sengkarut pandemi. Open data dan kolaborasi bisa jadi solusi sulitnya pembiayaan.
Wisnu Tri Hanggoro
Hanya dalam hitungan bulan, pandemi COVID-19 telah mengubah banyak kelaziman politik dan ekonomi. Di sejumlah negara, wewenang eksekutif menguat dan lebih dominan dibandingkan lembaga-lembaga penyeimbang kekuasaan lainnya. Kondisi tersebut tentu mengkhawatirkan apabila tidak disertai menguatnya fungsi kontrol pers dan masyarakat sipil. Saat-saat seperti ini, peran media sebagai watchdog seharusnya bisa berjalan maksimal, salah satunya melalui jurnalisme investigasi.
Di tanah air, jurnalisme investigasi sendiri bukanlah hal yang baru. Pada masa totalitarian Orde Baru, sejumlah media harus menghadapi tekanan pemerintah karena menyajikan liputan investigasi. Puncaknya adalah pada 1994 saat tiga media (Majalah Tempo, Editor dan Tabloid DeTik) dibredel karena mengangkat laporan tentang dugaan korupsi pembelian kapal-kapal perang bekas dari ex-Jerman Timur dengan mark up hingga 62 kali lipat dari harga seharusnya. Pembredelan semacam itu memang cukup menyurutkan nyali para jurnalis tapi tidak mematikan semangat mereka untuk tetap mempraktikkan jurnalisme investigasi.
Pada 1998, tak lama setelah kejatuhan pemerintahan Soeharto, tiga lembaga, yakni Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya (LP3Y), Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), berkolaborasi mengadakan crash program bagi para jurnalis muda tentang liputan investigasi. Selama beberapa bulan, para peserta crash program dilatih pelbagai teknik liputan investigatif yang sekaligus harus mereka praktikkan dan dimuat di media mereka masing-masing. Sejak itu, istilah jurnalisme investigasi menjadi populer di kalangan jurnalis. Terlebih sejak Undang-Undang Pers 1999 diberlakukan, dan Majalah Tempo kembali terbit.
Akan tetapi, bagaimana mempraktikkan investigasi bila kondisi ekonomi akibat pandemi saat ini semakin tidak menentu? Di sisi lain, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mengakibatkan mobilitas para jurnalis menjadi sangat terbatas.
Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, Nuusdo mewawancarai Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika (Komang). Di kalangan jurnalis, Komang bukanlah nama baru di dunia investigasi. Beberapa tahun lalu, dia terlibat dalam liputan kolaborasi “Panama Papers” bersama International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), organisasi tempatnya bernaung. Dia juga penerima Nieman Fellowship dari Universitas Harvard. Berikut ini adalah bincang-bincang Nuusdo dengan Komang.
***
Apa tantangan terbesar praktik jurnalisme investigasi di Indonesia pada masa pandemi COVID-19?
Sebelum ada pandemi, melakoni jurnalisme investigasi di Indonesia sebenarnya sudah sulit, apalagi saat ini. Dampaknya bukan hanya pada investigasi, peliputan sehari-haripun susah karena keterbatasan jurnalis menggali dokumen dan berinteraksi dengan narasumber, meskipun ada banyak platform pertemuan online yang tersedia.
Genre jurnalisme investigasi selalu berangkat dari sebuah tuduhan yang harus bisa dibuktikan. Dalam dunia jurnalistik, alat pembuktiannya ya mewawancarai narasumber lebih dari dua orang, melakukan reportase atau observasi di lapangan, serta ketersediaan dokumen atau data-data. Tapi karena pandemi, proses itu tak bisa leluasa dilakukan. Di situlah, problemnya.
Namun, bukan berarti jurnalisme investigasi tidak bisa dilakukan sama sekali. Justru sekarang inilah saatnya untuk mengeksplorasi jurnalisme data. Jurnalis bisa menggali data-data dari lembaga-lembaga publik secara teliti.
Menurut Anda, apa masalah penting yang perlu mendapatkan perhatian lebih saat (pandemi) ini?
Perhatian publik saat ini terpusat pada wabah. Hampir di semua negara ada sentralisasi otoritas dan kewenangan pada eksekuktif dengan anggapan bahwa kondisi saat ini adalah darurat. Sehingga, banyak kelaziman prosedur dan tata cara pengambilan keputusan yang mesti dipotong atas nama kedaruratan tersebut.
Di situlah, peran penting jurnalis untuk tetap gigih, tetap bandel dan tetap mempertanyakan apa kebutuhan yang harus diambil dalam situasi krisis. Apakah kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah sudah mempertimbangkan kemaslahatan dan manfaat bagi banyak orang? Apakah semua sudah dijalankan dengan benar? Lalu, bagaimana perhatian (pemerintah) pada migitasi bencana? Dalam kondisi pandemi seperti ini, segala aspek memerlukan perhatian.
Sekalipun, mungkin akan muncul suara-suara yang menganggap bahwa yang diliput media tersebut tidaklah penting. Tetapi, tugas seorang wartawan untuk selalu memastikan bahwa seluruh kebijakan itu berjalan di atas rel.
Apabila diukur dengan skala, bagaimana Anda melihat tingkat kebutuhan dan kesulitan jurnalisme investigasi di Indonesia saat ini? Mengapa?
Kalau dilihat dari skala kesulitan, setiap daerah tentu berbeda-beda. Di luar Jakarta, jurnalisme investigasi mungkin jauh lebih sulit dilakukan karena adanya risiko-risiko untuk mengekspos pelanggaran pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
Sedangkan di Jakarta atau kota-kota besar, seharusnya tidak terlalu berisiko karena perlindungan terhadap jurnalis sudah jauh lebih bagus. Di kalangan penegak hukum juga telah ada semacam kesadaran untuk tidak mengganggu kerja-kerja wartawan. Jadi, skalanya akan berbeda tergantung dimana si wartawan itu bekerja.
Dua hal yang sering menjadi pemicu kekerasan pada jurnalis di daerah adalah tingkat ketrampilan jurnalistik dan kepatuhan pada kode etik yang masih problematik. Meskipun, tentu saja, tidak ada alasan pembenar terhadap setiap kekerasan atau pembunuhan terhadap wartawan. Kondisi itu diperparah dengan rendahnya pemahaman publik yang tidak memahami bahwa jalan keluar terhadap sengketa-sengketa pemberitaan adalah melalui Dewan Pers, bukan pidana atau kekerasan.
Karena itu, advokasi pada jurnalis yang menjadi korban (kekerasan) perlu terus dilakukan, disamping membekali mereka dengan pelatihan yang memadai. Di sisi lain, kampanye soal pentingnya UU Pers sebagai kerangka penyelesaian sengketa juga harus dilanjutkan.
Kalau dari skala kebutuhan, jurnalisme investigasi sudah barang tentu sangat dibutuhkan dimanapun jurnalis berada, baik di negara maju maupun negara berkembang. Bedanya, di negara maju masyarakat sipilnya lebih kuat, tingkat kesadaran mereka untuk taat pada hukum dan tidak korupsi juga lebih tinggi, sehingga kebutuhan investigasi mungkin akan lebih rendah. Akan tetapi, di negara yang masyarakat sipilnya belum kuat, kerja-kerja investigasi tentu akan sangat diperlukan untuk membuktikan apa saja yang tersembunyi di balik tembok-tembok pencitraan dan kekuasaan.
Jika ada informasi yang ditutup-tutupi, publiklah sebenarnya yang paling dirugikan. Apalagi ditambah dengan desas-desus dan kegaduhan yang kadangkala mewarnai media sosial atau saluran komunikasi lain sehingga mengaburkan informasi esensial yang mestinya diketahui publik. Nah, di situlah peran jurnalis investigasi akan lebih dibutuhkan lagi.
Ada anggapan, atmosfer media tidak mendukung jurnalisme investigasi sehingga wartawan akhirnya lebih senang membuat straight news? Menurut Anda?
Dalam banyak diskusi, sudah sering dibahas alasan mengapa jurnalisme investigasi di Indonesia sulit berkembang. Selain karena jurnalis harus memiliki kompetensi dan kepatuhan pada kode etik yang mumpuni, mereka juga harus mendapatkan dukungan penuh yang perusahaan media tempatnya bekerja. Nah, dukungan dari tempat bekerja ini akan terkait dengan dua faktor, yakni risiko dan insentif.
Risiko untuk wartawan harus bisa ditekan sekecil mungkin supaya mereka berani mengekspos pelanggaran orang-orang yang memiliki otoritas yang melakukan perampasan atas kepentingan publik. Sedangkan dari sisi insentif, perusahaan media seharusnya mendapatkan keuntungan dari pekerjaan investigasi yang dilakukan awak redaksinya.
“Tugas seorang wartawan untuk selalu memastikan bahwa seluruh kebijakan itu berjalan di atas rel”
Sayangnya, selama bertahun-tahun, kita masih saja berkutat pada persoalan pertama, yakni kompetensi wartawan. Belum pernah ada upaya bagaimana membuat model bisnis yang menguntungkan media sekaligus mendatangkan insentif dari kerja-kerja investigasi. Ketika media melakukan investigasi, mereka akan digugat, kehilangan akses ekonomi atau medianya ditinggal oleh pengiklan sehingga mengalami kerugian, bahkan tutup. Inilah yang menyebabkan media-media lain akhirnya segan menurunkan liputan investigasi, bahkan tak jarang melakukan swasensor, karena membayangkan risiko yang sama yang akan mereka alami.
Di sisi perlindungan negara, belum banyak yang dilakukan. Seperti kita tahu, UU Kerbukaan Informasi Publik (KIP) itu seperti macan kertas. Dalam kasus yang dihadapi Greenpeace misalnya, mereka menang dalam sebuah arbitrase di Komisi Informasi saat menggugat soal transparansi data hak guna usaha (HGU) sawit, namun ternyata kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Begitu pula yang dihadapi oleh Kontras yang menuntut keterbukaan data BIN dan ICW soal data rekening tak wajar perwira Polri. Inisiatif open government dan open data masih sangat dini. Jadi, dua area yang sama krusialnya dengan peningkatan kompetensi jurnalis ternyata relatif tidak tergarap. Masih banyak pekerjaan rumah (PR).
Banyak media saat ini terpukul paceklik ekonomi akibat pandemi, menurut Anda apakah kondisi ini akan berimbas pada mutu jurnalisme, termasuk liputan investigasi? Bagaimana Tempo mengatasinya?
Memang benar, itulah tantangannya, terutama kondisi media yang hampir semua mengalami kekosongan keuangan selama pandemi. Karena, model bisnisnya semuanya mirip. Begitu kondisi ekonomi mencekik dan turun seperti sekarang ini, anggaran yang pertama-tama terpukul adalah belanja iklan. Itulah yang akhirnya membuat media kena imbasnya.
Akan tetapi, kami tidak ingin pesimis. Tidak cuma jurnalisme investigasi yang dibutuhkan, tetapi secara umum, jurnalisme yang baik sangat penting peranannya bagi publik agar mereka mendapatkan informasi yang akurat.
Karena itu, perlu ada solusi, salah satu yang sudah dirintis adalah kolaborasi investigasi dengan lembaga-lembaga filantropi. Kesempatan-kesempatan semacam itu sebenarnya cukup luas. Banyak lembaga filantropi saat ini yang menganggarkan dana untuk media-media yang memiliki rencana investigasi. Di antara media sendiri juga dapat saling berkolaborasi, misalnya seperti yang sudah dirintis sepuluh media di Indonesia lewat Indonesialeaks. Model-model kerjasama semacam itulah seharusnya lebih diperbanyak dilakukan, selain model konvensional yang hanya mengandalkan pendapatan iklan.
Di samping itu, keterbukaan informasi harus terus digedor dengan memanfaatkan data yang ada dan mengolah data-data publik yang dipublikasi lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia, WHO atau badan-badan PBB lainnya. Lembaga-lembaga tersebut biasanya memiliki data lengkap tentang Indonesia sehingga dapat memaksa Pemerintah untuk membuka data serupa. Saya yakin dengan kegigihan dan kerja keras, media dapat melakukan kerja-kerja investigasi yang memadai.
Sejauh ini, apa saja yang sudah dilakukan Tempo, khususnya dalam menyiasati dampak pandemi?
Di Tempo, kami mempunyai tim investigasi yang terdiri dari lima orang jurnalis yang tugasnya memang khusus melakukan investigasi. Kami mengarahkan mereka untuk berkolaborasi seluas-luasnya dengan siapapun, seperti lembaga funding atau lembaga investigasi internasional.
Sejauh ini, Tempo telah menjajaki kerjasama dengan Change.org dan Kitabisa.com untuk melakukan penggalangan dana (crowdfunding) lewat program Bongkar. Caranya, redaksi Tempo akan menyodorkan tiga isu yang akan diviralkan oleh Change.org yang mengajak publik untuk memilih salah satu isu yang paling penting. Setelah terpilih, Kitabisa.com akan melakukan crowdfunding di situs mereka. Saat ini, sudah masuk periode ketiga.
Selain itu, Tempo juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga internasional seperti Pulitzer Center, Free Press Unlimited dan badan donor lainnya agar pembiayaan kerja-kerja investigasi Tempo dapat tetap berjalan, meskipun tidak ada iklannya. Meski begitu, kerjasama itu harus tetap menjamin independensi redaksi. Mereka tidak dapat mengintervensi proses di internal redaksi Tempo.
Melalui Tempo Institute, kita juga mengundang media-media lokal untuk mengirimkan proposal mereka, bersama-sama melakukan kerja investigasi di lapangan dengan media yang terpilih, menanggung biaya operasionalnya, dan mendampingi mereka dengan mentoring dan editing. Dananya kami peroleh dari donor, salah satunya Free Press Unlimited.
Nah, karena dimuat bersama Tempo, setidaknya risiko hukum dan kemungkinan gugatan yang dihadapi oleh media lokal akan berkurang karena si penggugat mau tidak mau harus menggugat Tempo juga. Di sisi lain, liputan itu akan lebih terfilter karena proses editingnya yang bertahap dan melibatkan banyak editor. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga kami libatkan untuk mengecek setiap kemungkinan gugatan sebelum liputan diterbitkan sehingga redaksi bisa mewaspadai. Karena dikerjakan secara berkolaborasi, liputan ini mudah-mudahan menjadi lebih kebal peluru dibandingkan apabila dikerjakan sendiri-sendiri. (*)