Banyak pejabat membuat komunikasi politik yang gaduh di media soal Corona. Pernyataannya saling berbantah dan berubah-ubah.
Pito Agustin Rudiana
Pada 30 Maret, Tempo.co memuat artikel ‘Jokowi: Mudik Lebaran 2020 Perluas Risiko Sebaran Virus Corona’. Isinya, pernyataan Presiden Joko Widodo soal upayanya mengerem laju mudik agar tak terjadi pengumpulan massa di daerah. Demi menekan risiko penularan COVID-19, Presiden pun meminta warga berlebaran di kota domisili saja. Pernyataan itu kemudian diperkuat oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, di CNN Indonesia, 1 April lalu, yakni ‘Pemerintah Minta Warga Tak Mudik Sebelum Corona Mereda’.
Tiba-tiba, larangan mudik itu dianulir oleh juru bicara Presiden sendiri, Fadjroel Rachman, melalui postingannya di akun Twitter pribadi yang lantas dimuat sejumlah media. Fadjroel mengatakan, mudik tak dilarang, asalkan mereka menjalani isolasi mandiri selama 14 hari dengan pengawasan pemerintah daerah.
Tak berselang lama, pernyataan Fadroel tersebut langsung dibantah oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno, seperti dikutip Kumparan, 2 April, pada artikel ‘Mensesneg Klarifikasi Pernyataan Fadjroel: Masyarakat Tak Perlu Mudik’. Hari itu juga, Fadroel pun buru-buru mengeluarkan pernyataan pers ‘Pemerintah Himbau Tidak Mudik Lebaran, Bansos Dipersiapkan Hadapi COVID-19’ yang membantah postingannya sendiri.
Baru saja siaran pers Fadjroel diunggah media, pada hari yang sama pula, Kompas TV menayangkan siaran langsung rapat terbatas: ‘Presiden Usul Jadwal Mudik akan Diganti Setelah Lebaran’. Dalam pidatonya, Jokowi menawarkan sejumlah opsi bagi warga yang tak bisa mudik.
Pidato Jokowi itupun lantas diklaim sebagai pernyataan resmi oleh Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman dan Investasi yang juga pelaksana tugas Menteri Perhubungan (karena Budi Karya Sumardi dinyatakan positif COVID-19), bahwa Pemerintah tidak melarang mudik (Kumparan).
Uniknya lagi, Ketua Gugus Tugas Penanganan COVID-19 yang juga Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Munardo tetap bersikukuh, bahwa warga tak boleh mudik. (Youtube Suara.com, 4 April). Doni seperti membantah omongan Luhut.
Sikap para pejabat yang tak kompak satu sama lain itupun lantas menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan. Bahkan, situs CNBC Indonesia dan Warta Ekonomi menulis sindiran cukup provokatif mengenai sikap sejumlah pejabat pemerintah yang dinilai kerap ambigu dan membingungkan publik.
Satu isu saja misalnya, soal boleh-tidaknya mudik, ditanggapi beragam oleh sejumlah pejabat di Kabinet. Apabila Presiden Jokowi, Fadjroel, Pratikno, Achmad Yurianto, Doni Monardo dan Luhut masing-masing memegang mikrofon di atas panggung yang sama bernama pandemi COVID-19, barangkali mudah dibayangkan bagaimana amburadulnya panggung itu lantaran setiap orang berbicara tak seragam.
“Memang amburadul ya,” celetuk Wijayanto, Direktur Centre for Media and Democracy, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) saat dihubungi Nuusdo.
Atas alasan itu pulalah, dosen yang mengajar mata kuliah Komunikasi Politik, Komunikasi Pemerintahan, serta Media dan Demokrasi di Universitas Diponegoro tersebut tergelitik melakukan riset tentang komunikasi elit yang gaduh itu. Dia pun merunut pemberitaan media massa, maupun informasi di jejaring media sosial, dalam kurun waktu 1 Januari – 5 April 2020. Doktor lulusan Universitas Leiden itu tak merujuk jumlah berita yang dimuat media karena jumlahnya akan sangat banyak. “Tapi, merujuk pada statement apa dan siapa yang ngomong. Bisa saja satu pernyataan diberitakan oleh 10-20 media,” kata Wijayanto.
Hasil risetnya dia presentasikan melalui seminar online yang digelar LP3ES, 6 April lalu, dengan topik ‘Petaka karena Kata: Blunder Komunikasi Politik Kabinet Jokowi di Masa Pandemi’. Tak sekadar mengkritik, Wijayanto pun mengurai letak persoalannya dan solusi apa yang mesti dirumuskan. “Meskipun enggak tahu, apakah masukan saya ini sampai atau tidak (ke pemerintah),” ujar Wijayanto.
Berikut ini, perbincangan Nuusdo dengan Wijayanto tentang pemaparan risetnya tersebut.
***
Apa yang Anda temukan dari riset tentang komunikasi politik Pemerintah tersebut? Bisa dijelaskan?
Kami menemukan memang ada praktik komunikasi politik yang buruk (dalam tubuh pemerintah). Ini berbicara soal kabinet ya. Jadi, bukan menyerang perseorangan. Yang ingin kami lihat, siapa saja yang melakukan blunder komunikasi politik serta bagaimana blunder itu terjadi. Itu latar belakang riset saya.
Masyarakat barangkali melihat, kok ada blunder, ada kebingungan. Misalnya, tentang kebijakan mudik lebaran. Keterangan yang disampaikan presiden, menteri, jubir bisa berbeda-beda. Saya mencoba mencari data yang lebih dapat dipercaya, salah satunya riset dari Drone Emprit yang menganalisa dinamika reaksi trust (kepercayaan) publik terhadap pemerintah dalam menangani COVID-19. Grafiknya turun. Sempat naik pada 31 Maret, lalu turun lagi sehari setelahnya. Ternyata, ada tren penurunan kepercayaan publik.
Apa sih yang dimaksud dari blunder komunikasi politik di Indonesia itu?
Yaitu, bila komunikasi (yang dilakukan elit) mengalami distorsi dalam isi pesannya. Bisa dilihat misalnya, dari reaksi publik yang cenderung negatif karena ketidakmampuan elit tersebut menyerap aspirasi mereka. Akibatnya, dia tak mampu menunjukkan respon sesuai dengan tahapan yang semestinya dilakukan dalam situasi krisis.
Untuk triangulasi data riset (mengecek kebenaran dari berbagai sudut pandang yang berbeda- redaksi), saya mengecek analisa big data dari INDEF dan Drone Emprit.
Di Twitter, ternyata ditemukan ratusan ribu percakapan yang menyorot kinerja kabinet dalam penanganan COVID-19. Setidaknya, ada 16 ribu twit untuk menteri yang 93 persen sentimennya negatif. Sentimen kan merefleksikan emosi. Kalau sudah negatif, bagaimana bisa percaya? Itu pertanyaannya. Lalu 8.666 twit kepada presiden dengan 79 persen sentimen negatif. Sedangkan, untuk kabinet ada 140 ribu twit dengan 66,3 persen sentimen negatif.
Dari situ, saya ingin tahu, kenapa kok negatif sentimennya? Ternyata ada kesimpangsiuran (informasi) di pemerintahan. Saya tertarik ingin melihat bagaimana sih komunikasi politik (Pemerintah)? Data-datanya seperti apa?
Metode penelitian riset kami menggunakan content analysis (analisis isi) pada pemberitaan media mainstream dan media sosial. Semua berita diambil dari terbitan antara 1 Januari sampai 5 April 2020.
Sedangkan, untuk menganalisis data, kami memakai teorinya Harold D. Lasweell. Yakni, ‘who says what, in which channel, to whom, with what effect?’ Komunikasi itu siapa mengatakan apa, melalui medium apa, kepada siapa, dan memberi efek apa. Itu definisi klasik dari komunikasi politik. Komunikasinya satu arah. Teorinya sendiri lahir pada 1948. Pada waktu itu, internet belum ada.
Yang mau kami lihat, konteks ‘who says what’, siapa mengatakan apa. ‘Apa’ di sini berkaitan dengan konten pesannya. Lalu mellihat efeknya. (Efek) itu sudah diriset oleh Ismail Fahmi (dari Drone Emprit) dan INDEF. Jadi, kami lebih fokus melihat kontennya apa.
Dalam konteks revolusi digital sekarang ini, teorinya Laswell itu kemudian mengalami revisi. Jika Laswell mengandaikan komunikasi terjadi satu arah, maka revolusi digital mengubahnya menjadi dua arah. Jika Laswell bilang who (pemerintah) says what to whom (publik) through which channel with what effect. Selesai. Maka di media sosial, whom (publik) bisa segera memberikan feedback kepada who (pemerintah). Feedback inilah apa yang oleh Laswell disebut sebagai effect. Feedback ini mestinya didengar dan dikonversi jadi pesan oleh pemerintah. Misalnya, melihat bagaimana respon publik atau warganet yang muncul (terhadap kinerja pemerintah). Apabila Pemerintah tanggap, reaksi warganet di media sosial tersebut sebenarnya bisa dijadikan masukan (perumusan) kebijakan. Contohnya, publik ingin agar Pemerintah merespon Corona secara lebih serius.
Sentimen publik sebenarnya sudah terbaca jelas di internet. Akan tetapi, kenapa Pemerintah ngotot bahwa kondisi masih baik-baik saja. Ini artinya, komunikasi politik yang terjadi itu tidak dua arah. Seharusnya, (Pemerintah) bisa menggunakan model dua arah.
Selain itu, kami juga memakai Teori Komunikasi Krisis yang dicetuskan Barbara Reynolds dan Matthew W. Seeger pada 2005. Mereka menciptakan model komunikasi yang disebut Crisis and Emergency Risk Communication (CERC). Menurut mereka, dalam model komunikasi di tengah bencana seperti ini, ada lima tahapan yang terjadi. Yakni, sebelum krisis, awal krisis, selama krisis, resolusi, dan evaluasi.
Lalu, seperti apa mestinya penerapan teori komunikasi krisis di tengah pandemi COVID-19?
Pra-Krisis. Fase pra-krisis ini penting. Karena pemerintah berkomunikasi dengan publik untuk memberi pengetahuan awal agar publik paham dan menyiapkan diri atas krisis yang terjadi. Soal COVID-19, sebelum kasus terjadi, Pemerintah mestinya ngomong: Wah, ini situasinya cukup bahaya. Di luar negeri semua kena, cukup serius. Kita harus antisipasi. Mestinya begitu.
Tujuannya, untuk meningkatkan kepercayaan diri publik dan mengajak semua pemangku kepentingan – seperti, lembaga pemerintah, pemerintah daerah, organisasi sipil, untuk mengkomunikasikan hal yang sama. Bagaimanapun, kunci keberhasilan terletak pada sinergi dan koordinasi antarkomunikator utama.
Awal Krisis. Pada fase awal krisis, Pemerintah harus menyediakan informasi melalui satu pintu untuk mempermudah koordinasi dan mencegah kesimpangsiuran berita.
Pemerintah juga mesti menyusun pesan yang komprehensif sehingga publik mengerti apa yang sedang terjadi, serta, memikirkan konsekuensi dan antisipasi berdasarkan data-data yang ada sehingga publik menjadi lebih siaga.
Krisis. Pada fase krisis, Pemerintah perlu menyiapkan informasi secara berkala. Sudah langsung jalan karena sudah melewati prakrisis dan awal krisis.
Resolusi dan Evaluasi. Fase resolusi itu ketika krisis berakhir. Dan fase evaluasi adalah mengevaluasi apa yang sudah terjadi.
Saat ini, Indonesia baru ada pada tahap fase krisis. Resolusi belum. Krisis menurut ilmuwan yang ahli COVID-19, puncaknya di Indonesia diperkirakan baru akan datang (beberapa saat ke depan). Dari berbagai teori yang ada di atas, saya melakukan operasionalisasi konsep.
Bagaimana temuan kasusnya dari per fase komunikasi itu di Indonesia?
Pra-krisis. Pada fase pra-krisis (awal Januari-1 Maret 2020), saat virus Corona secara resmi dinyatakan muncul di Indonesia, sebenarnya telah ada warning dunia internasional kepada media, bahwa Indonesia harus waspada. Banyak peringatan muncul. Akan tetapi, yang terjadi justru denial. Penyangkalan.
Pada 17 Januari, Presiden memastikan COVID-19 tak terjadi di Indonesia. Yang paling kentara adalah respon Menteri Kesehatan (Terawan Agus Putranto) yang dikutip sejumlah media, seperti: ‘Masyarakat tak perlu panik, enjoy saja’ atau ‘Penduduk Cina ada 1,4 miliar, paling dua ribuan yang kena. Itu kan sedikit’ (Detikcom).
(Pernyataan) itu kan meremehkan. Undermine. Bayangkan!
Respon yang kurang lebih sama ketika peneliti Harvard bilang: Mestinya COVID-19 sudah tiba di Indonesia. Terawan pun membalas: Wah itu menghina (Kompas.com, 11 Februari 2020). Respon yang ditunjukkan justru terdengar defensive, denial!
Selanjutnya, pada 11 Fabruari, Presiden Jokowi mengatakan Corona berdampak pada industri pariwisata sehingga dia pun berencana memberikan maskapai penerbangan sejumlah insentif (Kompas.com). Jadi seolah-olah bilang, (negara) yang lain kena, (negara) kita enggak. Agar orang bersemangat berwisata, yuk, kami kasih insentif.
Kemudian, ada Menko Polhukam Mahfud MD yang membuat twit, isinya selfi bersama Menko Perekonomian Erlangga Hartarto. Dalam twitnya itu, dia menulis: Menko Perekonomian sambil guyon bilang, perizinan di Indonesia berbelit-belit, maka virus Corona tak bisa masuk. Tapi Omnibus Law Cipta Kerja jalan terus kan?
Terawan membuat statement, COVID-19 tak masuk ke Indonesia karena kita berdoa kepada Tuhan (Kompas.com, 18 Februari). Yang seolah diamini oleh Wapres Ma’ruf Amin, 28 Februari, bahwa setiap subuh banyak kiai yang membaca doa qunut sehingga virus Corona tak (akan) masuk ke Indonesia.
Lalu, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan: Corona? Apa itu, mobil Corona? Sudah enggak ada di Indonesia, sudah pergi dari Indonesia (Detik.com, 18 Februari 2020). Bahkan Kepala BNPB Doni Munardo juga mengatakan: Kenapa kita enggak kena COVID-19? Karena ya kita suka minum jamu (Kompas.com, 24 Februari 2020).
Yang menarik, ketika Menteri Perhubungan Budi Karya Sumardi terus menyangkal tetapi akhirnya dia sendiri kena (COVID-19). Waktu itu, tanggal 24 Februari, dia masih terus menyinggung soal insentif wisata. Bahkan, sehari setelahnya, Dirjen Perhubungan Udara Nafriyanto kembali mempertegas, bahwa Kemenhub akan memberikan diskon 45 persen dari total harga (tiket pesawat).
Mirip seperti Erlangga yang mengaku akan menganggarkan Rp 72 miliar untuk membayar influencer demi meningkatkan wisata. Pernyataan yang kemudian diulang kembali oleh Wishnutama Kusubandio, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, tentang promosi pariwisata Rp 72 miliar.
Jadi, saya catat ada 13 statement dari 10 pejabat yang berbeda dari Januari-Februari 2020. Semua denial, menyangkal bahwa Indonesia tak akan kenapa-kenapa (oleh Corona).
Dalam komunikasi krisis, pernyataan-pernyataan itu tak akan membantu orang, tak membantu publik untuk menyiapkan dirinya. Mestinya yang disampaikan: COVID-19 akan sampai di Indonesia. Pemerintah perlu mengantisipasi. Mumpung belum terjadi (kasus), lebih baik menyampaikan kebenaran meski itu pahit. Daripada menyampaikan “kebohongan” tapi itu manis.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah bilang baik-baik saja, (virus Corona) tidak akan tiba di Indonesia. Yang terbaca, sikapnya kan seperti itu. Nyatanya, virus itu tiba.
Itu fase pra-krisis. Kami menyebutnya sebagai 13 blunder pertama.
Awal Krisis. Fase awal krisis (2-13 Maret 2020), dimulai ketika Jokowi mengumumkan dua kasus positif Corona (dari Kota Depok, Jawa Barat) di Indonesia. Ini disebut bad practices of political communication, praktik komunikasi yang buruk, karena telat. Bersamaan dengan pengumuman presiden, kemudian beredar identitas pasien dan dirundung. Perundungan terhadap pasien COVID-19 ini adalah dampak dari fase prakrisis, di mana publik tak disiapkan lebih dulu.
Mestinya saat pra-krisis, Pemerintah menginformasikan bahwa orang-orang yang mengaku COVID-19, terinfeksi atau mendeklarasikan dirinya positif COVID-19, seharusnya dianggap sebagai pahlawan. Bukan aib. Karena dengan dia bicara kepada publik berarti menghindarkan orang lain untuk kena. Seharusnya, mereka justru diberi dukungan semacam itu. Dua kasus di Depok itu kan terjadi karena mereka sendiri yang meminta dites. Hasilnya ternyata positif. Tapi, sikap publik malah seperti itu (memusuhi), sebagai dampak tak dipersiapkan saat pra-krisis.
Kedua, ketika Presiden mengumumkan data dua korban COVID-19 tersebut, seharusnya dia sudah memperhitungkan dampaknya. Jangan sampai bocor. Meski yang membocorkan adalah Pemerintah Kota Depok, Presiden semestinya perlu berkoordinasi lebih dulu ke pihak-pihak terkait, hingga ke level walikota. Kan, walikota masih di bawah presiden.
Blunder selanjutnya, menurut investigasi Narasi TV, bahwa Februari 2020 sudah ada pasien yang terkena COVID-19 di Cianjur, Jawa Barat. Datanya diumumkan oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Awalnya, mereka dinyatakan negatif oleh Jubir COVID-19, Achmad Yurianto, pada 4 Maret. Setelah pasien meninggal dan diungkap Narasi TV ternyata positif, kemudian diralat jubir: Oh ya, itu positif setelah tes kedua.
Padahal, menurut Narasi TV, tak ada tes kedua. Jadi, ada ketidakkonsistenan informasi. Ini blunder.
Blunder ketiga, hingga awal Maret, Presiden masih saja menyatakan di media, lagi-lagi tentang insentif wisata dengan alasan untuk menyelamatkan ekonomi. Merespon hal itu, Menteri Terawan mengatakan: Wisatawan kan dari negara tak terdampak. Tak seluruh negara di dunia kena. Baru 52 negara yang kena. Jadi, kita hati-hati, tapi jangan sampai paranoid (Detikcom, 2 Maret).
Padahal, di Indonesia sudah ada yang kena tuh. Dan jauh-jauh hari sebelumnya, WHO sudah mengingatkan, kalau kasus COVID-19 barangkali sudah ada di Indonesia, mungkin juga sudah muncul cukup lama. Tetapi, pada 11 Maret, Ma’ruf Amin masih bercanda, kalau susu kuda liar bisa menangkal virus corona. Lelucon yang disampaikan pada saat yang tak tepat.
Semua yang disampaikan di atas adalah empat blunder masa awal krisis.
Krisis. Masa krisis (14 Maret – sekarang) diawali ketika Presiden menyatakan Corona sebagai bencana nasional. Itu pun, ada bunder lagi, ketika ada polemik darurat sipil. Presiden menyatakan perlu mengatasi COVID-19 dengan darurat sipil. Lalu, muncul kritik dari pakar hukum dan masyarakat sipil, bahwa darurat sipil itu muncul di daerah yang terjadi pemberontakan. Yang pernah dialami di Aceh, misalnya. Yang diperlukan Indonesia saat ini bukanlah darurat sipil, tetapi darurat kesehatan.
Setelah statement (darurat sipil) itu, Presiden pun merevisi: Oh iya, darurat sipil itu baru opsi, tidak dilakukan sekarang (Kompas.com, 31 Maret)
Blunder selanjutnya, Jokowi mengumumkan darurat kesehatan. Sudah tepat, tapi di mana blundernya? Pengumuman itu disampaikan pada 31 Maret, tetapi kasusnya sendiri sudah ada hampir sebulan yang lalu.
Mestinya, pengumuman darurat kesehatan itu dibuat lebih operasional (tidak hanya diucapkan). Namun, diikuti oleh aturan pelaksananya, seperti peraturan pengganti undang-undang (Perpu), peraturan presiden, atau peraturan pemerintah. Agar lebih applicable, mudah diterapkan. Tapi yang terjadi sebaliknya, tidak praktis, tak bisa menjawab pertanyaan publik.
Teman-teman ojek online (ojol) misalnya mempertanyakan, apakah benar motornya tidak perlu diangsur dulu, apakah bisa diundur angsurannya? Itu tidak terjawab dalam pidato Presiden. Padahal, saat ini sudah masuk suasana krisis. Berbeda misalnya, semasa Orde Baru, antara Presiden Soehato dan Menteri Penerangan Harmoko. Ketika Presiden mengatakan hari ini harga gula di pasar Rp 2.000 per kilo, ya Rp 2.000 beneran.
Di sisi lain, blunder ketika memasuki masa krisis juga terlontar dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Tito memberikan pernyataan yang meremehkan, bahwa tingkat kematian akibat virus Corona relatif rendah, yakni hanya tiga persen (iNews, 17 Maret). Tapi, tiga persen dari 210 juta masyarakat Indonesia berapa? 8 juta!
Setali tiga uang, Luhut mengatakan, dari hasil modelling, cuaca Indonesia tidak cocok untuk virus Corona (Detik.com, 2 April). Padahal penyebab penularannya menurut beberapa riset kan karena mobilitas orang. Bukan soal cuaca. Dan, hingga saat pernyataan itu dilontarkan, sudah banyak yang meninggal lho. Masih gitu-gitu juga pernyataannya.
Lalu, Achmad Yurianto bilang, yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup wajar. Yang miskin melindungi yang kaya agar tak menularkan penyakitnya (Liputan6.com, 28 Maret). Jadi, seolah-olah orang miskinlah yang menularkan Corona.
Blunder lain, pernyataan Presiden tentang kredit kendaraan. Pada Maret, Kompas.com memberitakan bahwa ojol, sopir taksi, nelayan tak perlu khawatir. Pembayaran bunga atau angsuran, kata Presiden, akan diberikan kelonggaran pembayaran selama satu tahun. Jadi, bisa diundur.
Akan tetapi, pernyataan Presiden tersebut dibantah sendiri oleh jubirnya, Fadjroel Rachman di Kompas.com pada 30 Maret, bahwa yang mendapatkan keringanan dari tanggungan tersebut hanyalah pasien yang sudah positif Corona. Jadi, orang harus kena sakit COVID-19 dulu baru dibebaskan (angsurannya). Hidupnya sudah susah (secara ekonomi), tapi enggak boleh keluar rumah.
Lalu ada polemik mudik. Ini polemik yang paling banyak melibatkan statement pemerintah selama krisis. Bila, pada masa pra-krisis, ada 13 statement yang omongannya sama semua meyakini virus Corona belum ada di Indonesia, polemik mudik ternyata paling demonstratif. Bahkan, mungkin yang paling vulgar karena terang-terangan memperlihatkan miss communication di antara anggota kabinet sendiri.
Pertama, Jokowi melarang mudik pada berita 30 maret 2020. Alasannya, mudik Lebaran berisiko memperluas penyebaran virus Corona. Itu diperkuat Achmad Yurianto untuk melarang mudik. Fadjroel melalui Twitter tiba-tiba menyatakan membolehkan mudik. Menteri Sekretaris Negara Pratikno meralat pernyataan Fadjroel, seperti dimuat dalam Kumparan pada 2 April: ‘Menseneg Klarifikasi Pernyataan Fadjroel: Masyarakat Tak Perlu Mudik’. Kemudian, Fadjroel merevisi kembali (lewat Twitter).
Tiba-tiba, Presiden lewat Rapat Kabinet pada 2 April 2020 yang disampaikan secara live di Youtube Kompas TV, bilang: Ya mungkin mudik perlu diundur, diganti jadwalnya. Kompas TV kemudian memberi judul ‘Presiden Usul Jadwal Mudik akan Diganti Setelah Lebaran’.
Saya bisa memahami Kompas TV yang menyebut “usul”, karena Presiden mengatakan “mungkin”. Jadi seperti menyarankan (bukan instruksi). Pertanyaannya, menyarankan kepada siapa? Ini Presiden. Mestinya, instruksi. Dampak bagi publik harus patuh pada siapa? Yang ada justru menambah kebingungan publik.
Ada lagi, pernyataan Doni Monardo yang melarang mudik. Lalu Luhut membolehkan mudik. Dan akhirnya Presiden mengatakan boleh mudik, asalkan ikut protokol orang dalam pemantauan (ODP).
Komunikasi publik soal mudik Lebaran ini butuh waktu untuk sampai dan dipahami oleh masyarakat di desa-desa atau daerah terpencil. Pesannya harusnya konsisten, tidak berubah-ubah. Kalau berubah, masyarakat bingung, mana yang benar dan mana yang salah. Dampaknya, mereka bisa gontok-gontokan sendiri, antara yang meyakini mudik dilarang dan mudik dibolehkan. Belum tentu, semua orang terus-menerus mengikuti berita.
“Kesalahan komunikasi dalam situasi darurat pandemi seperti saat ini, konsekuensinya adalah nyawa manusia.“
Komunikasi yang tepat adalah menyampaikan kepada publik apa yang perlu dilakukan sesuai dengan saran sains. Ilmu pengetahuan menyarankan untuk menghindari kerumunan, stay at home (tinggal di rumah), physical distancing (menjaga jarak fisik). Pandangan saya sebagai antropolog, apakah realistis meminta pemudik yang sudah sampai di daerah untuk melakukan isolasi mandiri? Logikanya, orang mudik bertemu orang tuanya, teman-temannya, ya berlebaran, kumpul-kumpul, reuni. Enggak mungkin masyarakat dalam kultur yang sangat komunal diminta pulang, tapi terus diminta mengisolasi diri.
Saya punya saudara seorang bidan di Demak, Jawa Tengah. Tetangganya yang tinggal di depan rumah, baru pulang (dari luar kota) dan seharusnya menjadi orang dalam pemantauan (ODP) selama dua pekan. Namun, belum juga dua pekan, dia sudah bertandang ke rumah tetangga di mana-mana. Di Kudus, teman cerita. Orang datang ya kumpul-kumpul, gitaran, jalan-jalan. Jadi di daerah, saya jamin tak mungkin skenario mengisolasi dua pekan itu akan efektif.
Sekarang saja, mal-mal sudah penuh dan ramai di mana-mana. Imbauan pemerintah (untuk physical distancing dan di rumah saja) tak diindahkan. Ini kebijakan dan komunikasi politik yang blunder juga. Blunder komunikasi yang terjadi tak hanya dari pernyataan perseorangan, tapi bila pernyataan itu dikaitkan juga dengan pernyataan orang lain. Sesama menteri.
Mensesneg sudah benar meluruskan bahwa mudik dilarang. Tapi dalam hal berbantah dengan sesama menteri, itu tidak tepat. Posisi dia sebagai Mensesneg. Buat apa membuat statemen tentang mudik, tentang COVID-19. Menko Kemaritiman Luhut (yang menjadi pelaksana tugas Menteri Perhubungan setelah Budi Karya positif COVID-19 – redaksi) juga, ngapain bicara tentang Corona, COVID-19?
Kemudian, Menkumham Yasonna Laoly melontarkan statement, bahwa tahanan (koruptor) perlu dibebaskan karena Corona. Ini belum ada dalam riset saya karena disampaikan usai riset. Namun, usulan pembebasan napi koruptor itu langsung dikritik oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
Yang menarik, tanggal 22 Maret, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis mengeluarkan ancaman akan menindak setiap kerumunan selama pandemi Corona. Kalau Pemerintah membolehkan mudik, otomatis akan terjadi kerumunan. Bayangkan, Yasona ingin mengosongkan penjara, Kapolri malah berniat membuat penuh penjara.
Atau, kejadian blunder serius lainnya, yakni ancaman Kapolri yang akan menindak penghina Presiden terkait Corona. Kebijakan yang justru menunjukkan ketidaksiapan Pemerintah karena takut dikritik. Pernyataan ini justru meningkatkan ketakutan, kepanikan dan kekecewaan publik. Kalau begini, penjara bisa penuh lagi. Pernyataan Kapolri itu mengukuhkan berbagai pasal karet yang bisa menjerat siapapun, khususnya yang tak disukai dan dianggap menghina. Kan, definisi menghina tidak clear.
Ini artinya, ada ketidakkonsistenan sikap antara satu pejabat dengan pejabat lain. Kalau mengacu pada teori komunikasi Harold Lasswell tadi, feedback dari publik di era digital mestinya jadi masukan. Bukan malah ditindak.
Lantas komunikasi seperti apa yang mestinya dibangun antarelit di tengah bencana ini?
Rekomendasi kami, komunikasi yang berkualitas akan menghasilkan trust dan solidaritas, sehingga perlu konsistensi dan transparansi. Konsistensi dibutuhkan agar pesan mudah disampaikan dan diapahami hingga ke akar rumput. Artinya, Presiden, Wapres, dan kabinetnya harus menyampaikan pesan yang sama dari waktu ke waktu. Tidak saling bertentangan satu sama lain.
Dalam soal mudik misalnya. Kalau Presiden melarang mudik, dia harus konsisten dengan instruksi itu. Kabinet dan Jubir juga harus satu suara. Masalahnya, Presiden kan merevisinya (dari melarang menjadi membolehkan mudik). Tidak konsisten. Sedangkan, para menterinya mengeluarkan pendapat yang berbeda semua.
Di sisi lain, tranparansi amat penting untuk membangun kepercayaan publik. Misalnya, bila Pemerintah membolehkan mudik, apa alasannya? Apakah karena wabah ini tidak berbahaya? Padahal, nyatanya berbahaya. Ataukah karena kondisi keuangan negara sedang tidak memungkinkan – krisis? Tapi, kalau memang krisis, mengapa proyek infrastruktur dan pembangunan ibukota baru yang nilainya triliunan rupiah itu masih tetap jalan. Nah, semua alasan itu harus dijelaskan pada publik sehingga mereka tidak menduga-duga. Kalau publik tahu, umpamanya negara sedang dalam kondisi bangkrut, maka mereka akan menentukan sikap: Oh, saya akan mudik, tapi harus berhati-hati dan tetap menjaga jarak fisik.
Sayangnya, hingga kini, tidak ada satu pejabatpun yang melakukan (transparansi) itu.
Jadi poin yang ingin kami sampaikan adalah, Pemerintah menunjukkan sikap denial (menyangkal), kurang transparan, lemah dalam koordinasi, dan juga inkonsisten.
Dari situlah, kami memberikan rekomendasi yang lebih spesifik. Yakni, komunikasi bencana harus melalui satu pintu. Perlu ada pembatasan yang ketat bagi setiap anggota Kabinet berbicara soal isu COVID-19. Kalau Pemerintah sudah menunjuk Jubir Gugus Tugas, ya biarkan dia saja yang berkomunikasi pada publik. Pejabat yang tidak terkait langsung dengan isu ini, seperti Menko, Wapres, para menteri atau bahkan juru bicara Presiden seharusnya tidak perlu ikut berbicara. Karena pada praktiknya, justru menjadi blunder.
Bagaimana jika komunikasi satu pintu juga blunder?
Ada wartawan yang bertanya setelah saya presentasi, kalau jubirnya blunder gimana? Ya biar dia saja yang diperingatkan agar lebih jujur, transparan, enggak denial, dan harus minta maaf.
Bayangkan, kalau jubirnya ada sepuluh, semuanya ngomong dan membuat blunder. Lalu, bagaimana mengoreksinya? Presiden harus mengatur lalu lintas komunikasi, memberlakukan kebijakan satu pintu untuk mengatasi pandemi ini. Bila jubir yang ditunjuk ternyata salah, Presiden bisa menegur. Kalau dia denial, minta jubir mengikuti sains. Kalau ternyata tak berubah juga, ya ganti saja. Presiden punya kekuatan untuk melakukan itu.
Selain itu, perlu ada koordinasi antarmenteri, Ketua BNPB, dan jubir presiden. Pada masa darurat bencana seperti ini, anggota Kabinet perlu lebih berhati-hati dan bijak dalam memberikan pernyataan apapun di media sosial. Seperti yang dilakukan Mahfud MD dengan unggahan foto selfi bersama Erlangga dan twit bahwa COVID-19 terhalang perizinan berbelit di Indonesia. Status itu dibuat oleh selevel menteri yang tentu saja langsung menjadi trending topic dan diberitakan media. Terlepas dari benar atau salah, menteri seharusnya mawas diri untuk tidak menambah gaduh.
Meski tidak semua, sejumlah media lebih suka memberitakan hal yang sensasional. Bahkan, ada saja yang seperti membenturkan antara narasumber satu dengan lainnya. Apalagi, bila para pejabat sendiri yang ternyata memancing perhatian media, misalnya memang bertujuan mencari panggung. Kalaupun iya, ini bukan saatnya bercanda. Kesalahan komunikasi dalam situasi darurat pandemi seperti saat ini, konsekuensinya adalah nyawa manusia.
Yang terakhir, pemerintah pusat sangat perlu menjalin koordinasi yang baik dengan pemerintah-pemerintah daerah. Pesannya harus jelas. Bertindaklah seperti kata-kata yang disampaikan ke publik. Kalau Pemerintah menyatakan kondisi darurat, ya bertindaklah seperti kondisi memang sedang darurat.
Blunder komunikasi elit politik masa pemerintahan Jokowi ternyata sudah terjadi sebelum pandemi. Jokowi bilang jurnalis asing dipersilakan masuk ke Papua, tapi imigrasi melarang. Jokowi bilang ojol dibolehkan, tapi Menhub Ignatius Jonan waktu itu melarang. Apa persoalan dalam pemerintahan Jokowi sebenarnya?
Saya contohkan pada masa Orde Baru. Komunikasi Soeharto pada menteri-menterinya, termasuk Menteri Penerangan Harmoko, sangat clear. Kalau Harmoko bilang sayur per kilo Rp 2.000, ya di pasar Rp 2.000.
Komunikasi politik pada masa Pemerintahan Jokowi memang blunder. Dan, (masa pandemi) ini bukan yang pertama, tapi saat inilah yang paling kentara. Mengapa? Menurut saya, terlihat dari konstelasi politik. Secara politik, posisi Jokowi memang lemah. Karena, dia tak punya partai. Partai yang mendukungnya, melalui Megawati, menyebut dia sebagai petugas partai. Di balik itu, Megawati kan seolah mau bilang, kamu harus nurut sama aku. Itulah yang membuat Jokowi tak nyaman secara politik.
Karena itu, dia lalu mencari dukungan koalisi dari Partai Golkar, dari Luhut. Praktis, saat ini mengandalkan koalisi. Jokowi pun mencoba agar kekuatan-kekuatan tersebut semua mendukungnya. Itulah yang membuat dirinya sulit mengatakan tidak pada mitra-mitra politiknya.
Pada masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), saya ingat, kader partainya, Roy Suryo, pernah membuat pernyataan bumerang yang membahayakan Pemerintahan. SBY dapat langsung menegurnya dan melarang agar dia tak membuat pernyataan lagi ke wartawan. Maka, berhentilah statement tersebut. Jadi, SBY lebih bisa mengendalikan orang-orang di sekelilingnya. Meski pada akhirnya, dia juga sempat mengalami kedodoran.
“Jangan biarkan banyak pejabat yang bicara, apalagi mencari panggung. Dalam situasi darurat seperti ini, yang paling dibutuhkan adalah kepercayaan publik”.
Saat ini, berbeda. Para menteri bahkan secara vulgar menunjukkan sikap yang berbeda-beda. Mereka punya kepentingan berbeda pula. Termasuk, para kepala daerah. Bahkan, Presiden terkesan berkonflik dengan kepala daerah. Misalnya, saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengupayakan status karantina wilayah, ternyata ditentang Pusat. Di daerah pun kemudian juga muncul keputusan karantina sendiri, tanpa persetujuan Pusat, seperti di Tegal.
Saat ini adalah periode kedua Pemerintahan Jokowi, harusnya bisa lebih tegas pada menteri-menterinya. Bagaimanapun, dia adalah presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Mestinya, sudah kuat secara politik. Tak ada yang bisa menjatuhkannya. Apalagi, dalam momentum seperti ini, bila Presiden membuat kebijakan yang tepat, saya yakin akan banyak menuai dukungan. Sayangnya, itu tidak dilakukan Jokowi.
Bagaimana media mesti bersikap dalam praktik jurnalistiknya ketika menghadapi blunder komunikasi antarelit ini?
Pertama, soal konten. Seandainya tidak ada satu pun media massa, hanya media sosial, bayangkan betapa kacaunya medsos. Betapa runyamnya situasi. Hanya ada medsos, tanpa ada media mainstream, publik tidak akan tahu apa-apa karena tidak ada berita. Karena, media itu punya fungsi (informasi). Meskipun, ada catatannya. Yakni, kontennya kadang bisa dipengaruhi oleh pemilik media. Ada media yang kurang kritis karena pemiliknya adalah politisi atau pebisnis yang dekat dengan politisi.
Pasti jurnalis tahu studinya Merlyna Lim dan Ross Tapsell tentang konglomerasi media di Indonesia. Merlyna bilang ada 13 konglomerasi media yang menguasai seluruh media mainstream secara nasional. Tapsell membuatnya lebih sedikit, ada delapan. Namun intinya sama, bahwa media dimiliki oleh segelintir orang.
Suryo Paloh, politisi dari partai pendukung penguasa misalnya, punya Media Indonesia dan Metro TV. Jelas beritanya akan lebih positif, bahkan lebih manis, kepada kekuasaan. Dalam riset Anett Keller, Paloh sendiri secara eksplisit mengatakan: Saya akui bahwa saya menggunakan Metro TV dan Media Indonesia. Kalau tidak, apalagi yang bisa saya gunakan? Kalau ada wartawan yang tak senang, ya, salah sendiri mengapa dia menjadi wartawan di Metro TV atau Media Indonesia.
Sedangkan Harry Tanoe, dia memiliki partai dan beberapa media dalam MNC Group. Kompas punya orang yang netral (secara politik), seorang jurnalis, tapi dalam sejarahnya pernah dekat juga dengan kekuasaan. Meski begitu, kadang-kadang masih bisa kritis. Tempo juga, meski punya latar belakang politik ekonomi sendiri.
Maksud saya, publik butuh media. Tapi, masing-masing media punya kelemahan. Punya konten (yang dipengaruhi) sisi politik, kultur. Kompas menyatakan tak mau menyakiti perasaan publik, misalnya perasaan umat Muslim, makanya mereka memilih tak frontal dalam menulis. Pakai rasa. Setiap media punya keterbatasannya sendiri. Makanya, publik harus cerdas dalam melihat media. Cek siapa yang punya dan apa dukungan ekonomi politik di belakangnya.
Kedua, media yang dikonsumsi publik hari ini kan media daring. Kalau mahasiswa saya tanya, kapan terakhir pegang media cetak, ada yang bilang sebulan lalu, setahun lalu. Sekarang ini, orang jarang membeli media cetak. Sifat media daring inginnya (pemberitaan yang) cepat-cepat. Bahkan, dalam hukum jurnalisme disebutkan speed is the enemy accuracy, kecepatan adalah musuh akurasi. Kalau hanya cepat-cepat saja ya akurasinya kurang dibandingkan koran yang harus dicetak dulu dan diterbitkan besok.
Saran saya, media harus lebih berkualitas dari sisi jurnalisme. Meskipun tentu saja, saya sulit membayangkan itu. Jumlah media saat ini banyak sekali. Tapi, bagaimanapun, harus tetap berupaya ke sana.
Ketiga, edukasi publik. Publik harus cerdas dalam membaca berita. (Literasi) itu perjalanan panjang. Selama ini, publik selalu berpikir, kalau ada info diberitakan oleh Media A, sudah pasti benar. Ada yang bilang, kalau info yang disebar di Whatsapp belum tentu benar, tapi kalau muncul di dotcom pasti benar, apapun itu. Pada lapisan lain, dotcom mungkin belum tentu benar, tapi kalau sudah dimuat oleh Kompas atau Tempo, informasi itu sudah pasti benar.
Padahal, jurnalis mungkin juga memahami bila dalam pemberitaan selalu ada lapisan-lapisannya. Saya sendiri sudah melakukan riset soal media dalam 12 tahun terakhir. Bukan berarti mengatakan, bahwa beritanya salah. Tapi, publik seharusnya memahami bahwa ada framing di balik setiap pemberitaan. Yakni, ada informasi yang ditonjolkan dan ada yang tidak diberitakan.
Seharusnya, Pemerintah mengetahui seperti apa nature jurnalis saat ini. Misalnya, kalau tahu bahwa kultur jurnalisme (online) yang berkembang di Indonesia sekarang adalah clickbait journalism, dimana ada sejumlah media yang gemar mencari sensasi, atau mengangkat isu-isu kontroversial, maka (komunikasi) Kabinet ini harus lebih solid.
Jangan biarkan banyak pejabat yang bicara, apalagi mencari panggung. Kalau muncul pendapat yang saling bertentangan, publik yang akan menderita. Dampak dari kesalahan komunikasi politik saat ini adalah banyaknya korban yang berjatuhan, yakni orang-orang yang meninggal (karena COVID-19). Itulah yang perlu dipikirkan. Dalam situasi darurat seperti ini, yang paling dibutuhkan adalah kepercayaan publik.
Bagaimana media bisa mencegah pemberitaan yang blunder akibat komunikasi elit yang amburadul itu?
Ada guyonan dalam media. Sifatnya satire. If your mother says she loves you, check it out. Jika ibumu bilang kalau dia mencintaimu, kamu harus mengeceknya.
Kalau mau ideal, menurut saya, media harus melakukan investigasi. Jadi, tak melakukan jurnalisme abab ya, talking journalisme. Dalam arti, siapa ngomong apa jadi berita. Kalau begitu ya pasti akan simpang siur. Misalnya, Presiden mengatakan nanti kredit cicilan motor boleh ditunda, jurnalis harus melakukan verifikasi. Tanya ke dealer motor, benar enggak itu? Tanya kepada pengemudi ojol, setuju enggak? Benar enggak kamu boleh menunda?
Jadi simpan (informasi itu) dulu, baru jadi berita. Kalau kebanyakan media sekarang kan tidak. Ada statement, tiba-tiba langsung keluar jadi berita. Padahal, belum tentu itu sudah terjadi. Kalau ada yang bilang di luar hujan, ya harus cek, buka jendelanya. Jangan ditulis, menurut si A di luar hujan. Padahal, ternyata panas. (*)
Ilustrasi: Khrisnanda Satya