Pasal-pasal karet dalam Omnibus Law rentan disalahgunakan.
- Jurnalis rentan dikontrak seumur hidup dan di-PHK sepihak
- Media yang melanggar peraturan dapat dikenai pidana denda hingga miliaran rupiah
Pito Agustin Rudiana
Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja menjadi perhatian publik semenjak diumumkan September 2019 lalu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Banyak penolakan muncul di berbagai daerah lantaran RUU tersebut diyakini akan sangat merugikan buruh, termasuk pekerja media. Tidak hanya itu, omnibus law juga dinilai mengancam kebebasan pers.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyebutkan, ada dua pasal dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang turut diselipkan dalam omnibus law atau RUU Sapu Jagat yang memungkinkan mencabut atau mengubah sejumlah regulasi yang saat ini berlaku. Setidaknya, RUU Cipta Kerja akan merevisi sekitar 1.228 pasal dari 79 undang-undang.
Apabila disetujui, omnibus law tentu saja akan menambah panjang jerat pasal-pasal karet dari sejumlah UU, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang membahayakan bagi kehidupan pers dan para jurnalis di Indonesia.

Untuk membahasnya lebih mendalam, Nuusdo mewawancarai Direktur LBH Pers Ade Wahyudin yang bersama sejumlah aktivis organisasi profesi jurnalis terus aktif mengkritisi RUU tersebut. Berikut ini petikan wawancara tersebut.
***
Apa tantangan Pers di periode kedua Pemerintahan Joko Widodo saat ini?
Kebebasan pers yang semu, dimana masih dibayang-bayangi oleh kasus wartawan yang direpresi, dikriminalisasi, hingga dipersulit akses informasinya. Contohnya, yang terjadi pada jurnalis di Papua yang ketersediaan jaringan internetnya minim. Selain itu, tantangan oligarki media yang banyak diisi oleh para politisi sehingga sulit memecahkan propaganda yang dihadapi oleh wartawan itu sendiri.
Belum lagi, minimnya pengetahuan para penegak hukum tentang pers sehingga perlindungan terhadap jurnalis yang menjadi korban kekerasan kerapkali diabaikan, bahkan jurnalis cenderung sulit mendapatkan akses keadilan. Sedangkan masalah impunitas juga masih menjadi tantangan besar bagi penegakan hukum terhadap kasus-kasus pers di dalam negeri.
Dua pasal UU Pers masuk daftar yang akan direvisi dalam Omnibus Law. Menurut Anda, apa sebenarnya yang diinginkan Pemerintah terhadap Pers?
Kami menduga, ada potensi yang mengarah pada pengekangan kebebasan pers. Dalam pidato-pidatonya, Presiden Jokowi terus-menerus mengungkapkan keinginannya untuk meningkatkan laju investasi, salah satunya dengan cara merevisi pasal dalam UU Pers yang mengizinkan investasi asing pada perusahaan media.
Saat berdiskusi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk membahas mengenai RUU Cipta Kerja, kami menemukan bahwa ada dua pasal dalam UU Pers, yakni Pasal 11 dan 18, yang ikut diselipkan (untuk direvisi) dalam Omnibus Law.
Sampai hari ini, kami tidak tahu siapa yang mengusulkan. Bahkan, kami – koalisi kebebasan pers tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut. Dewan Pers pun tidak. Padahal, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jelas-jelas mengamanatkan keterlibatan peran publik dalam setiap proses pembuatan kebijakan.
Revisi Pasal 11 dan 18 dinilai tak sejalan dengan semangat kebebasan pers. Bisa Anda jelaskan?
Yang nyata-nyata tak sejalan dengan kebebasan pers adalah revisi Pasal 18 UU Pers, ayat 2, 3 dan 4. Khususnya, terkait dengan denda dan sanksi administratif yang akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Kami dengan tegas menolak sanksi terhadap perusahaan media yang dendanya bisa mencapai Rp 2 miliar, empat kali lipat dari yang tercantum pada aturan sebelumnya. Angka itu tentu saja tidak berdasar. Nominalnya yang sangat tinggi membuktikan adanya ancaman yang nyata terhadap kebebasan pers.
Apabila di kemudian hari, ada perusahaan media yang mengalami sengketa, maka aturan sanksi tersebut akan dengan mudah memiskinkan, bahkan membuat media bangkrut hanya karena kewajiban membayar denda yang jumlahnya tak masuk akal kepada negara. Padahal, banyak media cetak, misalnya, yang saat ini pendapatannya berkurang karena proses digitalisasi dari platform cetak ke internet.
Sanksi administratif pada akhirnya justru berpotensi mengekang kemerdekaan pers.
Adapun, revisi Pasal 11 dan 18 ayat 1, kami belum bisa menyimpulkan. Revisi Pasal 11 tentang perubahan penanaman modal asing (PMA) dan penyertaan modal pemerintah sesuai peraturan penanaman modal.
Apa yang mengkhawatirkan apabila Pasal 18 UU Pers jadi direvisi?
Secara prinsip, perubahan pada pasal 18 ayat 1 tidak mengkhawatirkan. Masalahnya, penerapan pasal yang mengatur tentang ancaman sensor dan pembredelan terhadap media ini sering tidak konsisten. Ada temuan pelanggaran, tetapi jarang ditindak oleh penegak hukum. Bisa jadi, disebabkan karena rendahnya pemahaman para penegak hukum tentang UU Pers dan kerja-kerja jurnalis.
Sedangkan, perubahan pada ayat 2 dan seterusnya merupakan pasal karet.
Yang kami khawatirkan dengan adanya perubahan denda maksimal dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar adalah, pasal ini membuka peluang aparat penegak hukum untuk memvonis denda miliaran rupiah kepada perusahaan pers yang dinilai melanggar norma kesusilaan, asas praduga tidak bersalah dan norma agama.
Soal aturan itu, tidak ada penjelasan atas dasar apa para pembuat kebijakan itu menaikkan besaran pidana denda begitu tinggi. Jika diterapkan, pasal ini dapat langsung memiskinkan perusahaan media, bahkan berujung pada penutupan usaha dan PHK massal.

Sanksi pidana dalam sengketa pers sebenarnya kurang tepat. Karena sifat pidana denda adalah sebagai efek jera, bukan merehabilitasi atau mengganti kerugian pihak yang diberitakan tersebut.
Sementara ayat 3 dan 4 menimbulkan kerancuan. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa perusahaan pers yang tidak berbadan hukum Indonesia dan tidak mencantumkan data identitas perusahaan pers akan dikenai sanksi administratif, berubah dari aturan sebelumnya yakni pidana denda sebesar Rp 100 juta.
Tujuan aturan tersebut mewajibkan institusi media yang tidak atau belum berbadan hukum (perseroan, perseroan terbatas, koperasi, yayasan, BUMN, atau perum) agar segera mendaftarkan diri sebagai perusahaan berbadan hukum. Jika tidak, mereka akan diancam dengan sanksi administratif.
Yang menjadi masalah, sesuai ayat 4, pengaturan sanksi administratif yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) ini dikhawatirkan justru akan menjadi ancaman baru terhadap aktivitas kebebasan berekspresi lembaga non-pers.
Tentu hal ini perlu dikritisi.
Bagaimana bisa perusahaan yang tidak legal atau tidak berbadan hukum akan dikenakan sanksi administratif? Lalu, model sanksi administratif seperti apa yang akan diberlakukan? Apakah pencabutan izin? Pembekuan? Atau, pembredelan?
Jika aturan ini disetujui, yang akan dirugikan adalah media komunitas, blogger, startup media, atau pers mahasiswa. Ke depan, kasus-kasus sengketa yang berkaitan dengan pers mungkin tidak akan lagi mempertimbangkan sisi kerja-kerja jurnalistik, namun hanya berdasarkan pada bagaimana status badan hukumnya.
Praktik tersebut tentu mengkhawatirkan karena berpotensi melenceng menjadi pasal-pasal karet yang akan menjerat mereka sebagai penyebar berita bohong, fitnah, hoaks, dan sebagainya.
Apakah ada upaya LBH Pers untuk membatalkan revisi UU Pers tersebut?
Tidak mengagalkan seluruhnya. Sejauh ini, LBH Pers bersama AJI Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Dewan Pers sudah melakukan koordinasi. Kami juga menyebarkan siaran pers ke berbagai media.
Selain UU Pers, Omnibus Law juga menargetkan revisi atas UU Ketenagakerjaan. Pasal apa saja yang akan berimplikasi pada kesejahteraan jurnalis? Mengapa?
Ada beberapa pasal yang akan mengancam nasib pekerja pers, yakni terkait kerja kontrak, upah dan ketentuan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam Omnibus Law, pasal 59 tentang batas waktu dan ketentuan perjanjian kerja tertentu akan ditiadakan. Penghapusan pasal tersebut akan membuat kontrak pada semua jenis pekerjaan, termasuk wartawan, dapat dilakukan tanpa ada batasan waktu, bahkan bisa seumur hidup. Oleh sebab status pekerjaannya adalah kontrak, wartawan dapat dengan mudah di-PHK, tanpa adanya pesangon, karena pesangon hanya untuk diberikan pada pekerja tetap.
Sedangkan, pada Pasal 88 b yang menyebutkan bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu (dan atau satuan hasil) akan berpotensi menjadi dasar perhitungan upah per jam.
Dalam Omnibus Law, penetapan upah juga akan mengalami perubahan. Sesuai Pasal 88 c yang direvisi, perusahaan akan menggunakan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebagai acuan sehingga meniadakan Upah Minimum Kabupaten atau Kota (UMK) serta Upah Minimum Sektoral.
Penghapusan pasal tersebut akan membuat kontrak pada semua jenis pekerjaan, termasuk wartawan, dapat dilakukan tanpa ada batasan waktu, bahkan bisa seumur hidup.
Hal itu belum lagi ditambah dengan ancaman PHK massal. Apabila Pasal 154 a ayat 1 disetujui, maka dampak ke depan akan berbahaya karena pengusaha bisa saja melakukan PHK dengan alasan melakukan efisiensi.
Selain Omnibus Law, apa saja regulasi yang mengancam kebebasan pers?
Sebagian besar adalah kasus pencemaran nama baik. Mereka dilaporkan, baik dengan menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau Pasal 310 KUHP.
Potensi risiko UU ITE ternyata cukup banyak. Hampir semua pasal di undang-undang ini bisa menjerat jurnalis. Mulai dari ancaman pencemaran nama baik, pornografi, penyebaran berita bohong hingga SARA. Sedangkan sejumah pasal di KUHP yang rentan disalahgunakan adalah penodaan agama, pencemaran nama baik, dan berita bohong.
Kedua regulasi di atas memiliki potensi besar mengkriminalisasi jurnalis. Banyak pasal-pasal karet bertebaran dalam UU tersebut yang dapat dengan mudah dimultitafsirkan sesuai dengan keinginan pihak yang mengkriminalisasi.
Mengapa ada pasal-pasal karet untuk menjerat Pers? Apakah ada agenda tersembunyi?
Bagi Pemerintah, pasal-pasal pencemaran nama baik dan penghinaan itu adalah pasal yang konstitusional, sehingga masih dipertahankan dalam hukum kita hingga saat ini. Salah satunya, karena argumentasi ketimuran.
Kami selalu mengkritik bahwa pasal-pasal tersebut sangat rentan disalahgunakan karena sudah ada banyak contohnya.
Bagi Pemerintah, reputasi seseorang adalah hak asasi yang harus dilindungi, namun di sisi lain juga jadi celah masuknya pasal-pasal karet yang pada praktiknya justru mengkriminalisasi pihak terlapor karena tafsir pasalnya sangat subjektif, yakni bergantung pada kaca mata pelapor saja. Kalau pelapor merasa terhina, ya kena. Jadi, apabila ada suatu kasus yang sebenarnya merupakan penghinaan, namun orang tersebut tidak merasa terhina, maka tidak akan berubah menjadi tuduhan penghinaan yang bersanksi hukum.
Apa tren kasus kekerasan terhadap jurnalis saat ini? Apa saja yang ditangani LBH Pers?
Yang menarik, belakangan ini banyak kasus kekerasan justru pada saat jurnalis meliput demonstrasi. Sebagian besar insiden dilakukan oleh aparat penegak hukum atau demonstran saat jurnalis ketahuan merekam aksi kekerasan yang tengah mereka lakukan pada pihak lain.
Sedangkan kasus yang ditangani LBH sendiri, selama tahun 2019, ada sekitar tujuh yang terdiri dari empat kasus kekerasan terhadap jurnalis, dua kasus pemberitaan dan satu kasus perdata.
Kami tidak menangani langsung kasus-kasus pencemaran nama baik.
Tapi berdasarkan monitoring sepanjang 2019, setidaknya ada tujuh kasus jurnalis yang dijerat menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang memang sering sekali dipakai untuk mengkriminalisasikan jurnalis.
Mayoritas korbannya adalah jurnalis media online. Terlepas apakah jurnalis tersebut menulis berita sesuai kode etik atau tidak, kasus-kasus ini adalah bentuk kriminamisasi.
Banyak persoalan pers juga diatur dalam UU lain, padahal sudah ada UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Mengapa bisa tumpang tindih?
Kami akui perlindungan hukum terhadap jurnalis masih kurang. UU Pers baru sebatas norma. Misalnya, ketika ada jurnalis yang dikriminalisasi karena sengketa dengan pihak lain, bagaimana cara mengatasi persoalan semacam itu ternyata tidak diatur jelas dalam UU Pers, melainkan hanya atas dasar kesepakatan bersama atau Memorandum of Understanding (MoU). Padahal, kekuatan kesepakatan tertulis tersebut tidak mengikat secara umum, namun hanya mengikat masing dua pihak yang bersepakat.
Di sisi lain, belum banyak aturan yang melindungi jurnalis. Oleh karena itu, apabila ada pasal-pasal karet pada UU lain yang ditujukan untuk seluruh warga – seperti pasal pornografi dan penghinaan, jurnalis akan tetap saja kena kendati aturan tersebut tidak spesifisik merujuk pada profesi ini.
Di sisi lain, ada problem pada sebagian lembaga pers sendiri yang belum bekerja sesuai standar profesional.
Sebenarnya kalau mau aman, lembaga pers harus mempersiapkan diri lebih dulu standar profesionalisme mereka, seperti syarat-syarat administrasi sebagai perusahaan pers dan membekali jurnalisnya dengan keahlian jurnalistik sehingga produk yang dihasilkan dapat menutup celah-celah kriminalisasi.
Pada umumnya, kasus-kasus kekerasan yang muncul acapkali dipicu oleh persoalan etik. Misalnya, karena berita yang dimuat tidak memuat konfirmasi dari pihak yang ada dalam pemberitaan, jurnalis kemudian didatangi oleh preman dan dipaksa menghapus rekaman foto atau videonya.
Tentu saja, bukan berarti kami memaklumi apa yang mereka perbuat. Namun yang harus dicatat, apabila media dan jurnalis patuh pada kode etik, kekerasan yang dialami mungkin tidak akan seserius ini.
Meski demikian, peraturan yang ada juga tidak boleh terlalu lentur sehingga dapat menjerat siapa saja, termasuk jurnalis.
Sejumlah jurnalis di daerah ditahan tanpa melalui proses di Dewan Pers dan baru diketahui belakangan. Mengapa bisa demikian?
Ya, seperti kasus jurnalis yang ditahan di Buton dan Makassar, Sulawesi. Seharusnya kasus-kasus semacam ini memang menjadi alarm sendiri bagi jurnalis.
Agak susah mengharap polisi aktif melaporkan setiap kasus ke Dewan Pers. Yang diperlukan saat ini, Pers harus memiliki ‘alarm’ sehingga apabila muncul ancaman kekerasan, mereka seharusnya langsung menghubungi organisasi pers yang ada di daerah, seperti AJI, IJTI, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), atau langsung mengontak Dewan Pers. Dengan begitu, potensi penyalahgunaan wewenang dapat diminalisasi.
Problemnya, banyak jurnalis di daerah yang seringkali menyimpan sendiri kasusnya dan baru menjadi perhatian publik setelah disidangkan di pengadilan, padahal kalau kasus sudah masuk ke meja hijau lebih susah mengurusnya.
Perusahaan pers juga harus selalu berkomunikasi dengan organisasi pers dan Dewan Pers sehingga kasus-kasus jurnalistik dapat menjadi kasus publik. Karena jurnalistik adalah kerja-kerja untuk publik, kasus kekerasan terhadap jurnalis seharusnya menjadi perhatian publik.
Menurut Anda, seberapa besar peran Dewan Pers menangani kasus-kasus jurnalistik? Apakah perlu ada Dewan Pers di daerah?
Saat ini ada lebih dari 40 ribuan media online yang tersebar di berbagai daerah, namun problemnya Dewan Pers hanya ada di Jakarta. Lalu, bagaimana bila ada sengketa pers di daerah yang harus ditangani Dewan Pers? Jika kasus-kasus tersebut tidak segera tertangani, jurnalis berpotensi besar untuk dikriminalisasi. Padahal, UU Pers mengamanatkan Dewan Pers agar melindungi pers.
Dengan anggaran yang masih menginduk ke Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), peran Dewan Pers masih sangat terbatas, padahal tugasnya sangat berat. Salah satunya, tugas mereka untuk melakukan verifikasi media yang jumlahnya ribuan, sudah barang tentu membutuhkan biaya tidak sedikit dan tenaga yang banyak. Pendataan itu sangat penting agar Dewan Pers memiliki data-data yang valid, terutama saat menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Bisa saja Dewan Pers membentuk semacam kelompok kerja (pokja) hukum di daerah sehingga memudahkan mereka berkoordinasi dengan pers-pers daerah. Persoalannya, apakah ada anggaran untuk membiayai pokja-pokja tersebut. (*)
Ilustrasi: Pixabay