“Data pun Perlu Verifikasi”

Jurnalisme data bisa jadi pijakan investigasi. Jurnalis data harus selalu memverifikasi, apakah datanya valid atau tidak.

Membuktikan fakta dengan data. Begitulah jargon jurnalisme data (dulu disebut jurnalisme presisi) kerap didengungkan. Akan tetapi, bagaimana bila data yang diperoleh jurnalis ternyata tak valid, bahkan bias kepentingan dari sumber yang mengeluarkannya? Apakah berita data lantas bisa dikatakan sebagai berita terverifikasi?

Berikut ini perbincangan Nuusdo dengan jurnalis data BBC World Service, Aghnia Adzkia, tentang bagaimana idealnya jurnalisme data dimaknai dan diterapkan.

***

Bagaimana cara memastikan data yang akan diolah valid?

Level terendah untuk mengetahui apakah suatu data valid atau tidak adalah dengan cara mengetahui kredibilitas lembaganya. Apakah lembaga tersebut memiliki otoritas untuk berbicara data, seperti Biro Pusat Statistik (BPS) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Atau, apakah lembaga tersebut kampus atau badan riset yang cukup bisa dipercaya, misalnya Habibie Center.

Level kedua, dengan cara mengecek metodologi data yang dikumpulkan.

Seorang jurnalis data tidak boleh mengambil bahan begitu saja, lalu menganggap bahwa data tersebut layak. Pendeknya, jurnalis harus selalu menelusuri bagaimana data itu diproses, bagaimana validasinya, apakah metodologi yang dipakai sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan.

Tapi sekalipun sumbernya bisa dipercaya, tidak serta-merta data tersebut layak muat. Sebagai contoh, kami pernah membatalkan ulasan tentang konflik yang sudah tuntas diolah. Sumber datanya dari Universitas Uppsala Swedia. Sewaktu kami konfirmasikan ke pakar, dia justru bertanya balik dari mana asal data itu? Kampus Uppsala memang memiliki database peristiwa konflik dari seluruh dunia, tetapi metode pengumpulan data mereka ternyata hanya mengandalkan dari berita-berita media berbahasa Inggris di Indonesia. Sedangkan saat itu, hanya ada dua media. Data itu kurang valid. Pakar itu menyarankan agar kami meminta informasi dari Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dan PBB.

Sumber: NYU Journalism

Oh, kami baru sadar, media-media lokal rupanya justru lebih rinci memberitakan berbagai peristiwa konflik di tanah air, jumlah korbannya, pola konfliknya, dan sebagainya. Dari situlah, kami merasa kecolongan dan terpaksa harus merombak ulang datanya, padahal visualisasi saat itu sudah jadi dan siap dipublikasikan.

Perlukah mengompilasi atau membandingkan data tersebut dengan data dari sumber lain?

Tergantung bagaimana kualitas data tersebut. Data konflik yang kami peroleh dari Habibie Center misalnya, sudah memungkinkan diolah karena dikelola dari berbagai sumber.

Tapi ada juga data yang memang perlu pembanding dan penelusuran ke lapangan. Misalnya, data kebakaran di DKI Jakarta pada tahun tertentu yang menunjukkan angka kebakaran di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan ternyata relatif tinggi dibandingkan lainnya. Data seperti itu saja tidak cukup menjelaskan persoalan.

Untuk membuat berita mengenai daerah rawan kebakaran, tidak cukup sekadar memaparkan visualisasi data daerah-daerah yang mengalami kebakaran pada tahun tertentu, namun perlu juga mendeskripsikan bagaimana kondisi daerah tersebut. Salah satunya, mengecek seberapa padat penduduk di kota-kota tersebut.

“Seorang jurnalis data tidak boleh mengambil bahan begitu saja, lalu menganggap bahwa data tersebut layak. Pendeknya, jurnalis harus selalu menelusuri bagaimana data itu diproses, bagaimana validasinya, apakah metodologi yang dipakai sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan.”

Data memang menunjukkan kalau angka kebakaran di Jakarta Timur pada 2018 paling tinggi. Akan tetapi kalau ditelusuri lebih jauh, potensi risiko rawan kebakaran justru ada di Jakarta Utara karena jumlah penduduknya paling padat, kondisi rumah umumnya berupa kayu dan tripleks, serta keamanan instalasi listriknya kurang memadai. Karena jumlah penduduk yang padat, bila terjadi kebakaran, api akan lebih cepat merambat ke rumah sekitar sehingga korban yang terancam juga jauh lebih banyak.

Bagaimana menggali cerita menarik dari data?

Dalam jurnalisme data, jurnalis sebenarnya bertindak seperti peneliti. Untuk menggali cerita yang menarik, mereka harus benar-benar memahami data itu sendiri dan mampu menafsirkannya.

Saat memahami data yang masih mentah, jangan cuma berhenti pada ‘what‘, tapi cobalah menjawab ‘why‘ sehingga kualitas tulisan yang dihasilkan ada kedalaman analisa. Data tentang tren terorisme misalnya, hanya akan berhenti sebagai straight news bila jurnalis hanya berhenti pada ‘what‘. Padahal banyak fakta yang mungkin akan terungkap jika data tersebut ditelusuri lebih jauh. Untuk menggalinya, jurnalis bisa meminta pendapat ahli untuk mengomentari data-data tersebut.

Pada dasarnya, data yang bagus adalah yang gampang dipahami. Format data juga turut mempengaruhi. Data yang disajikan dalam bentuk excel dan PSV misalnya, jauh lebih mudah dimengerti. Sebagian data dari World Bank biasanya disajikan dalam berbagai pilihan format, termasuk excel dan PSV.

Apa kesulitan jurnalis data di Indonesia? Apakah setiap data selalu melalui cross check di lapangan?

Kelemahan jurnalis data di Indonesia umumnya pada persoalan tenggat waktu yang terbatas sehingga berkejaran dengan deadline. Apalagi bagi jurnalis yang daerah liputannya sangat luas dan kerap terhambat macet seperti Jakarta. Cara paling efektif adalah dengan mewawancari sumber-sumber yang memiliki kompetensi menjawab persoalan dan mengonfirmasi data tersebut. Solusi lain adalah berkolaborasi dengan jurnalis lain.

Misalnya, saat melakukan investigasi perihal sulitnya mempertahankan hutan adat di Sulawesi Tengah, kami berjejaring dengan jurnalis media lokal dan LSM yang melakukan pendampingan pada masyarakat adat setempat. Data-data yang kami peroleh dipakai sebagai bahan untuk melakukan investigasi di lapangan. (*)

Aghnia Adzkia juga dikenal sebagai pendiri dan tutor Journocoders Indonesia, komunitas jurnalis data dan pegiat data. Sejak dibentuk tahun 2018, komunitas ini telah memiliki ratusan anggota dan aktif mengadakan workshop bulanan di Jakarta dan kota-kota lain. Komunitas ini adalah bagian dari jaringan Journocoders di London. Kontak: journocodersindonesia@gmail.com. Twitter: @Journocoders_id