Baru lima persen media cetak dari populasi yang ada memenuhi standar berbahasa yang layak. Media online dan elektronik belum terpantau.
Wisnu T. Hanggoro
Filsuf Jerman kelahiran Austria Ludwig Wittgenstein mengatakan, “The limits of my language mean the limits of my world.”
Pernyataan itu menunjukkan betapa pentingnya bahasa dalam hidup manusia. Bahasa menunjukkan keluasan cakrawala pengetahuan manusia. Bahasa menengarai manusia – dengan meminjam istilah Ernst Cassirer – sebagai animal symbolicum, mahluk pembuat dan pengguna simbol. Melalui bahasa, manusia membangun simbol-simbol untuk memaknai dan mengabstraksi dunia hingga berfungsi dalam penanganan pelbagai masalah kehidupan.
Apa jadinya bila kemampuan berbahasa kita lemah? Dunia macam apa yang dapat kita perkenalkan pada orang lain? Apa pula jadinya bila kelemahan berbahasa itu terjadi di dunia media?
Nuusdo memandang pentingnya perhatian pada persoalan bahasa ini. Banyak keluhan dilontarkan para pengguna maupun pemerhati media mengenai turunnya kualitas bahasa di media beberapa tahun terakhir. Tak hanya di media daring, bahasa yang digunakan sebagian media cetak pun mereka pandang tak layak lagi sebagai rujukan.
Untuk menelisik akar persoalan rendahnya mutu bahasa di media kita, Nuusdo mewawancarai veteran wartawan Willy Pramudya.
Selain lama berkarir sebagai wartawan (pensiun pada 2018), Willy adalah anggota majelis etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mantan pengajar Bahasa Indonesia Jurnalistik dan Ketrampilan Menulis, penguji pada Uji Kompetensi Jurnalis di lingkungan AJI, serta penulis puisi. Salah satu buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan adalah “Obituari Untuk Kota Mati” (2018).
***
Penggunaan Bahasa Indonesia di media makin memprihatinkan, terlebih di media-media online. Bagaimana Anda menyaksikan fenomena ini?
Persoalan mutu bahasa di media yang memprihatinkan ini bukanlah hal yang baru. Setidaknya, hal itu terekam sejak Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mulai melakukan penilaian penggunaan Bahasa Indonesia di media cetak. Pada tahun 2004, saya diminta mewakili Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk menjadi salah satu juri dalam kegiatan “Penilaian dan Penghargaan Penggunaan Bahasa Indonesia di Media Massa (Cetak)”.
Penilaian itu dilakukan tiga kali sepanjang lima tahun. Dari total 700-an media cetak di Indonesia, jumlah yang dinilai hanya sekitar 100-an, atau kadang turun hingga 50-an. Jumlah itu semacam representasi surat kabar yang ada di Indonesia. Ada sejumlah aspek kebahasaan yang dinilai, mulai dari bentuk, pilihan kata hingga wacana.
Berdasarkan aspek kebahasaan yang dinilai, seingat saya hanya sekitar 30-an media – bahkan kurang dari itu, yang mutunya terjaga, atau istilahnya memakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Artinya, hanya sekitar lima persen dari total populasi media cetak.
Karena itu, dari tahun ke tahun sejak awal 2000-an terlihat, penerima penghargaan hanya berputar-putar pada beberapa koran. Itu-itu saja. Sebagian besar terbit di Jakarta, seperti Koran Tempo, Harian Kompas, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat dan sesekali koran-koran lain.
Yang dinilai hanya surat kabar? Apa saja kriteria penilaiannya?
Benar, baru koran yang dinilai. Entah sekarang. Sudah dua atau tiga tahun terakhir, saya absen sebagai juri. Untuk jenis media lain seperti radio, TV dan daring belum dilakukan penilaian. Surat kabarpun tidak semua isinya dinilai. Karya yang dipantau masih terbatas pada halaman pertama, berita utama dan berita-berita lain, serta tajuk rencana.
Aspek kebahasaan yang dinilai ada lima, yakni (1) bentuk dan pilihan kata, (2) ejaan), (3) kalimat, (4) pernalaran, dan (5) paragraf dan wacana. Setelah dilakukan penilaian, tampak sebagian besar koran di Indonesia kurang memberikan perhatian terhadap mutu penggunaan bahasa.
Koran-koran yang standar mutu Bahasa Indonesianya selalu terjaga, pada umumnya memberi tempat redaktur bahasa secara memadai. Misalnya, Tempo – baik koran maupun majalahnya, berdasarkan informasi memiliki sekitar 20 redaktur bahasa. Harian Kompas mempekerjakan lebih dari 20 penyunting bahasa. Sedangkan beberapa koran lain, setidaknya mempunyai satu atau dua redaktur bahasa.
Bagaimana keadaannya pada saat terjadi booming media online dewasa ini?
Sebenarnya, rendahnya mutu Bahasa Indonesia bukan satu-satunya persoalan media. Problem yang dihadapi dunia jurnalistik tanah air lainnya adalah konten dan etika. Konten media kita menyedihkan. Dewan Pers telah melakukan verifikasi terhadap media-media online yang bermunculan dewasa ini. Dari sekitar 40 ribu media online, hanya sekitar ratusan yang terverifikasi dan laik disebut sebagai media yang mempraktikkan jurnalisme sesuai standar.
Kondisi jurnalis juga membuat kita prihatin. Banyak di antara mereka yang tidak dibekali kemampuan jurnalistik dengan baik. Kita tahu sebagian besar jurnalis memang tidak berlatar belakang pendidikan jurnalistik atau pegiat pers kampus. Mereka mestinya mendapat pelatihan secara memadai dari lembaga media tempat mereka bekerja.
Lagi-lagi, dalam hal training ini hanya sebagian kecil media yang melakukannya. Harian Kompas, misalnya, memberikan pelatihan terhadap wartawan baru mereka selama 9 – 12 bulan. Kantor Berita Antara memberi pelatihan selama tiga bulan. Begitu juga RRI, TVRI, sejumlah TV swasta dan beberapa media daring.
Namun, training tersebut berbiaya tinggi. Tak semua media mampu melakukannya. Sejumlah media yang rutin memberikan pelatihan belakangan ini bahkan memperpendek durasinya, dari tiga bulan, misalnya, menjadi sebulan, kemudian menjadi seminggu, atau cuma dua – tiga hari.
Sejumlah media di daerah bahkan ada yang lebih parah lagi. Yang mereka rekrut menjadi wartawan, kadang-kadang belum melewati pendidikan S1 dan sebagian malah hanya lulusan SMA. Informasi ini saya peroleh ketika saya terlibat dalam kegiatan uji kompetensi.
Rendahnya kualitas konten media memang paralel dengan perhatian mereka terhadap bahasa. Kesalahan tentu saja tak hanya terletak pada media bersangkutan. Menurut saya, dunia pendidikan kita juga punya andil besar dalam soal lemahnya penggunaan bahasa di media dan masyarakat pada umumnya.
Bahasa lisan maupun tertulis masyarakat kita secara umum buruk. Hal tersebut karena Bahasa Indonesia tidak dianggap penting. Guru-guru Bahasa Indonesia telah gagal dalam mengantar para siswa untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Dalam pelbagai ujian bahkan nampak, selama beberapa tahun terakhir, nilai rata-rata siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia lebih rendah dibandingkan nilai rata-rata Bahasa Inggris. Padahal kita juga tahu, kemampuan siswa dalam berbahasa Inggris juga tidak bagus. Banyak siswa yang tidak percaya diri berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Mereka umumnya takut atau malu bila terjadi kesalahan.
Jadi, apakah dapat disimpulkan, kelemahan penggunaan Bahasa Indonesia di media kita pada dasarnya adalah kesalahan dunia pendidikan kita?
Kalau dilihat dalam lingkup makro, negara ini memang masih lemah dari pelbagai aspek. Dalam hal kerusakan lingkungan hidup, korupsi, pelanggaran HAM, posisi Indonesia belum menunjukkan sisi positif. Kehidupan politik belakangan juga mengalami kemunduran. Media merupakan cermin dari apa yang hidup di suatu negara. Buruknya negara juga tampil dalam media.
Tidak terjaganya Bahasa Indonesia di media juga dikarenakan Bahasa Indonesia tidak dihargai oleh negara. Untuk tes kerja atau masuk perguruan tinggi tidak ada tes Bahasa Indonesia. Orang tidak terlalu menguatirkan apakah para calon karyawan atau calon mahasiswa terampil berbahasa Indonesia dengan baik dan benar atau tidak.
Padahal, untuk studi atau bekerja di negara lain, bahasa lokal atau bahasa internasional dijadikan prasyarat. Ketidakmampuan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar di tempat kerja tidak dianggap sebagai penyakit yang mengganggu komunikasi ataupun interaksi.
Jadi, rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia di negeri kita sebenarnya paralel dengan kondisi bidang-bidang lain yang masih memprihatinkan.
Apabila wacana di masyarakat dipenuhi dengan diskusi yang mutunya rendah, produk jurnalistik yang dihasilkan tak akan jauh dari hal-hal semacam itu.
Misalnya, berita terbaru yang sedang viral, bagaimana media mengutip begitu saja pendapat seorang anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mengungkapkan bahaya berenang bagi perempuan karena dapat menyebabkan kehamilan. Kita juga mendengar respon guru pembimbing pramuka di Turi, Sleman, Yogyakarta, yang berdalih bahwa meninggalnya seseorang itu adalah urusan Gusti Allah (bukan karena kelalaian). Kedua berita di atas mungkin tidak melanggar prinsip dan etika jurnalistik, tetapi tentu menunjukkan mutu jurnalisme yang tidak terjaga.
Gambarannya terasa gelap dan menyedihkan ya? Apakah kondisi semacam itu tidak dapat diperbaiki?
Titik terang dalam kegelapan bukannya tidak ada, walaupun kecil. Keberadaan AJI merupakan salah satu contoh. Organisasi ini sangat rajin menyelenggarakan pelatihan bagi para anggotanya. Di masa lalu pekerjaan ini sebenarnya sudah dirintis oleh LP3Y, LPDS, ISAI, dan lain-lain, meskipun tak banyak media yang memanfaatkan keberadaan lembaga-lembaga tersebut.
Bila kita menginginkan produk jurnalisme dengan kualitas yang baik, maka pengelola media mestinya punya komitmen untuk menyelenggarakan pelatihan tersistem sehingga menghasilkan jurnalis yang berkompeten. Di sisi lain, dunia pendidikan formal perlu menyadari keterpurukan mereka dan berbenah diri.(*)