- Ancaman terhadap jurnalis meningkat bahkan di negara demokratis seperti Amerika Serikat dan Filipina.
- Pemeringkatan kebebasan pers belum mencerminkan realitas lapangan, terutama di Asia Tenggara.
- Kurangnya perlindungan hukum dan dukungan industri media membuat jurnalis tetap rentan, khususnya yang bekerja lepas.
Wisnu T. Hanggoro
Tertembaknya kaki Lauren Tomasi, jurnalis perempuan dari 9News Australia, saat meliput aksi protes anti-ICE di Los Angeles, Amerika Serikat, mempertegas kerentanan pekerjaan di dunia jurnalisme. Meski peluru yang mengenainya terbuat dari karet (rubber bullet), kejadian ini tak dapat dipandang remeh. Apakah penembakan itu disengaja atau tidak, peristiwa tersebut mencerminkan ancaman terhadap jurnalis sekaligus tuntutan akan pentingnya kehati-hatian saat melakukan peliputan, terutama di kawasan konflik atau berbahaya lainnya.
Amerika Serikat dikenal sebagai negara demokrasi. Namun, tidak ada jaminan bagi jurnalis untuk selalu aman dalam melakukan liputan. Berdasarkan indeks kebebasan pers yang setiap tahun dirilis Reporters Without Borders (RSF), dalam empat tahun terakhir posisi AS, selain tidak dapat dikatakan istimewa seperti negara-negara Skandinavia, juga cenderung memburuk, yaitu peringkat 42 pada 2022, 45 (2023), 55 (2024), dan kini 57 pada 2025.
Bila dibandingkan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, indeks kebebasan pers di Amerika Serikat memang jauh lebih tinggi. Namun, peringkat tersebut tidak menjamin jurnalis bebas dari ancaman. Artinya, semakin rendah peringkat, semakin besar tantangan dan ancaman yang dihadapi jurnalis. Tapi, peringkat yang tinggi pun bukan jaminan memadai bagi perlindungan jurnalis.
Di Asia Tenggara, Filipina dan Indonesia bukanlah yang terendah peringkat kebebasan persnya bila dibandingkan Vietnam, Laos, ataupun Myanmar. Namun, membandingkan diri dengan negara-negara yang berbeda sistem politiknya bukanlah ukuran yang sehat. Fakta bahwa indeks kebebasan pers di Thailand, Indonesia, dan Filipina lebih tinggi tidak otomatis menjadikan ketiganya sebagai negara dengan kondisi pers yang ideal. Sebab, kebebasan pers bukan sekadar persoalan peringkat, melainkan sejauh mana jurnalis benar-benar dilindungi secara hukum, ekonomi, dan politik.
Terkait pemeringkatan di atas, ada pernyataan menarik dari Yosep Stanley Adi Prasetyo, jurnalis senior sekaligus mantan Ketua Dewan Pers (2016–2019), saat dihubungi melalui telepon. Stanley yang pernah berkunjung ke kantor RSF mengingatkan tentang perlunya membaca sistem pemeringkatan RSF dengan sikap kritis.
“Saya pernah ke kantornya di Paris dan sampaikan komplain mengenai metode dan indikator yang digunakan. Sang direktur berjanji akan membicarakan dengan bagian riset tapi [sampai] sekarang ya nol besar.”
Keluhan Stanley berdasarkan pada pemeringkatan RSF yang menurutnya tidak sesuai dengan fakta di Asia Tenggara. Keberadaan dan peran lembaga seperti Dewan Pers ataupun aktivis kebebasan pers diabaikan dalam indeks tersebut.
Stanley mengatakan, “RSF hanya mengandalkan laporan kekerasan terhadap wartawan, maka tak heran kalau Singapura dan Malaysia yang tak punya Dewan Pers dan tak ada kebebasan pers bisa dapat ranking yang jauh lebih tinggi dari Indonesia.” Artinya, lanjut dia, keberadaan lembaga ataupun aktivis yang memperjuangkan kebebasan pers diabaikan dalam pemeringkatan tersebut.
Tetap Rentan
Indonesia, Filipina, Thailand atau negara lain di Asia Tenggara pada dasarnya sama-sama rentan bagi jurnalis. Di Indonesia, misalnya, sejumlah kasus pembunuhan dan penganiayaan terhadap jurnalis telah terjadi sejak negara ini merdeka. Yang paling menghebohkan adalah pembunuhan wartawan harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin). Belakangan ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) semakin sering mengeluarkan siaran pers yang di antaranya menyebutkan aneka ancaman atau bahkan penganiayaan terhadap jurnalis.
Di Filipina, jurnalis juga mengalami situasi yang tidak aman. Dalam wawancara tertulis, seorang jurnalis senior bernama Marlon mengungkapkan kerentanan tersebut meski kehidupan pers di negara tersebut relatif bebas.
“The threats still continue to exist, and journalists in our country have to fight daily in their struggle for press freedom (Ancaman masih terus ada dan para jurnalis di negara kami harus berjuang setiap hari dalam mempertahankan kebebasan pers),” ujarnya.
Tahun ini, Filipina berada di urutan 116 dari 180 negara yang diteliti RSF. Posisi tersebut masih lebih baik dibandingkan Indonesia yang menempati posisi 127. Padahal, Filipina mempunyai pengalaman yang sangat tragis saat 32 jurnalisnya menjadi bagian di antara 58 korban pembantaian menjelang pemilihan gubernur di Maguindanao tahun 2009. Peristiwa yang kemudian dijadikan tonggak untuk memperingati Hari Anti-Impunitas Internasional tersebut ternyata tidak berhenti sampai di situ. Sampai sekarang, Filipina masih menjadi negara yang sangat berbahaya bagi jurnalis.
Menurut Marlon, ada atau tidak pembunuhan dalam laporan RSF, tiap jurnalis harus selalu waspada. Sebagaimana dia tegaskan, “Seorang mantan kepala penegak hukum pernah memperingatkan saya bahwa sangat mudah bagi seseorang untuk menyewa pembunuh bayaran kapan saja untuk membunuh siapa pun yang mereka inginkan.” Dia melanjutkan, pernyataan tersebut diduga berkaitan dengan laporan dari The National Union of Journalists of the Philippines (NUJP) yang menyebutkan bahwa sebagian besar pembunuhan terhadap jurnalis di negara kami bersifat terencana dan pelakunya memiliki latar belakang aparat keamanan.
Marlon menutup pembicaraan dengan menggambarkan situasi media di Filipina dalam beberapa tahun terakhir yang semakin menyedihkan. Misalnya, masih rendahnya upah, terutama bagi mereka yang berstatus wartawan lepas. Mereka sama sekali tidak memiliki jaminan keamanan atau asuransi jika sewaktu-waktu mengalami kejadian tak terduga. Yang terakhir ini sebenarnya juga banyak dialami wartawan di Indonesia dan kebanyakan negara berkembang lain.
Tantangan Lembaga Media
Untuk mengurangi risiko terhadap jurnalis, berbagai inisiatif internasional telah dilakukan. Salah satunya adalah UN Plan of Action on the Safety of Journalists and the Issue of Impunity yang dideklarasikan UNESCO sejak 2012. Program ini mendorong negara-negara anggota untuk membangun kerangka hukum dan kelembagaan yang menjamin keselamatan jurnalis, termasuk melalui pelatihan mitigasi risiko di wilayah konflik dan pelatihan keamanan digital. Namun, di banyak negara, rencana ini belum diimplementasikan secara serius.
Meskipun RSF, Freedom House, dan lembaga lain rutin menerbitkan indeks kebebasan pers, data mereka tampaknya belum cukup mampu mendorong perubahan signifikan di negara-negara dengan catatan buruk. Peringkat demi peringkat tidak selalu disertai peningkatan komitmen politik untuk perlindungan jurnalis. Dalam konteks ini, kritik Stanley patut dipertimbangkan: indikator metodologis yang kaku dan terlalu kuantitatif bisa gagal menangkap dinamika lokal, termasuk kerja-kerja kolektif untuk memperbaiki ekosistem media.
Di negara-negara yang tidak memiliki infrastruktur perlindungan jurnalis, kekerasan terhadap wartawan ibarat semak belukar yang tumbuh lebat di lahan subur. Penegakan hukum yang lemah, minimnya kemauan politik, dan budaya impunitas membuat pembunuhan atau intimidasi terhadap jurnalis terus berulang tanpa konsekuensi hukum yang adil dan tegas. Dalam konteks semacam ini, keselamatan jurnalis tidak sekadar masalah teknis atau pelatihan, melainkan cerminan dari rusaknya sistem hukum dan politik sebuah negara.
Sering kali, tantangan terbesar justru datang dari dalam tubuh industri media sendiri. Di banyak negara, terutama di negara-negara berkembang Asia dan Afrika, jurnalis freelance menjadi tulang punggung peliputan di lapangan, namun mereka tidak memiliki jaminan perlindungan hukum, kontrak kerja yang sah, maupun asuransi risiko. Mereka bekerja dalam kondisi upah rendah, beban kerja tinggi, dan tekanan liputan yang ekstrem — sering kali tanpa dukungan dari media tempat mereka mengirimkan laporan. Dalam situasi seperti ini, pelatihan keselamatan sekalipun menjadi jauh dari cukup, karena akar persoalannya terletak pada struktur ekonomi media yang eksploitatif dan abai terhadap keselamatan pekerjanya. (*)